![]() |
Oleh: Duski Samad
Menteri Agama RI dihadapan tokoh umat lintas agama pada saat kunjungan ke masjid Istiqlal, 05 Agustus 2025, saat Silatnas FKUB dan Lembaga meminta agar aktor kerukunan dan pimpinan umat lintas agama menaikkan kelas pemahaman dan pemaknaan kerukunan menjadi state of mind.
Makna dan substansi dari “kerukunan state of mind” cukup dalam dan filosofis. Mari diuraikan dengan bahasa yang jernih dan menyentuh konteks spiritual, sosial, dan psikologisnya.
Makna Kerukunan State of Mind. Makna Umum. Kerukunan "state of mind” berarti keadaan pikiran yang rukun, atau mentalitas yang dilandasi oleh semangat hidup damai, harmonis, dan saling menghargai.
Ini bukan hanya soal hubungan sosial, tapi mencerminkan cara pandang dan sikap batin seseorang dalam menghadapi diri sendiri, orang lain, dan dunia.
Substansi dari “Kerukunan State of Mind” adalah kesadaran harmonis.
Pikiran seseorang yang telah membentuk “kerukunan” akan memiliki kecenderungan menghindari konflik, menjaga keseimbangan, dan menghargai perbedaan. Ini melahirkan kehidupan sosial yang sehat dan spiritualitas yang matang.
Empati dan Toleransi.
Substansi pentingnya adalah kemampuan memahami dan merasakan orang lain, meskipun berbeda keyakinan, budaya, atau pandangan.
Di sinilah kerukunan tak sekadar “tidak bertengkar,” tapi benar-benar saling menerima.
Ketenangan Diri. Kerukunan batin atau jiwa (state of mind) menumbuhkan kedamaian internal.
Seseorang tidak mudah tersulut emosi, iri, atau kebencian. Ini adalah pondasi dari kebijaksanaan, baik dalam hubungan sosial maupun spiritual.
Kesadaran Interdependensi.
Menyadari bahwa hidup ini saling bergantung, tidak ada yang bisa hidup sendiri. Ini melahirkan keinginan untuk menjaga kerukunan, karena menyadari bahwa konflik justru merugikan semua pihak.
Kematangan Spiritualitas.
Dalam konteks spiritual (misalnya dalam tasawuf), kerukunan state of mind mencerminkan jiwa yang telah melewati tahapan pembersihan diri (tazkiyah), sehingga tidak lagi dikuasai oleh ego, amarah, atau dendam.
Konteks Sosial dan Keagamaan.
Pada masyarakat majemuk seperti Indonesia, kerukunan sebagai state of mind sangat penting, karena bukan hanya menjaga perdamaian luar (fisik), tapi juga membangun fondasi batin kolektif yang sehat.
Menjadi kunci dalam menciptakan moderasi beragama, toleransi, dan gotong royong.
Jadi, “Kerukunan state of mind” adalah kondisi batin yang damai, harmonis, toleran, dan bijaksana dalam menghadapi perbedaan dan menjalani hidup.
Ini bukan hanya sikap sosial, tapi fondasi spiritual yang mendalam: hasil dari pengendalian diri, penyucian hati, dan pemahaman akan hakikat hidup bersama.
PENTING KERUKUNAN BATIN
Kerukunan batin penting karena berperan besar dalam menjaga kedamaian, keseimbangan, dan kualitas hidup seseorang, baik secara pribadi maupun dalam hubungan dengan orang lain.
Beberapa alasan mengapa kerukunan batin itu penting:
1. Menumbuhkan Kedamaian Dalam Diri.
Kerukunan batin berarti tidak ada pertentangan dalam hati dan pikiran. Ketika batin rukun, seseorang merasa lebih damai, tenang, dan tidak gelisah. Ini membantu menghadapi tantangan hidup dengan bijak dan tidak mudah stres.
2. Menjaga Kesehatan Mental dan Fisik.
Konflik batin bisa menyebabkan stres berkepanjangan, yang berpengaruh buruk pada kesehatan mental dan fisik. Sebaliknya, kerukunan batin mendukung kesehatan jiwa dan jasmani, seperti tidur yang nyenyak, suasana hati yang stabil, dan daya tahan tubuh yang baik.
3. Mendorong Hubungan Sosial yang Sehat.
Seseorang yang damai dengan dirinya sendiri cenderung lebih mudah membangun hubungan yang harmonis dengan orang lain. Kerukunan batin menciptakan sikap yang penuh pengertian, toleransi, dan empati.
4. Meningkatkan Kejelasan dalam Pengambilan Keputusan.
Jika batin rukun, pikiran menjadi lebih jernih. Ini penting dalam pengambilan keputusan yang bijaksana dan tidak tergesa-gesa, karena tidak ada konflik internal yang mengganggu penilaian.
5. Memperkuat Spiritualitas dan Nilai Hidup.
Kerukunan batin seringkali muncul dari keselarasan antara pikiran, perasaan, dan nilai hidup. Ini memperkuat spiritualitas dan memberikan makna lebih dalam terhadap kehidupan.
