Type Here to Get Search Results !

SECURITY APROACH?: Analisis Sosiologi Konflik dan Kajian Kebijakan

Oleh: Duski Samad

Topik tulisan di atas muncul saat penulis membaca dan mengikuti alur pikir dan paradigma birokrat dalam menyelesaikan kasus pembubaran 

Ibadah umat non muslim di Padang Sarai yang terjadi beberarapa hari belakangan ini. Entah disebabkan mereka malas berfikir atau ketidatahuan akar masalah, bisa pula ada keinginan terselubung untuk tujuan tertentu dari para pihak yang seringkali diselesaikan dengan pendekatan keamanan (security aproach) ketika kebebasan dan pengawasan medsos luar biasa ketatnya.

Memang, gesekan antarumat beragama di Indonesia kerapkali diselesaikan melalui pendekatan keamanan (security approach) yang menekankan pengendalian situasi secara fisik melalui aparat negara. Akibatnya kerukunan tidak langgeng, menjadi semu dan tidak menyintuh core problema. 

Artikel ini menganalisis dampak pendekatan security tersebut dengan perspektif sosiologi konflik dan kebijakan publik melalui kerangka teori konflik (Lewis Coser, Ralf Dahrendorf) dan teori resolusi konflik berbasis masyarakat.

Penulis ingin menunjukkan bahwa pendekatan keamanan cenderung gagal menyelesaikan akar masalah, menimbulkan trauma sosial, memperkuat polarisasi, dan berpotensi menurunkan legitimasi negara. Oleh karena itu perlu direkomendasikan model kebijakan hibryd yang menggabungkan pendekatan keamanan dengan mediasi berbasis kearifan lokal, penguatan FKUB, dan penegakan hukum yang adil sebagai solusi jangka panjang.

Konflik antarumat beragama, baik berupa gangguan ibadah, polemik rumah ibadah, maupun gesekan sosial, merupakan fenomena yang terus muncul di Indonesia. Sebagai negara dengan keragaman agama yang kompleks, Indonesia memiliki tantangan khusus dalam mengelola gesekan ini agar tidak berkembang menjadi konflik horizontal yang lebih luas.

Namun, penanganan konflik semacam ini kerap didominasi oleh pendekatan keamanan (security approach)—melibatkan aparat kepolisian, pembubaran kegiatan, penangkapan, atau penindakan represif. Pendekatan ini sering diambil karena dianggap cepat dan efektif menjaga stabilitas.

Pertanyaannya, apakah pendekatan ini efektif untuk jangka panjang? 

Jawaban dapat ditemukan dengan menganalisisnya melalui teori sosiologi konflik dan kebijakan publik.

Teori Konflik (Lewis Coser dan Ralf Dahrendorf)

Lewis Coser (1956) menyatakan bahwa konflik dapat memiliki fungsi positif (mendorong perubahan sosial) bila dikelola dengan mekanisme resolusi yang adil.

Ralf Dahrendorf (1959) menegaskan bahwa konflik adalah bagian tak terelakkan dari masyarakat, terutama ketika ada ketimpangan kekuasaan dan distribusi sumber daya. Bila ditekankan dengan kekuatan (coercion), konflik tidak hilang, tetapi beralih ke bentuk laten yang lebih berbahaya.

Pendekatan Resolusi Konflik Berbasis Masyarakat.

Menurut John Paul Lederach (1997), penyelesaian konflik yang berkelanjutan harus melibatkan dialog, rekonsiliasi, dan keterlibatan komunitas lokal, bukan hanya aktor negara. Ini menjadi krusial dalam konteks konflik agama yang berakar pada identitas dan relasi sosial.

Dampak Negatif Pendekatan Keamanan.

Akar Masalah Tidak Tersentuh. Security approach berfokus pada meredam gejala, bukan penyebab, sehingga ketidakadilan sosial, diskriminasi, dan kesenjangan ekonomi tetap ada, potensi konflik berulang (latent conflict).

Trauma dan Ketidakpercayaan Sosial.

Tindakan represif bisa memicu trauma kolektif dan rasa ketidakadilan. Hal ini memunculkan narasi victimhood (“kami dizalimi”), yang memperkuat identitas eksklusif.

Polarisasi dan Radikalisasi.

