 |
Mencintai angin harus menjadi siut
Mencintai air harus menjadi ricik… — Sapardi Djoko Damono(1940-2020), Sajak Kecil Tentang Cinta.
Ada tamsil:
Music speaks louder than words. Musik lebih peka dari kata. Musik, bahasa akal semesta, tak bisa dieja dari kata-kata kamus terlengkap sekalipun.
Sampai di sini, bahasa sains pun terpojok di ujung dalil dan hipotesa empiris teranyar.
Karna itu, John Locke(1632-1704) dan David Hume(1711-1776) — pengaju metode empirisme yang dipengaruhi aritmatik bunyi Pythagoras(570-495 SM) — hingga kini belum bisa membuktikan kecanggihan teori fisika superstring.
Jika air sebagai benda cair bisa merespon bahasa verbal dalam pembentukan molekul kristal(lihat, Masaru Emoto, The True Power of Water: Healing and Discovering Ourselves, 2003), maka bunyi sebagai materi yang bertaut dengan udara(juga mengandung cairan) tentu sanggup merespon kontak dan koneksinya.
Putarlah Wind Quintet(https://youtu.be/F40X8bRxKI4?si=AJtfPKdQb_TIFm21)
Beethoven, di alam pagi dari ketinggian tertentu dan resapi metode sains superstring.
Sejauh dan sedalam apa "noumena" musik alam mampu memerikan peresapan dan pencerapan pancaindra serta sarwaindra.
Sedikit detil logika spiritualnya, cerap dari The Seat of The Soul(1989) Gary Zukav(82).
Zukav, salah satu pioner dalam sains spiritual(scientia sacra) — jauh sebelum ilmu kecerdasan emosi Goleman — memenuhi jagat pengetahuan kita yang telah digersangkan oleh kelesatan industri sains materialisme.
Terutama, sejak filsafat empirisme Locke dan diteruskan oleh Hume berjaya dari wakaf Novum Organum Francis Bacon(1561-1626) hingga abad paska kebenaran.
Melalui wakf Novum Organum itu, fondasi abad Pencerahan(Aufklärung) disabdakan Sapere Aude Kantian maupun knowledge is power Baconian.
Dan salah satu kedigdayaan dan kemenangan berpikir hari ini lewat prestasi sains, hasilnya: papirus ijazah palsu dan ujicoba vaksin TBC!
