![]() |
_"Mengapa Panggung Selalu Milik Mereka yang Berhasil?_
_"Apakah mereka yang bertahan untuk tetap bangkit setelah ratusan kali gagal, tidak pantas mendapatkan panggung yang sama?"_
_"Apakah karena cerita keberhasilan selalu lebih menarik daripada cerita tentang kegagalan?"_
---000---
Di balik panggung yang gemerlap,
di mana lampu-lampu menari bersama suara mikrofon,
seorang pria berdiri dengan jas mewah dan sepatu nyentrik,
bercerita tentang kerja keras
seolah semesta hanya mendengar mereka yang berhasil.
Katanya: "Perjuangan adalah milik mereka yang bangun pagi."
Katanya: "Kemiskinan adalah kutukan bagi mereka yang malas."
Dan hadirin pun mengangguk,
tepuk tangan membanjiri ruangan,
seakan kebenaran baru saja diucapkan oleh nabi.¹
Namun, di luar pintu ruangan,
angin membawa suara serak seseorang yang mengamen.
Bajunya lusuh, suaranya patah-patah menahan lapar.
Ia tak sedang bicara, ia hidup dalam kerja keras.
Ia tak diminta naik panggung,
meski ia bangun lebih pagi dari matahari
dan tidur lebih larut dari lampu kota yang padam.
Di sakunya ada ijazah sarjana,
tapi di tangannya hanya ada kaleng kosong
yang menampung receh dan tatapan iba.
Ayahnya stroke sejak dua tahun lalu—
dan ia, anak lelaki satu-satunya,
menjadi tongkat yang tak diakui oleh cerita motivasi.
Mengapa panggung selalu milik mereka yang berhasil?
Apakah tawa yang dipahat dari luka tak layak disorot?
Apakah perjuangan tentang jatuh dan tetap bangkit tidak cukup memesona?
Padahal, bukankah yang paling kuat
adalah mereka yang tetap melangkah
meski dunia hanya memberi jalan setapak?
Setiap kali mereka membuka layar:
televisi, seminar, media sosial—
wajah-wajah dengan senyum sempurna menatap dari layar,
mengucap mantra tentang keberhasilan:
“Bangun pagi, kerja keras, lalu sukses.”
Mereka bersinar.
Sementara yang lainnya—
yang berkeringat tanpa kamera,
yang bekerja keras tanpa panggung,
tetap dalam bayang-bayang narasi besar
yang tak pernah menyebut nama-nama
yang berjuang setengah mati
namun tetap berada dalam kegagalan.
Di dunia ini, tak semua lahir dari titik yang sama.
Ada yang dibesarkan di rumah dengan rak buku dan meja belajar,
ada yang tumbuh di gang sempit dengan mimpi seadanya.
Ada yang punya akses,
dan ada yang bahkan tak tahu cara mengetuk pintu.²
Namun narasi tak pernah adil.
Yang kaya dipuji karena kerja keras,
yang miskin dicibir karena dianggap malas.
Padahal kerja keras bukan satu-satunya ukuran—
kadang keberuntungan menyamar sebagai ketekunan,
dan kadang kekalahan lahir dari dunia yang tak adil sejak awal.³
Maka jangan heran jika banyak cerita gagal
tak pernah diundang bicara di atas panggung.
Karena peluh yang tak jadi emas
tak cukup menarik untuk dijual sebagai inspirasi.
Karena airmata yang tak berubah jadi tawa
tak cukup layak dituliskan dalam buku motivasi.
Panggung sosial selalu berpihak
pada yang berbinar, yang dianggap berhasil.
Tapi di luar jangkauan mikrofon,
di balik panggung yang megah dan glamor,
ada mereka—
yang hidup dalam bayang-bayang perjuangan,
yang tetap bertahan,
meski dunia hanya memberinya tepian panggung
tanpa sorot,
tanpa nama,
Dan terkadang penuh tatapan hina.
---000---
CATATAN:
¹ Banyak seminar motivasi cenderung menyederhanakan realitas sosial dengan narasi "jika kamu gagal, itu salahmu sendiri", tanpa mempertimbangkan faktor sistemik seperti kemiskinan struktural atau ketimpangan akses pendidikan.https://www.psychologytoday.com/us/blog/culture-conscious/201909/the-problem-self-help
² Privilege sosial adalah keuntungan tak kasat mata yang dimiliki seseorang berdasarkan ras, kelas, gender, atau latar belakang ekonomi. Privilege memengaruhi akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan peluang. https://www.tolerance.org/magazine/summer-2018/what-is-white-privilege-really
³ Data dari World Economic Forum dan berbagai studi menunjukkan bahwa mobilitas sosial sangat rendah di banyak negara, dan keberhasilan sangat dipengaruhi oleh asal keluarga. https://www.weforum.org/agenda/2020/01/social-mobility-index-2020-opportunity-gap/