Type Here to Get Search Results !

Resonansi Gesekan Umat Lintas Agama

Oleh: Duski Samad 

Resonansi Gesekan Umat Lintas Agama yang dimaksud disini adalah beberapa gejala ikutan setelah gesekan terjadi, di antaranya;

1. Efek berantai dari sebuah peristiwa lokal – sebuah gesekan, konflik, atau pembubaran ibadah yang terjadi di satu wilayah sering bergema (resonansi) ke ruang publik lebih luas melalui media sosial, pemberitaan, dan opini, sehingga dampaknya melebihi konteks awal.

2. Persepsi diskriminasi atau ketidakadilan yang membesar – meskipun kasus sering kali bersifat spesifik (dipicu faktor perizinan, komunikasi, atau perilaku individu), resonansi membuatnya dipersepsikan sebagai persoalan sistemik antara mayoritas-minoritas.

3. Kerentanan sosial karena lemahnya akulturasi dan komunikasi – resonansi muncul lebih kuat ketika antar umat beragama kurang saling mengenal, minim interaksi, atau tidak memahami kearifan lokal, sehingga prasangka cepat berkembang.

4. Perlu manajemen konflik berbasis kearifan lokal dan komunikasi publik – agar resonansi tidak berubah menjadi polarisasi, penanganan harus mengedepankan musyawarah, mediasi, dan transparansi, bukan sekadar tindakan reaktif.

Jadi, esensinya adalah bahwa resonansi bukan sekadar konflik itu sendiri, tetapi gema sosial, opini, dan dampak berantai yang dapat memperbesar masalah jika tidak dikelola dengan pendekatan yang adil, elegan, dan berakar pada kearifan lokal.

Peristiwa pembubaran ibadah atau gesekan antar umat beragama bukan hanya terjadi di Padang, tetapi juga di berbagai daerah lain di Indonesia. Isu semacam ini seringkali memicu resonansi di media sosial dan memunculkan persepsi diskriminasi atau ketidakadilan, bahkan ketika kasus memiliki konteks lokal yang berbeda. Jika tidak dikelola dengan baik, kasus di Padang bisa memicu eskalasi opini publik, tekanan nasional, bahkan internasional.

Kearifan Lokal sebagai Peredam.

Dalam beberapa kasus, konflik atau gesekan tidak berlanjut karena adanya kearifan lokal—seperti musyawarah antar warga, peran tokoh adat/agama, dan pendekatan kekeluargaan—sehingga ketegangan dapat diselesaikan tanpa memunculkan polarisasi. Di Sumatera Barat, falsafah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK) bisa menjadi kerangka penyelesaian: menegakkan prinsip keadilan, menjaga martabat semua pihak, dan mengedepankan dialog.

3. Faktor-faktor Pemicu

Beberapa faktor yang mungkin melatarbelakangi peristiwa ini antara lain:

Segregasi sosial: Kurangnya interaksi dan saling mengenal antar kelompok agama, sehingga mudah terjadi prasangka.

Dominasi mayoritas: Perasaan terancam atau dominasi budaya mayoritas yang memicu sensitivitas kelompok minoritas.

Akulturasi yang lemah: Tidak adanya ruang budaya yang memungkinkan keragaman hidup berdampingan dengan harmoni.

Faktor ekonomi atau kepentingan lain: Persaingan ekonomi, perebutan lahan, atau kepentingan politik lokal dapat memperkeruh situasi.

4. Penanganan Holistik

Agar penanganan tidak bias, seluruh unsur harus dilibatkan:

Pelaku dan korban: Mengedepankan mediasi, bukan sekadar hukuman, untuk membangun rasa keadilan.

Pemerintah lokal (RT/RW, kelurahan): Menjadi fasilitator netral yang memediasi dan memfasilitasi izin/komunikasi.

Tokoh masyarakat dan adat: Mendorong pendekatan musyawarah berbasis kearifan lokal.

Tokoh agama: Menguatkan pesan damai, toleransi, dan mendukung solusi yang tidak menimbulkan luka sosial.

FKUB: Memastikan kasus ini tidak menjadi preseden buruk dan memberi ruang edukasi publik.

5. Prinsip Penanganan: Proporsional, Elegan, dan Tidak Menyudutkan.

Pendekatan harus menjaga keseimbangan kepentingan semua pihak:

Tidak ada pihak yang merasa dihakimi atau dimarginalisasi.

Penegakan hukum (jika ada pelanggaran) dilakukan tanpa diskriminasi.

