Type Here to Get Search Results !

Pemimpin Tegas dan Kuat Menjaga Rakyat

Oleh: Duski Samad

Anak Nagari Sikabu Lubuk Alung

Bencana bukan hanya menguji kekuatan alam, tetapi juga kualitas kepemimpinan. Ketika banjir bandang melanda Padang Pariaman pada 28 November 2025 lalu, masyarakat tidak hanya menghadapi kerusakan fisik berupa jembatan putus, rumah rusak, dan lahan pertanian tertimbun lumpur, tetapi juga keguncangan psikologis, ketidakpastian masa depan, dan kerentanan sosial yang sangat tinggi. Pada momen seperti ini, pemimpin dituntut hadir, tegas, dan berani mengambil kebijakan yang mungkin tidak populer namun menyelamatkan banyak nyawa.

Salah satu contoh nyata kepemimpinan itu tampak pada tindakan tegas Bupati Padang Pariaman, John Kenedy Azis (JKA), yang melarang angkutan truk bertonase berat melintasi satu-satunya jembatan yang masih tersisa menuju Lubuk Alung Timur. Kebijakan ini muncul setelah dua jembatan besar—Kayu Gadang dan Koto Buruk—terban dihantam banjir bandang sebelumnya. Kini, hanya satu jembatan yang menghubungkan empat nagari di Lubuk Alung Timur, termasuk akses ke GOR Utama Sumatera Barat di Sikabu Lubuk Alung. Bila truk bertonase besar dibiarkan melintas, risiko keruntuhan jembatan meningkat drastis. Dan jika itu terjadi, dampaknya bukan hanya tersendatnya mobilitas, melainkan terisolasinya ribuan masyarakat dan potensi korban jiwa dalam skala besar.

Di sinilah terlihat perbedaan antara pemimpin administratif dan pemimpin substantif. Pemimpin administratif hanya mengurus kewenangan, tetapi pemimpin substantif bekerja dengan kesadaran moral bahwa setiap keputusannya menyangkut keselamatan manusia. Dalam kajian psikologi bencana, keputusan tegas semacam itu dikategorikan sebagai decisive leadership, yaitu kemampuan membuat keputusan penting dalam situasi tekanan tinggi dengan mempertimbang kan risiko terbesar. Ketegasan seperti ini mereduksi kecemasan publik, menegaskan prioritas keselamatan daripada kepentingan ekonomi sesaat, dan memperkuat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah.

Namun realitas di lapangan sering tidak ideal. Masih ada pelaku usaha yang memaksakan diri melintas, mengabaikan larangan pemerintah, dan menempatkan keuntungan di atas keselamatan ribuan orang. Inilah masa ketika ketegasan pemimpin menjadi bukan sekadar pilihan, melainkan kewajiban moral dan konstitusional. Dalam sosiologi Minangkabau, tindakan seperti ini disebut mangabaikan salamatan urang kampuang—mengorbankan keselamatan orang banyak demi kepentingan pribadi. Dan dalam kondisi bencana, pelanggaran seperti ini tidak boleh dibiarkan.

Kehadiran Bupati JKA, Wakil Bupati Rahmat, Sekda, dan seluruh jajaran pemerintah pada hari-hari pertama pascabencana menunjukkan model kepemimpinan lain yang tidak kalah penting, yaitu empathic leadership—kepemimpinan yang hadir secara fisik, menyaksikan penderitaan rakyat, mendengar langsung keluhan, serta memastikan penanganan berjalan cepat. Dalam literatur psikologi krisis, kehadiran pemimpin di lapangan dapat menurunkan tingkat kecemasan masyarakat hingga 30 persen karena masyarakat merasakan adanya figur yang menjaga mereka. Hal inilah yang kami saksikan di Padang Pariaman.

