![]() |
Pengurus Yayasan Islamic Center Syekh Burhanuddin foto bersama dengan Bupati John Kenedy Azis usai dialog dan diskusi soal STIT yang dikola yayasan. |
Kompak untuk lebih besar disampaikan Bupati Padang Pariaman John Kenedy Azis saat menerima Pengurus Yayasan Islamic Centre Syekh Burhanuddin bersama dua orang candidat Ketua STIT SB 2025-2029 berkonsultasi ke rumah dinas bupati di Kota Pariaman.
Era demokratisasi dan kebebasan saat ini tidak jarang salah dipahami, regulasi dan aturan diabaikan dengan mengatasnamakan demokrasi. Kebebasan dan demokrasi kampus tentu mesti didasarkan pada peraturan statuta. Tak ada kebebasan yang bebas tanpa pengaturan.
Demokrasi tanpa aturan apa jadinya?” adalah refleksi kritis yang sangat penting. Jawaban singkatnya demokrasi tanpa aturan akan runtuh ke dalam kekacauan dan tirani mayoritas, bahkan bisa berubah menjadi anarki atau otoritarianisme yang tersembunyi.
Demokrasi Butuh Aturan. Demokrasi sejati bukan sekadar suara mayoritas, tetapi juga sistem nilai dan hukum.
Risiko Demokrasi Tanpa Aturan. Jika tidak diikat oleh aturan, maka mayoritas bisa menindas minoritas. Pemimpin bisa memanipulasi kekuasaan tanpa mekanisme check and balance. Korupsi dan nepotisme merajalela karena tak ada penegakan hukum. Kebebasan yang tak terbatas berubah menjadi konflik kepentingan dan kekerasan
Demokrasi tanpa aturan adalah seperti kapal tanpa kemudi. Meskipun semua orang bisa naik dan bersuara, kapal itu akan hanyut tanpa arah, bahkan tenggelam.
Maka dari itu demokrasi butuh hukum, etika, dan institusi yang menjaga. kekacauan.
DEMOKRASI KAMPUS
Esensi demokrasi dalam pemilihan pemimpin kampus bukan sekadar memilih siapa yang menang, tapi lebih kepada bagaimana proses memilih itu mencerminkan nilai-nilai keadilan, keterbukaan, dan akuntabilitas akademik.
Esensi Demokrasi dalam pemilihan pemimpin kampus
adalah kedaulatan akademik.
Demokrasi kampus menegaskan bahwa masyarakat akademik (dosen, mahasiswa, tenaga kependidikan) memiliki hak suara atau aspirasi dalam menentukan arah kepemimpinan. Tentu berdasarkan aturan yang sudah ditetapkan.
Pemimpin kampus pelayan nilai dan visi perguruan tinggi. Proses pemilihan yang demokratis harus terbuka dalam pencalonan. Jelas kriteria dan tahapan seleksi. Terbuka untuk pengawasan publik kampus
Kompetensi dan Integritas demokrasi dunia kampus bukan hanya soal “siapa populer”, tapi siapa yang kompeten dan bermoral. Oleh karena itu, mekanisme demokrasi kampus perlu menyeimbangkan kualitas gagasan dan rekam jejak kandidat.
Demokrasi kampus menjaga agar kepemimpinan tidak hanya berpihak pada kelompok tertentu. Pimpinan kampus harus menjadi simbol persatuan nilai keilmuan dan etika kampus.
Demokrasi bukan hanya hak memilih, tetapi juga hak menyampaikan kritik. Hak atas informasi. Hak menuntut akuntabilitas pemimpin setelah terpilih.
Demokrasi dalam pemilihan pemimpin kampus adalah manifestasi dari cita-cita kampus sebagai komunitas ilmiah yang otonom, etis, dan berkeadaban. Jika proses pemilihannya sehat, maka hasilnya akan menghadirkan pemimpin kampus yang visioner, melayani, dan menjaga marwah akademik.
MENJAGA KEKOMPAKAN PASCA PEMILIHAN.
Menjaga kekompakan setelah pemilihan yang meniscayakan terjadinya pengelompokan adalah tugas paling awal yang mesti dilakukan oleh mereka yang diangkat setelah pemilihan dan uji kompetensi dilakukan pihak pemegang otoritas.
Pemilihan—apalagi pemilihan pemimpin kampus—memang kerap memicu fragmentasi. Tapi justru di situlah ujian kedewasaan demokrasi dan integritas akademik: bagaimana merangkul, bukan memukul; bagaimana membangun, bukan membalas.
Strategi Membangun Kekompakan Pasca Pemilihan.
Pemimpin terpilih wajib merangkul.
“Waktunya pengelompokan atau adanya tim sudah selesai. Kini waktunya bekerja bersama.”
Pemimpin terpilih harus memberi sinyal kuat bahwa dia adalah pemimpin seluruh komunitas, bukan hanya pendukung nya. Libatkan tokoh dari berbagai kelompok dalam tim transisi atau forum musyawarah.
Hindari pembalasan politik kecil-kecilan (misalnya pencoretan nama, marginalisasi, atau sindiran simbolik).
Bangun komunikasi rekonsiliatif. Gunakan bahasa yang menyatukan, bukan membelah: “Kita semua bagian dari solusi kampus ini.” Bukan bahasa provokatif dan memicu konflik, “Sekarang giliran kami yang pegang.”
Selenggarakan forum silaturahmi pasca-pemilihan dialog terbuka yang membangun kepercayaan ulang.
Ajak Fokus ke tujuan bersama. Arahkan semua pihak ke misi jangka panjang kampus alih status, peningkatan kualitas akademik, akreditasi, pelayanan mahasiswa, dan sebagainya. Misalnya: “Siapapun yang dulu beda pilihan, mari kita semua bekerja demi akreditasi unggul.”
