Type Here to Get Search Results !

Tanggal Itu, Peluru Bicara Lebih Cepat dari Demokrasi Oleh: Yoss Prabu

Bayangkan ini.

Seorang mahasiswa menyusun poster bertuliskan “Turunkan Harga, Tegakkan Demokrasi”, dengan tangan gemetar dan doa tak putus. Sementara di sudut lain, seorang jenderal sibuk menyetrika seragam dan ego, siap menertibkan dengan cinta yang dibungkus amunisi.

Hari itu, langit Jakarta tak hanya mendung oleh awan, tapi juga oleh rasa malu yang gagal diucapkan negara.

12 Mei 1998, di kampus Trisakti, peluru nyasar dan gas air mata seolah-olah lebih paham UUD 1945 dibanding para pemegang kekuasaan.

Ironi? Ah, ironi sudah jadi nama belakang republik ini sejak Orde Baru menjelma jadi Orde Barbar. Katanya negara hukum, tapi empat mahasiswa – Elang, Heri, Hafidh, dan Arief – tewas bukan karena berdiri di tengah perang, tapi karena berdiri terlalu tegak memperjuangkan keadilan.

Sejak kapan idealisme mahasiswa dianggap ancaman nasional lebih besar daripada korupsi yang sudah diwariskan turun-temurun, seperti resep sambal nenek? Sialnya, kita memang bangsa pelupa.

Monumen bisa dibangun, patung bisa ditegakkan, tapi ingatan? Oh, itu lebih cepat menguap daripada janji kampanye. Tapi hari ini, mari kita ingat, dengan hati, bukan hanya pakai teks upacara. Mari kita kenang empat nama yang gugur itu, bukan sebagai korban, tapi sebagai pahlawan reformasi. Bukan hanya karena mereka mati, tapi karena kita yang masih hidup ini seringkali mati rasa.

Bayangkan ini.

Seorang mahasiswa menyusun poster bertuliskan “Turunkan Harga, Tegakkan Demokrasi”, dengan tangan gemetar dan doa tak putus. Sementara di sudut lain, seorang jenderal sibuk menyetrika seragam dan ego, siap menertibkan dengan cinta yang dibungkus amunisi.

Ah, reformasi. Kata yang terdengar indah, tapi rasanya seperti janji manis mantan yang sudah menikah dengan oligarki. Dulu kita turun ke jalan untuk menggulingkan tirani, sekarang kita antre di mal demi diskon baju demokrasi yang sudah robek di bagian dada.

Romantis, ya?

Empat mahasiswa yang mati muda demi masa depan bangsa yang… eh, sekarang malah dipimpin oleh para politisi yang tersenyum lebih manis daripada pajak progresif.

Konyol? Ya.

Karena negeri ini menganggap sejarah sebagai tugas sekolah, bukan luka yang belum sembuh. Karena kita lebih hafal nama-nama seleb TikTok daripada nama-nama pahlawan reformasi.

Karena bendera setengah tiang hanya berkibar satu hari, lalu dilipat, dilupakan, disingkirkan seperti cita-cita yang terlalu berat untuk dipikul oleh generasi rebahan.

Tapi tetap, di balik ironi, kita masih punya harapan. Karena setiap tawa mahasiswa di kantin kampus hari ini adalah nyanyian sunyi yang menyambung suara mereka yang sudah tiada. Karena setiap buku yang dibaca, setiap kritik yang dilontarkan, setiap aksi yang jujur. Adalah bunga yang tumbuh dari darah yang tumpah. Mereka yang gugur bukan ingin disembah. Mereka hanya ingin kita tidak jadi bangsa yang mudah puas hanya karena harga cabai turun seribu rupiah. Mereka ingin kita terus bertanya, terus melawan ketidakadilan, terus berdiri walau gemetar, terus mencintai negeri ini walau sering dikhianati. Karena cinta yang sejati itu bukan hanya soal puisi dan pelukan, tapi soal turun ke jalan, menahan gas air mata, dan tetap bilang, “Aku cinta Indonesia, tapi bukan Indonesia yang begini-begini saja.”

Selamat mengenang Tragedi Trisakti.

Selamat menghormati para pahlawan reformasi. Mari kita jadi bangsa yang tak hanya menangis setiap 12 Mei, tapi juga bertanya,

“Apa yang sudah kita perjuangkan hari ini agar kematian mereka tidak sia-sia?”

Atau, jangan-jangan kita cuma ahli bikin spanduk dan lupa caranya marah dengan benar?

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.