![]() |
Penguatan terhadap peran sarjana Aqidah dan Filsafat Islam (AFI) dalam menghadapi era VUCA dapat ditemukan dalam berbagai nash Al-Qur'an dan Hadis yang mendorong penggunaan akal, pencarian hikmah, serta komitmen terhadap kebenaran dan keadilan.
Pentingnya Akidah sebagai Fondasi (Penjaga Stabilitas di Tengah Volatilitas):
QS. Al-Baqarah (2:256): "Tidak ada paksaan dalam agama. Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa ingkar kepada Tagut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang pada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus." Ayat ini menegaskan pentingnya akidah yang kokoh (urwatul wusqa) sebagai pegangan yang tidak akan goyah, sangat relevan di tengah volatilitas nilai dan informasi.
QS. Ali 'Imran (3:102): "Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan Islam." Ayat ini menekankan pentingnya menjaga iman dan akidah hingga akhir hayat, yang menjadi dasar stabilitas spiritual dan moral.
Perintah untuk Berpikir dan Mencari Hikmah (Penafsir Kebenaran dan Pencerah Zaman):
QS. Al-Baqarah (2:269): "Allah menganugerahkan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakal sehat yang dapat mengambil pelajaran." Ayat ini secara eksplisit mengaitkan hikmah dengan karunia besar dari Allah, dan hanya orang yang berakal (ulul albab) yang dapat memanfaatkannya. Ini adalah legitimasi nash bagi kajian filsafat yang mencari hikmah.
QS. Ar-Rum (30:8): "Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka? Allah tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan. Dan sesungguhnya kebanyakan di antara manusia benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Tuhannya." Ayat ini mendorong refleksi mendalam dan penggunaan akal untuk memahami kebenaran ciptaan, yang sejalan dengan metode filsafat.
Hadis Nabi Muhammad SAW: "Carilah ilmu sampai ke negeri Cina." Meskipun secara harfiah merujuk pada jarak, hadis ini secara luas diinterpretasikan sebagai dorongan kuat untuk mencari ilmu pengetahuan tanpa batas geografis atau jenisnya, termasuk ilmu-ilmu rasional dan filosofis.
Keadilan dan Keseimbangan (Penjernih Moral dalam Kompleksitas Sosial):
QS. An-Nahl (16:90): "Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran." Ayat ini merupakan dasar etika Islam, menuntut keadilan (al-'adl) dan kebajikan (al-ihsan), yang menjadi panduan moral penting di tengah kompleksitas dan ambiguitas etis era VUCA.
QS. Al-Ma'idah (5:8): "Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil." Ayat ini menekankan peran aktif umat Muslim dalam menegakkan keadilan, sebuah tugas yang membutuhkan penalaran moral dan pemahaman filosofis yang mendalam.
Kajian Filosofis
Secara filosofis, argumen artikel ini sangat kuat karena AFI memiliki landasan epistemologis dan ontologis yang krusial untuk menghadapi VUCA.
Epistemologi Holistik AFI: Artikel menyebutkan tiga sumber ilmu dalam Islam: wahyu (naqli), akal ('aql), dan pengalaman ('ilm tajribi). Pendekatan epistemologis ini adalah kekuatan utama AFI.
Wahyu: Memberikan fondasi absolut dan nilai-nilai transenden yang tidak goyah oleh volatilitas. Di tengah relativisme dan nihilisme era VUCA, wahyu menjadi jangkar bagi kebenaran dan moralitas.
Akal: Melalui filsafat, akal dilatih untuk berpikir kritis, analitis, dan sistematis. Ini sangat penting untuk menafsirkan kebenaran di tengah ketidakpastian informasi (hoaks) dan kompleksitas masalah. Akal memungkinkan pembedaan antara "yang tampak" dan "yang esensial," antara "fakta" dan "interpretasi."
Pengalaman: Memberikan pemahaman empiris terhadap realitas sosial dan fenomena dunia. Meskipun AFI lebih teoretis, keterkaitannya dengan pengalaman memungkinkan aplikasi filosofis dalam konteks nyata.
Filsafat sebagai Pencarian Hikmah (Bukan Sekadar Spekulasi): Artikel mengutip Al-Farabi, Al-Ghazali, dan Mulla Shadra yang menekankan filsafat sebagai jalan menuju hikmah. Ini adalah poin filosofis yang sangat penting. Hikmah (sophia dalam bahasa Yunani) adalah puncak kebijaksanaan, meliputi pemahaman kognitif (ilmu), moral (etika), dan eksistensial. Di era VUCA, masyarakat kehilangan orientasi dan makna hidup. Filsafat, sebagai pencarian hikmah, dapat membantu menemukan kembali makna dan tujuan, sehingga mengatasi ambiguitas dan krisis eksistensial.
