![]() |
Oleh: Duski Samad
Kajian Bakda Subuh ( KBS) Masjid Al Munawarah Sabtu, 09 Agustus 2025 mengangkat topik Berjiwa Toleransi. Target yang hendak dituju adalah memberikan kesadaran kolektif bahwa jiwa toleransi dalam Islam itu niscaya yang sudah tumbuh sejak lama.
Di tengah dunia yang semakin penuh perbedaan—entah karena agama, budaya, atau ideologi—toleransi tak bisa lagi dimaknai sebatas sebagai “membiarkan” orang lain berbeda. Toleransi sejati bukan hanya sikap luar, tetapi kesadaran batiniah, state of mind, yang tertanam dalam jiwa dan membentuk cara kita berpikir, merasa, dan merespons perbedaan.
Islam sebagai agama yang membawa rahmat bagi seluruh alam telah meletakkan fondasi luhur tentang hidup berdampingan. Salah satu ayat yang paling indah dan kuat dalam mengajarkan hal ini adalah Surat Al-Mumtahanah ayat 8–9. Ayat ini berbicara dengan jernih: “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi kamu karena agama dan tidak mengusirmu dari negerimu. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.”
Inilah suara Al-Qur’an yang melampaui batas zaman. Ia tidak hanya memerintahkan untuk tidak berbuat zalim kepada yang berbeda, tetapi mendorong umat untuk berbuat baik dan berlaku adil kepada mereka yang hidup damai bersama , meski berbeda keyakinan.
Dalam ayat berikutnya, dijelaskan batasannya: bahwa kewaspadaan dan penolakan hanya berlaku terhadap mereka yang nyata-nyata memusuhi dan mengusir.
Membaca ayat ini secara jujur, akan menemukan bahwa toleransi bukanlah kompromi terhadap iman, tetapi justru bagian dari keimanan yang matang dan dewasa. Toleransi, dalam cahaya Al-Mumtahanah, adalah ekspresi dari akhlak luhur seorang mukmin yang sadar bahwa setiap manusia, apa pun agamanya, adalah ciptaan Allah yang berhak diperlakukan dengan adil dan bermartabat.
Toleransi seperti ini hanya mungkin tumbuh jika ia menjadi “state of mind”, menjadi cara berpikir dan merasa yang hidup dalam diri seseorang. Ini lebih dalam daripada sekadar menerima perbedaan karena tekanan sosial atau aturan hukum. Ini adalah pengakuan dari hati bahwa perbedaan adalah bagian dari kehendak Ilahi, bukan sesuatu yang harus ditakuti atau dimusuhi.
Ketika seseorang telah menjadikan toleransi sebagai kesadaran jiwa, ia tidak mudah marah hanya karena melihat simbol agama lain. Ia tidak mudah terprovokasi hanya karena mendengar doa yang berbeda dari doanya. Ia tidak merasa terancam oleh perbedaan, karena ia telah kokoh di dalam keyakinannya, dan sekaligus lapang dalam memahami dunia.
Esensi toleransi adalah sesuatu yang dibutuhkan dalam kehidupan sosial kita hari ini. Dalam masyarakat seperti Indonesia yang sangat majemuk, toleransi sebagai state of mind adalah syarat utama untuk menjaga perdamaian dan menjalin kerja sama lintas identitas. Ia menjadi modal sosial, yang jika tidak ada, maka hukum, aparat, bahkan perjanjian tertulis pun bisa rapuh.
Dari sudut pandang sosiologis, masyarakat yang memiliki kesadaran toleransi tinggi cenderung lebih stabil, lebih terbuka, dan lebih mampu membangun relasi yang sehat antar kelompok.
Toleransi bukan berarti semua orang harus berpikir sama, tetapi semua pihak sadar bahwa berbeda bukan ancaman, dan keragaman bukan kutukan, melainkan anugerah yang harus dikelola dengan hikmah.
Dari sisi politik modern, nilai toleransi dalam Al-Mumtahanah ayat 8 menjadi dasar penting bagi kebijakan publik. Negara yang menghormati warganya tanpa diskriminasi agama akan lebih dipercaya rakyatnya. Undang-undang dan regulasi akan hidup jika diiringi dengan sikap batin yang toleran dari para penyelenggara negara dan masyarakat sipil.
Di sinilah ditemukan hubungan yang kuat antara wahyu, kesadaran jiwa, dan tata sosial-politik. Tanpa wahyu, toleransi bisa menjadi relativisme. Tanpa kesadaran jiwa, hukum bisa menjadi tumpul. Tanpa kebijakan yang adil, perbedaan bisa jadi bara konflik.
Maka tak cukup hanya membuat aturan yang membolehkan pendirian rumah ibadah, jika dalam hati masih tersimpan curiga dan permusuhan. Tak cukup hanya membentuk forum-forum dialog, jika batin para pesertanya belum bersih dari kebencian.
Toleransi sejati harus dimulai dari perubahan cara berpikir, dari keyakinan dalam hati bahwa Tuhan memang menciptakan manusia berbeda-beda agar kita saling mengenal, bukan saling meniadakan.
Ketika menjadikan toleransi sebagai state of mind, maka sedang membangun jembatan, bukan tembok. Kita tidak hanya mematuhi hukum, tetapi kita melampauinya dengan akhlak. Kita tidak hanya hidup berdampingan, tetapi juga saling menjaga.
Dan saat itulah, Surat Al-Mumtahanah bukan hanya dibaca, tapi dihidupi.
Konklusi:
Berjiwa Toleransi sebagai State of Mind dalam Islam
Kajian Surat Al-Mumtahanah ayat 8 dan 9 mengingatkan bahwa jiwa toleransi dalam Islam bukanlah sekadar sikap luar yang formal atau kompromi dangkal terhadap perbedaan, melainkan sebuah kesadaran batiniah yang menjadi state of mind—cara berpikir, merasa, dan merespons yang tertanam kuat dalam jiwa seorang mukmin. Islam mengajarkan agar kita berlaku adil dan berbuat baik kepada mereka yang hidup damai bersama kita, tanpa memandang perbedaan keyakinan, karena semua manusia adalah ciptaan Allah yang berhak diperlakukan dengan hormat dan martabat.
Toleransi sejati, sebagaimana ditegaskan Al-Qur’an, bukan hanya melarang permusuhan tanpa alasan, tetapi mengajak kita aktif menjalin kedamaian dan keadilan.
Menjadikan toleransi sebagai kesadaran jiwa, kita mampu merespon perbedaan dengan lapang dada, kokoh dalam keyakinan, dan bijak dalam menjalani hidup bersama di tengah keragaman.
Di era multikultural dan kemajemukan seperti Indonesia, toleransi sebagai state of mind menjadi fondasi sosial-politik yang kokoh untuk membangun masyarakat yang stabil, damai, dan harmonis. Tanpa kesadaran jiwa yang tulus, hukum dan aturan hanyalah kata-kata kosong yang mudah rapuh. Oleh sebab itu, membangun toleransi berarti membangun jembatan pengertian dan kasih sayang, bukan tembok pemisah.
Dengan menjadikan toleransi sebagai jiwa dan landasan hidup, Surat Al-Mumtahanah tidak hanya sekadar dibaca, tetapi dihidupi dalam setiap tindakan, membentuk umat yang matang, dewasa, dan rahmatan lil ‘alamin—rahmat bagi seluruh alam. DS.09082025.
*Guru Besar UIN Imam Bonjol Padang

