Penulis : Ali Akbar |
Hiruk pikuknya kehidupan Kota Metropolitan Ibukota Jakarta akhirnya membawa saya
kembali ke desa. Sebagai orang desa, saya merasakan betapa indahnya hidup ini.
Kentalnya rasa persaudaraan, sikap gotong royongnya, dan besarnya rasa kepedulian
serta adanya saling menghargai antar sesama warga desa.
Itu
dulu! Pengalaman saya hidup di desa
sekitar tahun 70-an sampai tahun 90-an. Pada bulan Maret tahun 1996 saya
melangkahkan kaki pergi merantau segera setelah menyelesaikan pendidikan
dibangku perkuliahan di Universitas Andalas Padang.
Merantau dan menuntut ilmu di
negeri orang merupakan ciri khas orang Minangkabau sejak dahulunya sesuai dengan
pepatah adat yang berbunyi, “Karatau madang di hulu, babuah babungo balun, ka
rantau bujang dahulu di rumah paguno balun” (jika di
kampung belum bisa berbuat banyak untuk orang banyak, sebaiknya merantau
dahulu).
Keindahan hidup di desa yang
pernah saya alami dahulu, tidak lagi saya temui di masa sekarang (sejak tahun
2016 - 2021). Banyak hal telah berubah. Yang belum menampakkan perubahan secara
signifikan – berarti adalah taraf hidup dan tingkat kesejahteraan
masyarakatnya. Kemiskinan masih membayangi kehidupan masyarakat di desa.
Melansir data BPS (2018) tentang
Indeks Pembangunan Desa (IPD), 5.606 desa mandiri (7,43%), 55.369 desa
berkembang (73,40%) dan 14.461 desa tertinggal (19,17%) dari jumlah desa secara
keseluruhan di Indonesia sebanyak 75.436 desa. Desa saya, Nagari Guguak Kuranji
Hilir Kecamatan Sungai Limau Kabupaten Padang Pariaman Provinsi Sumatera Barat
termasuk ke dalam kategori ‘Desa Berkembang’.
Indeks Pembangunan Desa (IPD)
adalah indeks komposit yang menggambarkan tingkat kemajuan atau perkembangan
desa pada suatu waktu (BPS (2018) – IPD, hal.11)
Ada
perbedaan secara kasat mata membandingkan antara membaca data BPS tersebut
dengan kenyataan di lapangan, sehingga timbul pertanyaan dalam fikiran saya,
“Apakah data yang diberikan oleh pemerintahan desa/ nagari kepada pemerintah
pusat – Kemendes PDTT sudah sesuai dengan kenyataan di lapangan?” dan atau
“Apakah petugas yang diberikan amanah – Pendamping Desa beserta aparat desa/
nagari benar-benar terjun melakukan pendataan ke lapangan?”.
Meninjau
langsung ke beberapa desa/ nagari yang ada di Sumatera Barat ditambah dengan
bacaan dan referensi yang terkait, dapatlah kiranya penulis mengambil sebuah
kesimpulan tentang penyebab kemiskinan adalah sikap gotong royong dan
kepedulian masyarakat dalam membangun masih rendah.
Sikap
individual tinggi, sehingga kurangnya rasa kebersamaan atau kekompakan dalam
mewujudkan kemajuan desa. Selain daripada itu, sikap pemimpin di tingkat desa/
nagari – Wali Nagarinya masih arogan dan tidak merangkul potensi SDM - Sumber Daya Manusia yang baik.
Melansir data BPS (15/07/2020), pada bulan Maret 2020,
jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di
bawah Garis Kemiskinan) di Sumatera Barat mencapai 344,23 ribu orang (6,28
persen), bertambah sebesar 1,14 ribu orang dibandingkan dengan kondisi
September 2019 yang sebesar 343,09 ribu orang (6,29 persen).
Data
di atas memberi cerminan kepada kita bahwa jumlah penduduk miskin di Sumatera
Barat makin bertambah.
Melalui
media ini, penulis menghimbau kepada para pemimpin – Wali Nagari serta
masyarakat secara keseluruhan, marilah tumbuhkembangkan kembali sikap gotong
royong, rasa peduli serta kebersamaan – kekompakan dalam membangun desa/
nagari. Wujud nyata adanya Dana Desa yang dikucurkan oleh Pemerintah Pusat
adalah terciptanya kemandirian desa serta meningkatnya kesejahteraan masyarakat
di desa sesuai amanat UU No.6/ 2014 tentang Desa. (*)