![]() |
---000---
Di jalan raya yang riuh dan sesak,
seorang sarjana membelah kota
dengan toga hitam di atas helm
dan jaket hijau pinjaman aplikasi.
Ijazahnya?
Dilaminating rapi,
tersimpan dalam laci
bersama mimpi-mimpi yang kini basi.
“Cumlaude,” katanya saat wisuda,
dengan mata yang dulu penuh cahaya.
Kini bergema di telinga penumpang
yang bertanya, “S1 apa, Mas?”
Senyumnya kaku.
“Ekonomi Pembangunan, Bu.”
Lalu helm diturunkan
dengan kepala tertunduk malu pada udara.
Ia dulu belajar tentang inflasi,
kini dihantui tarif sepi.
Pernah hafal teori Adam Smith,
tapi nyatanya, menunda perut lapar
tak ada dalam ilmu skripsi.
Setiap lampu merah
tak peduli apakah kau lulusan terbaik
atau hanya lulusan hidup.
Keringat mengalir sama derasnya
di antara yang putus sekolah
atau yang baru selesai S2:
semua sama—pejuang rupiah.
Kota ini terlalu pandai menertawakan
para idealis muda.
Gelar sarjana jadi barang diskon
di pasar kerja yang tak seimbang.
Pengangguran terbuka tertinggi adalah mereka dengan lulusan universitas.¹
Sungguh ironis!
Di belakangnya, berita korupsi berseliweran,
pejabat menyuap masa depan
dengan senyum di konferensi pers.
Rakyat? Hanya penonton yang makin apatis,
lelah mengutuk nasib
yang lagi-lagi menguap bersama janji palsu.
Sistem pendidikan, katanya, “untuk membebaskan,”
tapi lupa menyediakan jalan pulang.
Lembaga riset mencatat:
tiga dari lima lulusan perguruan tinggi
bekerja di sektor informal
pada dua tahun pertama setelah wisuda.²
Mereka bukan malas,
mereka cuma lahir di zaman
yang tak menyediakan ruang
untuk anak-anak cerdas dari rumah sempit.
Kita membanggakan kampus,
tapi lupa membangun lapangan kerja.
Kita mencetak gelar,
tapi tak mencetak arah.
Lalu menuduh:
“Anak muda tak tahan banting!”
Padahal yang menghantam mereka adalah sistem,
bukan tantangan.
Kurikulum dijejali retorika karakter,
tapi perut tak bisa dikuliahkan.
Menteri pernah berkata:
“Pendidikan bukan hanya soal kerja,
tapi soal membangun karakter.”³
Sayangnya, idealisme tak bisa dibarter
dengan harga sebungkus nasi hari ini.
Kini, di lampu merah
ia berhenti sejenak—
bukan karena takut terlambat,
tapi karena lelah ditertawakan nasib
yang bahkan tak lucu untuk dijadikan
lelucon stand-up.
Toga itu tetap ia kenakan,
bukan untuk gaya,
tapi agar dunia tahu:
ia pernah percaya
pendidikan adalah jalan keluar.
Meski nyatanya, ia keluar... ke jalan.
---000---
CATATAN:
¹ Badan Pusat Statistik (2024): Lulusan universitas mencatat pengangguran terbuka tertinggi, yakni 5,8%.
² LIPI (2023): Mayoritas lulusan perguruan tinggi bekerja di sektor informal selama dua tahun awal setelah wisuda.
³ Pernyataan Mendikbud Nadiem Makarim dalam konferensi pers 2022: “Pendidikan bukan sekadar pencari kerja, tetapi pembentuk karakter.”