Type Here to Get Search Results !

Sebotol Kopi dan Sebuah Prasangka Oleh : Ririe Aiko

Suatu ketika, saat saya menyusuri perjalanan wisata kuliner di kota Garut, saya menemukan pelajaran yang tak biasa—bukan dari rasa makanan, melainkan dari rupa sebuah botol kopi yang mengusik prasangka.

Di salah satu sudut kota yang sejuk, saya berhenti di sebuah kafe yang memajang botol-botol unik berlabel "Himar". Sekilas, tampilannya begitu nyentrik dan mencolok. Jujur saja, bagi saya dan mungkin banyak orang, botol itu tampak seperti minuman keras. Bentuknya ramping, berwarna pekat, dan desain labelnya sangat tidak biasa untuk standar kopi kemasan.

Namun justru karena itu saya penasaran. Rasa ingin tahu lebih kuat dari dugaan awal. Saya bertanya tentang komposisi kopi tersebut, lalu memesan satu botol. Dan dari sana, petualangan rasa dan obrolan pun dimulai. 

Kopi Himar adalah kopi fermentasi dengan aroma khas menyerupai wine, tapi kopi ini sepenuhnya halal. Rasanya tajam, kaya, dan kompleks. Tapi yang lebih menarik dari rasanya adalah cerita di balik botol itu. Kebetulan, saat saya mencicipi kopi tersebut, sang pemilik datang dan duduk di meja saya. Kami pun berbincang panjang.

Ia bercerita bahwa desain botol Himar sengaja dibuat "menyerempet bahaya" seolah miras untuk menciptakan kejutan visual. Sebagian besar orang memang langsung salah paham. Ada yang menjauh. Ada pula yang memandang sinis. Tapi di situlah, menurutnya, letak kekuatan dari strategi ini.

*“Orang punya dua reaksi,” katanya. “Menolak karena prasangka, atau mendekat karena penasaran.”*

Saya merenung. Apa yang ia katakan sangat relevan dengan kehidupan. Betapa sering kita menilai sesuatu hanya dari kemasan. Kita berjalan dalam hidup dengan prasangka sebagai kompas. Kita lihat seseorang dari pakaian, dengar pendapat hanya dari gaya bicara, menilai produk hanya dari rupa luar.

*Himar menjadi metafora (yang kuat. Botol itu adalah cermin bagi cara kita melihat dunia. Kita terlalu cepat mengambil kesimpulan. Terlalu terburu menilai, padahal tak semua yang tampak buruk di luar itu busuk di dalam. Sebaliknya, tak semua yang tampak suci benar-benar bersih.*

Perjalanan kuliner saya hari itu tak hanya memberi kenikmatan di lidah, tapi juga tamparan halus di benak. Bahwa kita, sebagai manusia, harus belajar memperlambat penghakiman. Belajar bertanya sebelum menilai. Belajar mencicipi sebelum menolak.

Dari sebotol Himar, saya mengerti bahwa inovasi tak selalu hadir dalam bentuk yang nyaman. Terkadang, justru dari keganjilan dan salah paham, lahir percakapan yang paling jujur.

Dan barangkali, di dunia yang penuh asumsi ini, kita semua butuh satu jeda. Satu tegukan kopi yang asing di mata, tapi jujur dalam rasa. Sebuah kesempatan untuk mengurai prasangka yang terlanjur tumbuh, agar kita bisa melihat lebih dari sekadar bungkus luar.

Karena hidup, seperti kopi, kadang terasa pahit. Tapi di balik pahit itu, sering tersembunyi rasa nyaman yang memberikan ketenangan. Kita hanya butuh hati yang lapang dan keberanian untuk menurunkan ego dalam memahami sesuatu yang terlihat buruk.

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.