6. Mengurangi Konflik Eksternal.
Orang yang memiliki kerukunan batin biasanya tidak mudah tersulut emosi atau terlibat dalam konflik eksternal. Dengan batin yang tenang, ia lebih mampu meredam pertikaian dan mencari solusi damai.
Ringkasnya kerukunan batin adalah fondasi penting untuk hidup yang damai, sehat, dan penuh makna. Tanpa itu, seseorang akan mudah terombang-ambing oleh tekanan hidup, emosi, dan konflik internal maupun eksternal.
LATIHAN KERUKUNAN BATIN
Melatih kerukunan batin adalah upaya untuk menciptakan kedamaian, harmoni, dan keselarasan dalam diri sendiri, sehingga tidak mudah terganggu oleh konflik batin, emosi negatif, atau tekanan dari luar.
Beberapa strategi yang bisa kamu terapkan:
1. Melatih Kesadaran Diri (Mindfulness)
Tujuannya mengenali pikiran, emosi, dan reaksi diri sendiri tanpa menghakimi.
Cara meditasi setiap hari (5–15 menit). Perhatikan napas, tubuh, dan pikiran saat melakukan aktivitas sehari-hari. Tulis jurnal emosi setiap malam.
2. Mengenali dan Menerima Emosi.
Jangan menolak emosi negatif (marah, sedih, kecewa), tapi kenali, terima, lalu lepaskan.
Contoh afirmasi: "Aku merasa marah sekarang, dan itu tidak apa-apa. Aku akan memahaminya tanpa membiarkannya menguasai diriku."
3. Membina Rutinitas Spiritualitas atau Refleksi Diri.
Bisa melalui ibadah, doa, meditasi, yoga, atau perenungan harian.
Fokus pada pertanyaan seperti: Apa yang aku syukuri hari ini? Apa yang bisa aku perbaiki dari reaksiku hari ini?
4. Memaafkan dan Melepaskan Beban Emosional.
Sering kali keretakan batin terjadi karena dendam, penyesalan, atau luka lama. Memaafkan bukan berarti membenarkan, tapi memilih untuk tidak membawa beban itu lagi.
5. Berpikir Positif dan Berbelas Kasih pada Diri Sendiri
Hindari self-talk yang negatif. Contoh kalimat positif: “Aku sedang belajar menjadi lebih baik setiap hari.” “Tidak apa-apa jika belum sempurna.”
6. Menjaga Hubungan Sosial yang Sehat
Lingkungan sekitar sangat memengaruhi batin kita. Cari teman yang mendukung, saling menghargai, dan tidak menghakimi.
7. Membaca Buku atau Mendengarkan Ceramah tentang Kedamaian Batin
Beberapa tokoh inspiratif seperti Dalai Lama, Thich Nhat Hanh, atau Gus Mus membahas topik ini dengan dalam.
8. Membatasi Gangguan dan Waktu Digital
Waktu layar yang berlebihan bisa membuat batin gelisah. Sediakan waktu tanpa media sosial untuk merasakan keheningan dan ketenangan.
Konklusi:
"Kerukunan sebagai state of mind bukan sekadar ajakan untuk hidup damai secara sosial, tetapi merupakan transformasi batin yang mendalam—menjadikan harmoni sebagai kesadaran yang hidup dalam pikiran, sikap, dan tindakan. Ini adalah bentuk kematangan spiritual yang muncul dari pengendalian diri, penyucian hati, dan kesadaran akan hakikat hidup bersama yang saling terkait.
Dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia, pendekatan ini tidak hanya relevan, tetapi mutlak diperlukan. Kerukunan tidak cukup dipahami sebagai ‘kondisi tanpa konflik’, melainkan sebagai sikap batin aktif yang senantiasa menjaga keseimbangan, menyuburkan empati, dan memperkuat toleransi. Ia menjadi bagian dari sistem nilai yang terus bekerja, baik dalam kesendirian maupun dalam interaksi sosial.
Oleh karena itu, para tokoh agama, pemimpin umat, dan semua aktor kerukunan ditantang untuk menaikkan kelas pemahaman tentang kerukunan, dari sekadar slogan atau norma sosial, menjadi cara berpikir, cara merasakan, dan cara merespons kehidupan. Ini adalah jalan menuju peradaban damai, bukan hanya dalam tataran negara, tapi lebih jauh lagi—dalam jiwa manusia.
Jika kerukunan telah menjadi state of mind, maka konflik, prasangka, dan kekerasan akan kehilangan tempat tumbuhnya. Sebaliknya, yang akan berkembang adalah ketenangan, keikhlasan, dan kasih sayang antarmanusia. Di sinilah letak urgensi latihan batin: karena membangun dunia yang rukun harus dimulai dari membangun batin yang rukun."
"Kerukunan sejati lahir dari dalam diri. Ketika kerukunan menjadi state of mind, kita tidak hanya menciptakan kedamaian luar, tapi juga membangun fondasi batin kolektif yang matang, spiritual, dan tahan terhadap perpecahan. Inilah tugas suci kita bersama: menjadikan kerukunan sebagai cara berpikir, bukan sekadar cara hidup."DS.08082025.
*Guru Besar Ilmu Tasawuf UIN Imam Bonjol dan Ketua FKUB Provinsi Sumatera