Mengedepankan dialog terbuka agar ada solusi jangka panjang—bukan sekadar "pemadaman api" sementara.

Menguatkan Harmoni dengan Kearifan Lokal.

Isu yang muncul di tengah masyarakat bukanlah persoalan mayoritas dan minoritas, melainkan perilaku sebagian individu atau kelompok kecil yang mengabaikan kearifan lokal. Kearifan lokal—seperti prinsip musyawarah, rasa malu (malu baso malu jo urang), dan sikap menghormati ruang sosial—selama ini menjadi perekat kehidupan masyarakat. Saat nilai ini diabaikan, gesekan sosial lebih mudah muncul, walau tanpa unsur diskriminasi.

Penyelesaiannya bukan dengan menyoroti perbedaan jumlah atau identitas agama, tetapi dengan:

Memperkuat edukasi kearifan lokal dan hukum yang berlaku, agar setiap pihak memahami cara bertindak yang selaras dengan adat dan aturan negara.

Mendorong peran tokoh adat, agama, dan pemuda untuk menjadi penengah dan pengingat nilai harmoni yang hidup di tengah masyarakat.

Membangun komunikasi proaktif antar warga, sehingga perbedaan praktik atau aktivitas bisa dikelola melalui dialog, bukan konfrontasi.

Penegakan aturan secara adil dan proporsional, agar tidak ada pihak yang merasa diistimewakan atau dirugikan.

Dengan pendekatan ini, harmoni sosial tetap terjaga, tidak ada diskriminasi yang dilekatkan pada mayoritas atau minoritas, dan fokus diarahkan pada perbaikan perilaku individu agar kehidupan bersama tetap damai, adil, dan berkeadaban.

Berikut konklusi dan rekomendasi dari opini “Resonansi Kasus Antar Umat Beragama di Sumatera Barat” karya Duski Samad:

Konklusi

Peristiwa gesekan atau pembubaran ibadah di Sumatera Barat, termasuk di Padang, bukan semata persoalan mayoritas dan minoritas, tetapi lebih pada ketidakmampuan sebagian individu atau kelompok kecil menjaga kearifan lokal dan membangun komunikasi yang sehat. Ketegangan sosial sering bereskalasi karena resonansi media dan persepsi diskriminasi, meskipun konteks lokal tiap kasus berbeda.

Kearifan lokal Minangkabau, khususnya falsafah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK), terbukti efektif sebagai peredam konflik karena menekankan musyawarah, penghormatan, dan keadilan. Konflik dapat diminimalisasi jika penyelesaian melibatkan seluruh unsur—pelaku, korban, tokoh adat-agama, pemerintah, serta FKUB—dengan pendekatan yang proporsional, elegan, dan berorientasi pada harmoni jangka panjang.

Rekomendasi

• Penguatan Kearifan Lokal dan Edukasi Publik

• Sosialisasi nilai ABS-SBK, musyawarah, dan penghormatan ruang sosial di sekolah, rumah ibadah, dan komunitas warga.

• Edukasi tentang peraturan perizinan dan tata tertib sosial agar masyarakat paham prosedur dan haknya.

• Optimalisasi Peran Tokoh dan Lembaga

• FKUB bersama tokoh adat dan agama membentuk Tim Mediasi Cepat untuk menangani gesekan sebelum melebar.

• Pemuda dan organisasi masyarakat dilibatkan sebagai agen dialog dan harmoni di tingkat akar rumput.

• Mekanisme Komunikasi dan Mediasi

• Membangun forum komunikasi rutin antar umat beragama di kelurahan atau nagari untuk mengantisipasi gesekan.

• Memfasilitasi dialog terbuka ketika ada perbedaan praktik atau perizinan agar tidak berujung pada konflik.

• Penegakan Hukum yang Adil dan Transparan

• Semua kasus pelanggaran diselesaikan sesuai aturan tanpa diskriminasi atau keberpihakan.

• Pemerintah daerah menjadi fasilitator netral dalam pengambilan keputusan dan penyelesaian sengketa.

• Manajemen Opini Publik

• FKUB bersama pemerintah daerah menyiapkan strategi komunikasi krisis agar kasus lokal tidak beresonansi negatif di media nasional dan internasional.

Dengan langkah-langkah ini, Sumatera Barat dapat menjaga harmoni sosial tanpa stigma diskriminasi, menguatkan nilai ABS-SBK sebagai solusi lokal, dan memberi teladan penyelesaian konflik antarumat beragama yang adil dan berkeadaban.CKhotel@ tanjungpinang29072025

*Ketua FKUB Provinsi Sumatera Barat

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.