Metafisika dan Dimensi Transenden:
Filsafat Islam tidak memisahkan dunia fisik dari metafisika. Pemahaman tentang dimensi transenden (Tuhan, tujuan penciptaan, akhirat) memberikan kerangka bagi etika dan makna hidup. Di tengah krisis nilai, pemahaman ini memberikan dasar moral yang kokoh dan harapan di luar realitas material yang rentan.
Etika Islam dan Akhlak: Kajian etika Islam dan filsafat akhlak dalam AFI membekali sarjana untuk menjadi "penjernih moral" dan "konsultan nilai." Ini bukan hanya tentang mengetahui mana yang baik atau buruk, tetapi tentang penalaran etis yang mendalam dan kemampuan menerapkan prinsip-prinsip moral dalam situasi yang kompleks, misalnya dalam bisnis, kebijakan publik, atau dilema personal.
Kajian Empiris
Meskipun artikel ini bersifat reflektif dan teoretis, peran sarjana AFI dalam menghadapi VUCA dapat dibuktikan secara empiris melalui observasi terhadap kebutuhan masyarakat dan dampak nyata dari penerapan keilmuan mereka.
Fenomena Krisis Nilai dan Kebutuhan akan Orientasi: Secara empiris, era VUCA telah menyebabkan peningkatan kecemasan, depresi, disorientasi sosial, dan krisis identitas. Ini terbukti dari laporan kesehatan mental global, meningkatnya polarisasi sosial, dan penyebaran "post-truth." Kebutuhan masyarakat akan panduan moral yang stabil dan makna hidup sangat nyata. Sarjana AFI, dengan bekal akidah dan filsafatnya, secara empiris mampu mengisi kekosongan ini melalui dakwah yang rasional, penulisan, dan bimbingan spiritual.
Penyebaran Hoaks dan Kebutuhan Literasi Kebenaran: Era digital telah memfasilitasi penyebaran hoaks dan misinformasi. Masyarakat kesulitan membedakan antara fakta dan fiksi. Secara empiris, kemampuan berpikir kritis dan logis yang diajarkan dalam filsafat (logika, epistemologi) sangat dibutuhkan. Alumni AFI, dengan pemahaman mereka tentang epistemologi hoaks dan penalaran logis, dapat secara empiris membantu masyarakat dalam literasi media, verifikasi informasi, dan pembentukan opini yang rasional. Contoh nyatanya adalah peran para cendekiawan Muslim yang aktif mengedukasi publik melalui media sosial atau forum diskusi.
Dampak Positif Alumni AFI di Berbagai Bidang: dapat diidentifikasi kontribusi AFI di bidang pendidikan, dakwah, riset, kebijakan publik, dan media. Secara empiris, kita dapat melihat bahwa alumni AFI yang sukses di bidang-bidang ini:
Pendidikan: Guru dan dosen agama yang memberikan fondasi moral yang kuat di sekolah/universitas, membantu siswa mengembangkan karakter yang stabil di tengah perubahan.
Dakwah: Penceramah yang mampu menyajikan Islam secara rasional dan inklusif, merespons keraguan kaum muda, dan membimbing masyarakat dalam menghadapi tantangan kontemporer. Konten kreator digital berbasis hikmah adalah fenomena empiris yang berkembang pesat.
Kebijakan Publik: Para penasihat atau pembuat kebijakan yang berlandaskan nilai-nilai etis Islam dalam merumuskan solusi atas masalah sosial yang kompleks, seperti kemiskinan, korupsi, atau ketidakadilan.
Media: Penulis opini atau jurnalis yang menganalisis isu-isu sosial dari perspektif moral dan filosofis, membantu membentuk opini publik yang lebih berimbang dan tercerahkan. Moderator dialog antariman juga secara empiris berperan dalam membangun toleransi.
Relevansi Kurikulum Pendidikan Tinggi Keislaman: Kementrian Agama RI dan UIN Imam Bonjol Padang yang disebutkan dalam daftar pustaka menunjukkan bahwa kurikulum AFI telah dirancang untuk mencetak intelektual yang relevan dengan tantangan zaman. Meskipun dampaknya tidak selalu langsung terukur, ada upaya sistematis untuk membekali lulusan dengan kompetensi yang dibutuhkan.
Singkatnya, artikel ini mengidentifikasi relevansi sarjana Aqidah dan Filsafat Islam dalam menghadapi tantaca VUCA. Penguatan dalil nash memberikan legitimasi teologis, kajian filosofis menegaskan kedalaman intelektual dan metodologi AFI, sementara kajian empiris menunjukkan bahwa peran ini bukan hanya teori, melainkan kebutuhan nyata masyarakat dan potensi yang dapat diaktualisasikan. Ds.08072025.
*Alumni AFI 1988