Type Here to Get Search Results !

Digitalisasi Tanpa Kedaulatan: Data Kita Dijajah Platform Asing

Oleh : KH. Akhmad Khambali

Kemerdekaan di abad ke-21 tidak lagi hanya soal menguasai tanah, laut, dan udara—tetapi siapa yang menguasai data. Penjajahan bentuk baru ini hadir tanpa serdadu dan meriam, melainkan melalui ponsel pintar, jaringan internet, dan algoritma yang bekerja 24 jam mengatur arus informasi dan perilaku kita.

Indonesia pernah dijajah berabad-abad demi rempah-rempah. Kini, pola itu berulang: komoditas yang diperebutkan adalah data—rekaman digital tentang siapa kita, apa yang kita sukai, bahkan bagaimana kita mengambil keputusan. Lebih mengkhawatirkan lagi, penjajahan ini sering tidak terasa. Kita merasa bebas menulis status, mengunggah foto, dan mengakses konten, padahal setiap klik kita menjadi bahan bakar algoritma yang dikendalikan dari luar negeri. Data itu diolah, diperjualbelikan, dan menghasilkan keuntungan miliaran dolar, tetapi nyaris tak kembali ke rakyat Indonesia.

Fakta yang tak bisa diabaikan:

 • Lebih dari 80% penduduk Indonesia kini terhubung internet, setara 229 juta pengguna.

 • Mayoritas platform yang digunakan berbasis di luar negeri, tunduk pada hukum asing seperti CLOUD Act di AS.

 • Infrastruktur server nasional belum merata—Papua hanya 26% penetrasi internet, sementara Jakarta di atas 85%.

 • Kedaulatan digital belum dianggap isu geopolitik, sehingga tak masuk prioritas pertahanan nasional.

 • Indeks literasi digital nasional hanya 3,48–3,56 (skala 5), menunjukkan masyarakat belum siap menghadapi risiko siber.

 • Ulama dan akademisi jarang dilibatkan dalam perumusan etika digital bangsa.

Dampaknya terasa dalam kehidupan sehari-hari:

 • Hoaks dan kebencian menyebar lebih cepat daripada kebenaran, karena algoritma mengejar klik, bukan fakta.

 • Masyarakat dididik menjadi konsumtif, bukan kreatif dan produktif.

 • Pilihan politik dan agama dapat diarahkan melalui iklan yang tak transparan.

 • Keamanan nasional terancam, karena kita tak tahu kapan data dimanfaatkan untuk kepentingan asing.

 • Dan ironisnya, nilai ekonomi digital Indonesia yang diprediksi USD 146 miliar pada 2025 lebih banyak dinikmati pihak luar.

Namun, kita tidak boleh berhenti di keluhan. Kedaulatan digital bisa direbut kembali jika kita mau bergerak bersama:

 1. Tegakkan UU Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) secara penuh, dengan lembaga pengawas independen yang bebas dari intervensi politik.

 2. Bangun Pusat Data Nasional (PDN) yang aman, transparan, dan tidak dikendalikan swasta asing.

 3. Kembangkan platform digital lokal berbasis komunitas, pesantren, dan nilai-nilai kebangsaan.

 4. Tingkatkan literasi digital di masjid, pesantren, sekolah, dan forum pengajian—bukan hanya kecakapan teknis, tapi juga etika.

 5. Satukan ormas Islam, perguruan tinggi, dan pelaku teknologi dalam Forum Etika Digital Keumatan untuk merumuskan pedoman nasional.

 6. Bentuk Majelis Kedaulatan Digital Umat sebagai garda advokasi dan edukasi umat.

 7. Bangun search engine, platform video, dan e-commerce halal nasional yang berdaya saing global.

 8. Manfaatkan blockchain dan teknologi syariah digital untuk keamanan dan transparansi transaksi.

 9. Dorong MUI menerbitkan fatwa tentang etika data dan adab bermedia digital.

Sahabat, digitalisasi harus menjadi jalan pemberdayaan, bukan penjajahan baru. Kemerdekaan sejati di era ini adalah ketika kita menguasai data kita sendiri—bukan sekadar menjadi pengguna, tetapi menjadi pemilik dan pengendali ruang digital.

Mari kita mulai dari diri sendiri: sadari ancaman ini, pahami akarnya, dan bergerak bersama. Dari keluarga, komunitas, hingga level nasional—

saatnya kita berdiri tegak di tanah digital kita sendiri.

Jauhkan dari Berita HOAX, Ingat... HOAX itu di BUAT OLEH ORANG PINTAR TAPI JAHAT, DISEBARLUASKAN OLEH ORANG BAIK TAPI BODOH, tutup Kyai Khambali selaku Pengurus BPET MUI Pusat.

*Ketua Umum Gema Santri Nusa - Pengasuh Majlis Sholawat Ahlul Kirom

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.