Type Here to Get Search Results !

Ketika Sang Buddha Nongkrong Bareng Anak Muda Digital Oleh Mila Muzakkar

(Puisi esai ini terinspirasi dari perayaan Hari Waisak di tengah kebisingan dunia digital) 



Secangkir kopi latte diseruputnya.

Di depannya, tumpukan buku filsafat kehidupan menggunung.

Di kanan dan kirinya, anak-anak muda tenggelam sendiri-sendiri, di layar ponselnya.


"Mengapa anak-anak muda itu sibuk dengan mesin?" Batinnya.

Sang Buddha bangkit. 

Ia tak lagi hanyut sendiri dengan kopi dan bukunya.


Langkahnya berbisik seperti pasir di pelataran candi yang lama tak dikunjungi.

Di Co-working space bergaya industrial itu, penuh mural motivasi yang hambar,

dentuman speaker yang memutar musik lo-fi untuk orang-orang yang lupa caranya sunyi,

Sang Buddha menyapu ruangan dengan tatapan tenang.


Ia duduk di dekat seorang anak muda yang tengah bergumul dengan dua layar: satu untuk desain, satu lagi penuh notifikasi. 

Mata pemuda itu merah,

tangannya terus bergerak, tapi jiwanya jauh tersesat.


“Eh, Om Buddha... WiFi-nya lemot ya?” katanya, sambil menoleh sekilas.


Sang Buddha tersenyum lembut. “Bukan WiFi-nya, mungkin jiwamu yang sedang kehilangan sinyal.”


Pemuda itu mendongak. 

Katupan bibirnya terbuka. 

Ada kelelahan yang tak sempat ia posting. “Aku kerja terus. Belajar terus. Scroll terus. Tapi kok, ngerasa kosong terus?.” 


Sang Buddha mengangguk. “Kamu telah jadi buruh di ladang algoritma, menggali validasi yang tak pernah mengenyangkan.”


Seorang gadis di dekat mereka ikut menoleh. Ia baru saja memposting foto senyum sambil menahan tangis. 

Ia duduk, membuka headset, dan bertanya lirih, “Kalau aku berhenti, kalau aku lepas semua ini, siapa yang akan tahu aku ada?”


Sang Buddha menatapnya dalam-dalam, seolah menembus lapisan demi lapisan luka yang sudah dilapisi filter. “Yang perlu tahu bahwa kamu ada adalah dirimu sendiri.”


Tiba-tiba listrik padam. Layar-layar gelap. Speaker sunyi. Tak ada sinyal. Tak ada suara. 

Hening datang seperti tamu tak diundang, tapi justru itulah tamu paling jujur. 

Dan dalam gelap itu, mereka mulai mendengar detak jantung sendiri, nafas yang selama ini diabaikan, dan tangis pelan dari dalam dada.


“Mungkin,” kata sang Buddha, “pencerahan zaman ini bukan cahaya, tapi keberanian untuk duduk dalam gelap, tanpa harus segera membuka layar.”


Di luar sana, hujan turun. Lambat. Luruh. Luruh seperti kelelahan yang akhirnya diizinkan istirahat.

Dan di ruang itu, tak satu pun dari mereka ingin buru-buru kembali terang.


Malam itu tak berakhir dengan quote bijak atau unggahan Instagram dan Tiktok. 

Tak ada yang buru-buru menyalakan layar. Tak ada yang sibuk mencari kata-kata mutiara dari tokoh luar negeri. 

Mereka hanya duduk, bersama.


Dalam gelap yang hangat, 

dalam diam yang jujur, 

untuk pertama kalinya, 

mereka tak merasa sendiri. 

Mereka tahu, pencerahan tidak datang dari teknologi, 

tapi dari keberanian untuk bertanya pada diri sendiri: “Apa yang sebenarnya sedang aku cari?” 


Dan mungkin, di sanalah Sang Buddha paling nyata hadir. 

Bukan di altar, tapi di dalam dada, yang akhirnya berani hening, dan merasa lebih hidup.


Selamat Hari Waisak.


Depok, 12 Mei 2025



*CATATAN

Puisi Esai ini dibuat dengan bantuan AI

Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.