Masyarakat menjadi terbelah, kelompok terpinggirkan mencari perlindungan pada jaringan radikal, sehingga memperluas eskalasi konflik.

Krisis Legitimasi Negara dan Tekanan Internasional.

Jika penanganan dianggap diskriminatif, negara dipersepsikan gagal menjamin hak konstitusional (UU 39/1999 tentang HAM). Kasus dapat menarik perhatian internasional, merusak citra negara.

Kajian Kebijakan: Mengapa Security Approach Dominan?

Kebijakan Nasional: Pemerintah daerah sering berlindung pada Peraturan Bersama Menteri (PBM) No. 9 dan 8/2006 tentang Rumah Ibadah yang memberi kewenangan besar pada aparat keamanan untuk intervensi.

Pertimbangan Politik. Penanganan cepat dianggap penting untuk mencegah isu melebar secara nasional.

FKUB dan Mediasi Lokal: Lembaga seperti FKUB sering lemah dalam kapasitas mediasi, sehingga aparat menjadi pilihan utama. FKUB lemah atau dilemahkan, dipandang tidak penting, tidak diberi anggaran oleh Pemerintah Daerah yang memadai adalah berdampak tidak efektifnya advokasi dan edukasi kerukunan. 

Kebijakan yang mengintegrasikan pendekatan sosial-budaya, kearifan lokal, musyawarah adat, literasi toleransi, yang justru lebih sesuai dengan konteks masyarakat Indonesia, sayang tidak perhatian oleh pihak penentu kebijakan di daerah ini. Beda di daerah lain kerukunan, toleransi dan harmoni menjadi baik, karena tokoh agama dan FKUB diperhatikan. 

Patut dicemaskan Sumatera Barat dapat saja sewaktu-waktu dapat heboh, gaduh dan gesekan antar umat beragama karena institusinya saja tidak tidak diperhatikan dan setiap ada krisis selalu dikedepankan pendekatan keamanan. 

Sayang sekali pula ada pejabat dengan enteng menyatakan FKUB tidak diperlukan dan tak perlu anggaran, toh negeri kita aman dan baik-baik saja. Ketika ribut baru sadar dan tokoh agama diminta dukungan dan mediasinya. 

Model Penanganan Alternatif (Rekomendasi Kebijakan)

Pendekatan Hibrid (Security + Dialog Sosial). Aparat tetap menjaga keamanan, tetapi mediasi dilakukan oleh FKUB, tokoh adat, dan tokoh agama.

PBM 9 dan 8/2006 sudah memberi ruang pada penyelesaian berbasis musyawarah dan rekonsiliasi sebelum penegakan hukum, namun sering diabaikan.

Penguatan FKUB, dan tokoh agama dengan pendanaan, banyak daerah di Indonesia sudah milyaran angka yang dikucurkan untuk dan pelatihan mediasi konflik, pembinaan tokoh lintas agama, pemuda dan aktor kerukunan.

Literasi Publik dan Pendidikan Toleransi untuk mencegah konflik berbasis prasangka.

Penegakan Hukum yang Netral (non-diskriminatif) agar semua pihak merasa adil.

Kesimpulan

Pendekatan keamanan semata dalam menyelesaikan gesekan antarumat beragama tidak efektif untuk jangka panjang. Ia hanya meredam gejala, tetapi memperparah konflik laten, memperlemah legitimasi negara, dan berisiko memicu polarisasi sosial. 

Model penanganan hibrid berbasis keamanan dan dialog sosial dengan penguatan peran FKUB, tokoh agama dan pendidikan toleransi merupakan kebijakan yang lebih berkelanjutan.

Daftar Pustaka 

• Coser, Lewis. The Functions of Social Conflict. Free Press, 1956.

• Dahrendorf, Ralf. Class and Class Conflict in Industrial Society. Stanford University Press, 1959.

• Lederach, John Paul. Building Peace: Sustainable Reconciliation in Divided Societies. USIP, 1997.

• Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

• Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Rumah Ibadah.

• Smith, Donald. "Religion, Politics, and Social Change in the Third World." Annual Review of Sociology, Vol. 25, 2001.

DS.lionairbthtopdg. 30072025.

*Ketua FKUB Provinsi Sumatera Barat

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.