Dari perspektif teknik sipil dan manajemen risiko, larangan melintas bagi truk bertonase besar juga memiliki dasar ilmiah yang kuat. Jembatan yang sudah retak, terutama setelah dihantam gaya lateral banjir, sangat rentan mengalami progressive collapse jika diberi beban berlebih. Keruntuhan struktural semacam ini biasanya tidak memberikan tanda awal yang cukup, sehingga kerusakan bisa terjadi tiba-tiba dan menimbulkan korban fatal. Oleh karena itu, pelarangan melintas bukan sekadar pengetatan aturan, tetapi tindakan mitigasi yang menyelamatkan nyawa.

Sebagai masyarakat yang hidup dalam budaya adat Piaman, kita memahami bahwa pemimpin sejati adalah mereka yang maambiang nan kusuik, manampuah nan labuah, dan mambasuik nan anyuik. Artinya, pemimpin harus hadir menyelesaikan yang kusut, mencari jalan bagi yang buntu, dan mengambil tindakan cepat untuk masalah yang darurat. Dalam konteks ini, tindakan tegas Bupati JKA beserta tim merupakan cerminan kepemimpinan yang berakar pada nilai budaya lokal.

Kepemimpinan semacam ini juga memiliki resonansi kuat dalam tradisi Islam. Saat dipilih menjadi khalifah, Abu Bakar ash-Shiddiq mengatakan, “Yang kuat di antara kalian akan aku lemahkan bila ia menzalimi. Yang lemah akan aku kuatkan hingga haknya tegak.” Prinsip ini menegaskan bahwa pemimpin tidak boleh tunduk kepada tekanan kelompok kuat yang merugikan masyarakat banyak. Pemimpin harus berpihak kepada yang lemah dan memastikan keselamatan mereka terjamin. Relevansinya dengan situasi kita sangat jelas: pengusaha truk memang memiliki kepentingan ekonomi, tetapi hak masyarakat untuk hidup aman harus menjadi prioritas tertinggi.

Di tengah krisis besar, pemimpin tidak cukup hanya hadir. Ia harus mampu mengambil sikap, menegakkan aturan, menghadirkan solusi, dan memulihkan harapan. Kami, komunitas intelektual Padang Pariaman, menilai bahwa respon cepat—mulai dari evakuasi, penyelamatan, pendataan, pemulihan infrastruktur, sampai mitigasi risiko lanjutan—telah dilakukan secara optimal oleh Bupati, Wakil Bupati, dan jajaran.

Dampak sosial dari kepemimpinan tegas sangat besar. Pertama, mencegah konflik horizontal antara masyarakat dan pelaku usaha truk. Kedua, menciptakan disiplin publik dalam penggunaan jalur evakuasi. Ketiga, memperkuat modal sosial masyarakat yang sempat goyah karena trauma bencana. Keempat, meningkatkan efektivitas koordinasi lintas lembaga dalam penanganan bencana.

Kita perlu memahami bahwa Padang Pariaman bukan hanya daerah yang indah, tetapi juga wilayah yang rawan bencana. Karena itu, perlindungan infrastruktur vital seperti jembatan bukan sekadar teknis, tetapi bagian dari strategi pertahanan sosial (social resilience). Dan tanpa pemimpin yang tegas, strategi itu mustahil berjalan.

Bencana memang menyisakan luka, tetapi juga membuka ruang untuk menilai kualitas kepemimpinan kita. Pemimpin yang kuat bukanlah yang hanya pandai berpidato, tetapi mereka yang berani mengambil keputusan keras demi menyelamatkan rakyat. Pemimpin yang dicintai bukan hanya yang dekat secara fisik, tetapi yang hadir dengan tindakan yang tepat.

Semoga ketegasan dan kehadiran pemerintah daerah Padang Pariaman menjadi inspirasi bagi daerah lain dalam membangun kepemimpinan tangguh menghadapi bencana. Karena pada akhirnya, amanah pemimpin adalah menjaga nyawa dan masa depan rakyatnya.

Dan pemimpin tegas itulah yang kini dirasakan manfaatnya oleh masyarakat Lubuk Alung dan Padang Pariaman. DS. 07122025.

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.