Type Here to Get Search Results !

Pegiat Keumatan dan Kebangsaan Oleh: Duski Samad

Topik tulisan pegiat keumatan dan kebangsaan ini muncul saat penulis menjadi narasumber pada Dialog Kebangsaan dan memperingati hari lahir Pancasila, yang diselenggarakan Ikatan Sarjana NU (ISNU), Ahad, 01 Juni 2025 di Cafe Lega 2 Lubuk Alung. 

Topik di atas penulis pasangkan sebagai identitas sebagai refleksi sejak 60 tahun lalu bergerak dalam edaran dua kata di atas. 

Pegiat keumatan sudah dimasuki sejak umur 5 tahun 1965 sampai tahun 1971 tinggal di bersama anak siak asuhan ayah kami surau samping rumah di Sikabu.

Tahun 1971 sampai 1973 penulis menjadi anak siak, menjadi sampan di Sikabu di bawa asuh oleh Tuanku Salih Balah Air.

Kemudian sejak tanggal 13 Januari 1973 sampai 20 Juni 1980, sampai diangkat jadi Tuanku, menjadi anak siak pada Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Batang Kabung Padang.

Kemudian sejak Juli 1980 sampai bulan Januari 1982 aktif penggerak keumatan mengajar di MTI dan pegiat dakwah di Sumatera Barat.

PEGIAT KEBANGSAAN

1983 penataran P4

1985 Pelatihan Kepemimpinan Pemuda.

1986 Pelatihan Kepemimpinan Nasional.

Nasional Waketum Perti, Dewan Pakar KNP, BKM, asosiasi KUB Nasional. Pada tingkat daerah menjadi Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama, DMI, MUI, Pembina empat yayasan. 

Dialog kebangsaan 

1. MENINGKAT KAN MINAT BACA 

Strategi meningkatkan minat baca perlu disesuaikan dengan konteks usia, lingkungan sosial, dan perkembangan teknologi. 

Beberapa strategi yang bisa diterapkan di berbagai level (individu, keluarga, sekolah, dan masyarakat):

1. Strategi Individu

Tentukan Waktu Membaca Harian: Sisihkan waktu khusus setiap hari untuk membaca minimal 15–30 menit.

Pilih Bacaan yang Menarik: Sesuaikan buku dengan minat dan kebutuhan. Misalnya, fiksi, biografi, motivasi, atau sains populer.

Gunakan Buku Digital: Manfaatkan aplikasi e-book atau audiobook agar bisa membaca di mana saja.

2. Strategi di Keluarga

Orang Tua sebagai Teladan: Anak-anak yang melihat orang tuanya sering membaca cenderung memiliki minat baca lebih tinggi.

Rutin Membacakan Cerita: Terutama pada anak usia dini, membacakan cerita sebelum tidur menumbuhkan kecintaan pada buku.

Membuat Sudut Baca di Rumah: Sediakan rak buku dan tempat nyaman untuk membaca di rumah.

3. Strategi di Sekolah

Gerakan Literasi Sekolah (GLS): Laksanakan 15 menit membaca sebelum pelajaran dimulai.

Kegiatan Menulis dan Resensi Buku: Libatkan siswa menulis sinopsis, ulasan, atau drama dari buku yang dibaca.

Perpustakaan Aktif dan Ramah: Jadikan perpustakaan sebagai pusat kegiatan siswa, dengan koleksi menarik dan ruang kreatif.

4. Strategi di Masyarakat.

Taman Baca Masyarakat (TBM): Dukung pendirian dan pengelolaan TBM dengan koleksi yang variatif dan program literasi rutin.

Pojok Baca di Tempat Umum: Misalnya di masjid, stasiun, terminal, atau warung kopi.

Kampanye Literasi Digital: Gunakan media sosial untuk membagikan konten membaca, ulasan buku, dan kutipan inspiratif.

5. Strategi Berbasis Teknologi. Aplikasi dan Platform Baca Digital: Promosikan aplikasi seperti iPusnas, Wattpad, Goodreads, atau perpustakaan digital lokal.

Konten Literasi di YouTube & TikTok: Buat konten pendek yang membahas buku, tips membaca, dan tantangan membaca.

Komunitas Literasi Online: Bangun komunitas pembaca yang saling merekomendasikan buku dan berdiskusi daring.

6. Strategi Kebijakan dan Institusional.

Program Pemerintah dan CSR: Galakkan program nasional literasi melalui Kemdikbud, Perpusnas, dan kemitraan swasta.

Insentif dan Apresiasi: Beri penghargaan bagi siswa, guru, atau warga yang aktif membaca dan menulis.

Integrasi Literasi ke Kurikulum: Jadikan kegiatan membaca sebagai bagian dari penilaian dan pembelajaran lintas mata pelajaran.

ISLAM DAN KEBANGSAAN

Pertanyaan ini sangat mendalam,. Isu keagamaan dan kebangsaan memang sering dianggap bersinggungan, padahal jika dikelola secara bijak, justru menjadi kekuatan strategis dalam menyelesaikan berbagai masalah bangsa, seperti disintegrasi sosial, kemiskinan, korupsi, radikalisme, hingga dekadensi moral.

Gagasan strategis bagaimana nilai keagamaan dan kebangsaan dapat menjadi solusi masalah bangsa:

1. Integrasi Nilai Agama dan Nasionalisme

Solusi:

Bangun narasi bahwa beragama secara baik berarti mencintai bangsa, dan berbangsa secara benar tidak bertentangan dengan agama.

