Type Here to Get Search Results !

Pola Asuh Suku Minang dan Jawa di Dharmasraya: Antara Warisan Budaya dan Tantangan Pembentukan Karakter Islami

Oleh: Duski Samad

Alhamdulillāh, segala puji bagi Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā yang telah mengantarkan perjalanan akademik ini hingga mencapai promosi doktor di UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi. Disertasi ini mengangkat tema strategis: pola asuh keluarga suku Minangkabau dan Jawa dalam mengimplementasikan pendidikan Islam untuk pembentukan karakter di Kabupaten Dharmasraya.

Kabupaten Dharmasraya adalah ruang pertemuan dua tradisi besar Nusantara. Di satu sisi, Minangkabau dengan falsafah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS–SBK) dan sistem kekerabatan matrilineal. Di sisi lain, Jawa dengan falsafah rukun, tepa selira, dan unggah-ungguh yang kental. Pertemuan dua budaya ini menghadirkan potensi sinergi, namun juga menyisakan tantangan tersendiri bagi pembentukan karakter Islami generasi muda.

1. Minangkabau: Mamak Tak Lagi Berfungsi, Surau Kehilangan Peran

Penelitian ini menemukan bahwa pola asuh Minangkabau di Dharmasraya tidak lagi sama seperti masa lalu. Peran mamak (paman dari pihak ibu) sebagai figur pendidikan karakter dan pengawal adat mulai hilang. Surau, yang dulunya menjadi pusat pendidikan agama, moral, dan sosial, kini tidak lagi efektif sebagai institusi pengasuhan bersama.

Akibatnya, kontrol sosial dan transfer nilai ABS–SBK kepada generasi muda menjadi longgar. Banyak orang tua menggantikan fungsi mamak dan surau dengan lembaga pendidikan formal, sehingga pengasuhan berbasis komunitas melemah.

2. Jawa: Unggah- Ungguh dan Budaya Masih Bertahan

Berbeda dengan Minang, keluarga Jawa di Dharmasraya masih cukup konsisten mempraktikkan nilai unggah-ungguh (tata krama), tepa selira (empati dan tenggang rasa), serta budaya hierarkis dalam menghormati orang tua dan tokoh masyarakat.

Meski demikian, budaya ini tidak sepenuhnya menjamin internalisasi nilai Islam secara mendalam, karena pengasuhan berbasis adat Jawa cenderung menekankan kesantunan formal dan harmoni sosial, sementara aspek substansi ajaran agama memerlukan penguatan.

3. Kedua Suku: Pengasuhan Diserahkan pada Lembaga Pendidikan

Fenomena umum pada kedua komunitas adalah penyerahan sebagian besar tanggung jawab pengasuhan kepada sekolah, madrasah, atau pesantren. Lembaga pendidikan formal menjadi pihak dominan dalam mengajarkan agama, sementara keluarga mengambil peran pendukung.

Kondisi ini memunculkan jarak antara kehidupan nilai di rumah dengan nilai yang diajarkan di sekolah, terutama jika tidak ada kesinambungan kurikulum moral–agama antara keduanya.

4. Minang–Jawa Belum Terintegrasi dalam Pola Asuh

Walaupun hidup berdampingan dalam satu wilayah, pola asuh Minang dan Jawa di Dharmasraya belum terintegrasi. Keduanya berjalan dengan tradisi masing-masing tanpa banyak kolaborasi nilai. Padahal, integrasi ini berpotensi melahirkan model pendidikan karakter hibrid yang memadukan ketegasan ABS–SBK dengan kelembutan unggah-ungguh Jawa.

5. Budaya dan Politik Lebih Dominan daripada Pendidikan Islam

Temuan yang cukup mencemaskan adalah pengaruh budaya populer, dinamika politik lokal, dan arus media ternyata lebih kuat mempengaruhi pembentukan karakter generasi muda dibanding pendidikan Islam formal.

Jika tidak ada intervensi serius, nilai-nilai Islam yang diajarkan di sekolah atau madrasah akan kalah oleh narasi yang datang dari media sosial, lingkungan pergaulan, dan kecenderungan pragmatisme politik.

Refleksi dan Rekomendasi

Hasil penelitian ini menjadi peringatan bahwa keluarga harus kembali menjadi pusat pendidikan karakter Islami. Bagi Minang, perlu revitalisasi fungsi mamak dan surau agar kembali efektif. Bagi Jawa, penting untuk menyeimbangkan unggah-ungguh dengan penguatan nilai agama yang substansial.

Integrasi pola asuh kedua budaya di Dharmasraya perlu difasilitasi melalui:

1. Kelas parenting lintas budaya di masjid/surau dan sekolah.

2. Kolaborasi adat dan agama dalam kurikulum lokal pembentukan karakter.

3. Program komunitas yang menghubungkan kembali keluarga, lembaga pendidikan, dan tokoh adat–agama.

Disertasi ini menunjukkan bahwa membangun karakter Islami generasi muda tidak cukup hanya mengandalkan sekolah. Keluarga dan komunitas harus aktif, dan warisan nilai budaya harus dipadukan dengan ajaran agama agar menjadi benteng moral yang kokoh.bkt.uin.jml.ds.11082025

*Guru Besar UIN Imam Bonjol, Dosen Penguji Doktor Eksternal UIN Syekh Muhammad Djamil Djambek Bukittinggi.

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.