Bangun koalisi akademik, bukan politik balas jasa. Pilih orang dalam jabatan bukan karena balas budi, tapi karena kompetensi dan integritas. Libatkan juga pihak-pihak yang dulu oposisi sebagai bentuk penghormatan demokratis, jika layak.
Buat Simbol-Simbol Persatuan. Bangun narasi kolektif pasca pemilihan, seperti slogan baru, deklarasi bersama, atau proyek bersama lintas kelompok. Misalnya: “SATU KAMPUS – BANYAK GAGASAN – TUJUAN SAMA.”
Jaga etika dan sanksi perpecahan.
Jika ada pihak yang terus memprovokasi atau merusak kekompakan, tegakkan aturan etika akademik secara adil dan konsisten. Demokrasi bukan berarti bebas memecah belah.
Pemilihan bisa membelah, tapi kepemimpinan yang bijak bisa menyatukan. Strateginya adalah komunikasi terbuka, inklusi semua kelompok, dan fokus pada misi bersama. Kampus harus jadi contoh utama bahwa demokrasi itu bukan hanya memilih, tapi juga merawat persatuan sesudahnya.
Penutup konsultasi Bupati JKA menegaskan mimpinya kampus STIT Syekh Burhanuddin ini segera besar, segera menambah program studi, segera menjadi Institut Syekh Burhanuddin. Nama besar dan jejak sejarah Syekh Burhanuddin adalah tugas kolektif masyarakat Padang Pariaman untuk membangkitnya kembali.
PENUTUP
"Kompak untuk lebih besar" adalah kalimat kunci yang disampaikan Bupati Padang Pariaman, John Kenedy Azis, saat menerima Pengurus Yayasan Islamic Centre Syekh Burhanuddin bersama dua kandidat Ketua STIT SB periode 2025–2029 di rumah dinasnya di Kota Pariaman.
Kalimat ini bukan sekadar pesan seremonial, tetapi menjadi panduan strategis dan moral bagi kita semua dalam menyongsong masa depan kampus dan keulamaan di Padang Pariaman.
Di era demokratisasi dan kebebasan saat ini, seringkali terjadi kekeliruan dalam memahami makna demokrasi. Banyak yang mengatasnamakan demokrasi, namun mengabaikan regulasi dan aturan. Padahal, tidak ada kebebasan yang bebas sepenuhnya tanpa pengaturan. Demokrasi tanpa aturan adalah awal dari kekacauan, dominasi mayoritas atas minoritas, bahkan bisa melahirkan anarki atau otoritarianisme tersembunyi.
Demokrasi sejati meniscayakan hukum, etika, dan institusi. Ia bukan semata-mata jumlah suara, tetapi penghormatan terhadap nilai-nilai keadilan, transparansi, dan akuntabilitas.
Demokrasi Kampus: Jalan Menuju Kedaulatan Akademik
Pemilihan pemimpin kampus bukan sekadar kompetisi memenangkan suara. Ia adalah momen afirmasi nilai luhur akademik.
Esensinya terletak pada:
• Kedaulatan akademik yang memberikan hak aspirasi kepada seluruh elemen kampus.
• Pemilihan terbuka, berdasarkan kriteria dan tahapan yang jelas.
• Pemimpin yang menjadi pelayan nilai, bukan pemilik kekuasaan.
• Penekanan pada kompetensi dan integritas, bukan popularitas semu.
Demokrasi kampus harus menghasilkan kepemimpinan yang menjadi simbol persatuan nilai keilmuan dan keadaban kampus. Bila prosesnya sehat, hasilnya akan menghadirkan sosok pemimpin yang visioner, melayani, dan menjaga marwah perguruan tinggi.
Menjaga Kekompakan Pasca Pemilihan
Pemilihan memang bisa menimbulkan polarisasi. Namun, ujian sesungguhnya justru terletak setelahnya.
Kepemimpinan yang terpilih harus segera memulai:
• Merangkul semua pihak, bukan membalas.
• Membangun komunikasi rekonsiliatif, menyatukan bahasa dan gerak langkah.
• Memfokuskan energi ke tujuan bersama: peningkatan kualitas, akreditasi, dan transformasi kelembagaan.
• Menghindari politik balas jasa, dengan menempatkan orang karena kapasitas, bukan loyalitas.
• Membuat simbol-simbol kolektif, seperti slogan persatuan atau program bersama.
• Menegakkan etika akademik secara adil, agar demokrasi tidak berubah jadi alat perpecahan.
Pemimpin terpilih harus menyadari bahwa masa setelah pemilihan adalah masa membangun rumah bersama. Dan rumah besar itu adalah kampus yang kita cintai.
Menuju Institut Syekh Burhanuddin
dalam penutup konsultasi, Bupati JKA menegaskan harapannya: STIT Syekh Burhanuddin segera besar, bertambah program studi, dan menjadi Institut Syekh Burhanuddin. Ini bukan hanya cita-cita kelembagaan, tapi juga panggilan sejarah. Nama besar dan jejak Syekh Burhanuddin adalah warisan bersama yang harus kita bangkitkan, bukan semata dikenang.
Membangun lembaga, menjaga kekompakan, dan memperjuangkan nilai adalah bentuk nyata kita meneladani Syekh Burhanuddin—ulama, pendidik, dan pemersatu Minangkabau.
Kompak adalah kekuatan. Bersatu adalah keberkahan. Kita kompak bukan untuk rebutan kecil, tapi untuk cita-cita besar. Kompak untuk lebih besar.DS.10062025.
*Ketua Yayasan Islamic Centre Syekh Burhanuddin Padang Pariaman