Kembangkan pendidikan karakter berbasis nilai religius dan nasionalis, seperti kejujuran, disiplin, gotong royong, toleransi, dan cinta tanah air.

Contoh: "Hubbul wathan minal iman" (Cinta tanah air bagian dari iman) sebagai dasar kampanye nasionalisme berbasis agama.

2. Dakwah yang Mencerahkan dan Menyatukan

Solusi:

Perkuat dakwah yang inklusif, sejuk, dan kontekstual, bukan yang memecah-belah atau politis.

Aktifkan peran ulama dan tokoh agama sebagai perekat bangsa, bukan sebagai alat konflik identitas.

Contoh: Model dakwah Syekh Burhanuddin atau Buya Hamka yang mampu memadukan agama, budaya, dan cinta tanah air.

CERDAS BERMEDSOS

"Cerdas Bermedsos dalam Perspektif Islam dan Kebangsaan". Mau kita kembangkan ke arah mana?

Pendidikan Keagamaan yang Moderat

Solusi:

Reformasi kurikulum madrasah dan pesantren agar mengajarkan Islam wasathiyah (moderat), toleransi, dan wawasan kebangsaan.

Dorong program santri bela negara dan pelatihan kebangsaan bagi siswa sekolah Islam.

Contoh: Pesantren PERTI, NU, Muhammadiyah yang memperjuangkan Islam dan NKRI secara berdampingan.

4. Kolaborasi Negara dan Lembaga Keagamaan

Solusi:

Libatkan lembaga keagamaan dalam program penanggulangan kemiskinan, korupsi, dan konflik sosial.

Kembangkan ekonomi syariah, zakat, wakaf, dan filantropi Islam sebagai solusi alternatif pembangunan dan keadilan sosial.

Contoh: Baznas, LAZ, dan DMI yang aktif membantu masyarakat rentan.

5. Dialog Antar umat Beragama dan Antarbudaya

Solusi:

Aktifkan forum-forum dialog lintas agama dan budaya untuk memperkuat kohesi sosial.

Perkuat narasi bahwa keragaman adalah anugerah, bukan ancaman.

Contoh: FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) dan program toleransi berbasis kearifan lokal.

6. Keteladanan Tokoh Agama dan Negara

Solusi:

Bangsa butuh figur publik dan pemimpin yang religius sekaligus nasionalis, jujur, dan bersih.

Dorong kaderisasi pemimpin bangsa dari lingkungan pesantren, ormas Islam, dan institusi pendidikan keagamaan.

Contoh: KH. Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan, H. Agus Salim sebagai simbol perpaduan agama dan nasionalisme.

Penutup:

Agama tanpa kebangsaan bisa kehilangan orientasi sosial. Kebangsaan tanpa agama bisa kehilangan etika dan arah moral. Keduanya harus sinergi, bukan dikonfrontasi.

Kesimpulan:

Enam dekade perjalanan hidup penulis, dari surau di Sikabu hingga forum nasional, menunjukkan bahwa pengabdian keumatan dan kebangsaan bukanlah dua jalan yang bertentangan, melainkan satu kesatuan nilai perjuangan yang saling melengkapi.

Keumatan dibentuk dari proses panjang menjadi anak siak, pengajar di madrasah, dan dai lapangan yang menanamkan nilai-nilai Islam rahmatan lil alamin. Sementara itu, kebangsaan tumbuh dari partisipasi aktif dalam pendidikan P4, pelatihan kepemudaan, kepemimpinan nasional, dan lembaga-lembaga strategis seperti MUI, DMI, dan FKUB.

Dalam konteks hari lahir Pancasila, peran pegiat keumatan dan kebangsaan menjadi sangat vital untuk:

1. Meningkatkan minat baca di era digital melalui strategi lintas level: individu, keluarga, sekolah, masyarakat, dan teknologi. Literasi menjadi pondasi nalar sehat bangsa.

2. Mengintegrasikan nilai agama dan nasionalisme dalam pendidikan dan kehidupan sosial, untuk menangkal radikalisme, intoleransi, dan dekadensi moral.

3. Membangun kesadaran bermedia sosial secara cerdas dan beretika, menjadikan medsos sebagai sarana dakwah, edukasi, dan rekonsiliasi sosial.

4. Mendorong pendidikan Islam moderat yang menjunjung toleransi dan cinta tanah air melalui reformasi kurikulum dan penguatan peran pesantren.

5. Menguatkan kolaborasi antara negara dan lembaga keagamaan, dalam menyelesaikan problem kemiskinan, korupsi, dan ketimpangan sosial.

6. Mempromosikan dialog lintas agama dan budaya, agar perbedaan menjadi kekayaan, bukan ancaman.

7. Meneladani figur pejuang agama dan bangsa, dari Syekh Burhanuddin hingga tokoh-tokoh pendiri bangsa, sebagai cermin perjuangan nilai.

Penulis menegaskan: “Agama tanpa kebangsaan bisa kehilangan orientasi sosial, dan kebangsaan tanpa agama bisa kehilangan arah moral. Oleh karena itu, keduanya harus disinergikan, bukan dipertentangkan.”

Pegiat keumatan dan kebangsaan adalah pelita zaman. Mereka adalah penjaga nilai spiritual dan integritas bangsa. Di tengah tantangan zaman digital, narasi global, dan krisis identitas, sinergi agama dan kebangsaan adalah solusi strategis menjaga keutuhan dan masa depan Indonesia.

*Dialog Kebangsaan Hari Lahir Pancasila PW ISNU Sumatera Barat, 01 Juni 2025


Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.