![]() |
Tradisi Tabuik yang hidup di Pariaman dan sebagian wilayah pesisir Sumatera Barat adalah salah satu ritual budaya yang mengandung nilai sejarah, emosi kolektif, dan simbolisme religius. Namun, di sisi lain, muncul perdebatan di tengah masyarakat: apakah Tabuik merupakan bagian dari Dinul Islam, ataukah ia sebatas budaya yang harus dipilah secara kritis?
Tabuik dalam Perspektif Budaya.
Secara historis, Tabuik berasal dari tradisi Syiah yang memperingati Asyura, yaitu hari wafatnya Husain bin Ali di Karbala. Tradisi ini dibawa oleh komunitas keturunan India (Syiah Tamil) pada abad ke-19 ke wilayah pantai barat Sumatera, lalu melebur dalam lokalitas masyarakat Pariaman.
Dalam kerangka budaya, Tabuik menjadi ekspresi duka kolektif atas peristiwa Karbala.
Simbol keberanian, kesetiaan, dan pengorbanan.
Ajang silaturrahim, hiburan rakyat, dan pertunjukan seni tradisional.
Warisan kultural yang menarik perhatian wisatawan dan pelestari budaya. Tabuik dalam Perspektif Dinul Islam. Dalam konteks aqidah Ahlussunnah wal Jama'ah, terdapat sejumlah problem:
Asal-usul ritual ini lebih terkait dengan Syiah, yang dalam sejarah dan teologi berbeda dalam memaknai peristiwa Karbala. Adanya unsur mitos (buraq, angkat tabuik ke langit) dan tindakan berlebihan dalam meratapi kematian (niyahah) bertentangan dengan ajaran Nabi SAW: “Bukan dari golongan kami orang yang menampar-nampar pipi, merobek-robek baju, dan meratap dengan ratapan jahiliyah.” (HR. Bukhari-Muslim)
Tabuik bukan bagian dari ibadah syar’i yang diperintahkan, baik dalam Al-Qur’an maupun Sunnah, dan tidak pula dikenal dalam tradisi Islam klasik di Minangkabau.
Tinjauan Kritis: Memilah antara budaya dan aqidah
Islam tidak menolak budaya selama tidak bertentangan dengan syariat. Maka, perlu dilakukan klarifikasi (tabayyun) dan pemurnian makna:
Jika Tabuik dipahami sebagai seni pertunjukan dan warisan sejarah, maka posisinya setara dengan randai, silek, atau tari piring: seni budaya yang bisa diberi makna edukatif.
Namun jika ia dimaknai sebagai ritual keagamaan, maka perlu diluruskan dan dihindari agar tidak menyesatkan aqidah umat.
Transformasi budaya dari Tabuik emosional ke edukasi spiritual.
Solusi yang relevan di era sekarang adalah mengedukasi masyarakat:
Menjelaskan makna sejarah peristiwa Karbala secara proporsional.
Mengemas kegiatan tabuik dalam bentuk festival budaya dan dakwah edukatif, tanpa unsur ritual mistis.
Meningkatkan kesadaran bahwa umat Islam wajib mengutamakan akidah yang lurus dan ibadah yang bersih dari bid'ah dan syubhat.
Tabuik bukan bagian dari Dinul Islam. Ia adalah produk budaya yang bisa dijaga sebagai seni tradisi, selama:
Dipisahkan dari unsur akidah yang menyimpang.
Tidak menjadi ritual yang mengandung niyahah atau syi’ar Syiah. Diberi muatan edukatif, historis, dan spiritual tentang nilai perjuangan dan keteladanan cucu Rasulullah SAW.
Maka, Islam tidak memusuhi budaya, tetapi membersih kannya dari syubhat dan menyinari budaya dengan cahaya tauhid. Inilah tugas para ulama dan cendekia: membimbing umat agar tidak terjebak antara cinta tradisi dan kesetiaan pada akidah.
ANALISIS
Analisis kajian Islam terhadap kesimpulan
tulisan Zulkifli Zakaria yang mengangkat tema “Tabuik dalam Timbangan Dinul Islam” menyimpul kan bahwa perayaan Tabuik di Pariaman adalah warisan ritual Syi’ah Rafidhah dan oleh karenanya dihukumi haram secara syariat.
Kajian seperti ini penting untuk dikritisi secara ilmiah, dengan mempertimbangkan pendekatan fiqih, ushuluddin, tarikh (sejarah), dan urf (kearifan lokal) agar tidak terjadi reduksi makna atau penerapan hukum secara simplistik.
1. Asal-Usul Tabuik dan Jejak Historisnya.
Memang benar bahwa asal-muasal Tabuik terkait dengan ritual Asyura Syi’ah, terutama untuk memperingati syahidnya Imam Husain bin Ali di Karbala. Tradisi ini masuk ke Pariaman melalui tentera India keturunan Tamil (abad ke-19), yang kemudian mengalami proses lokalisasi budaya dan sekularisasi makna.
Namun dalam konteks Minangkabau Tabuik telah mengalami transformasi sosial dan kultural, dari semula bernafaskan ritual menjadi lebih bersifat budaya, seni rakyat, dan pesta masyarakat.
Tidak ada indikasi bahwa pelaku dan masyarakat Pariaman secara teologis menganut doktrin Syi’ah Rafidhah. Maka, penting dibedakan antara asal ritual (ritual origin) dan fungsi aktual dalam masyarakat (cultural function).
2. Hukum Syariat terhadap Ritual yang Berasal dari Ajaran Lain. Dalam kaidah fiqih: "Al-‘ibrah bi al-maqashid la bi al-asma’". Pertimbangan hukum itu berdasar pada maksud dan realitas, bukan hanya nama atau asal-usul.
Ulama Al-Shatibi dan Al-Ghazali menegaskan bahwa amal itu dilihat dari niat, tujuan, dan dampaknya. Jika sebuah amalan berubah bentuk, makna, dan niat, maka hukumnya mengikuti bentuk barunya, bukan asalnya.
Dalam hal Tabuik, jika sudah tidak lagi diniatkan sebagai ibadah atau ritual agama (seperti niyahah, pengkultusan tokoh, atau syi’ar ajaran tertentu), maka ia tidak bisa serta merta dihukumi haram, melainkan perlu pendekatan maslahat dan tahqiq al-manath (verifikasi konteks).
3. Tentang Status Keharaman.
Pernyataan “haram mutlak” atas segala keterlibatan dalam Tabuik memerlukan kejelasan illat (alasan hukum). Hukum haram tidak bisa ditetapkan hanya karena ada kesamaan bentuk dengan ritual Syiah.
Pernah berasal dari tradisi luar Islam. Dikhawatirkan menyesatkan tanpa bukti nyata. Apalagi jika Tabuik telah dijadikan ajang budaya dan pariwisata, tanpa pengagungan keagamaan.
Tidak ada unsur bid’ah, kecuali dalam ibadah mahdhah. Tidak menyebabkan masyarakat berpaling dari syariat. Maka, menggeneralisasi hukum haram tanpa pengecualian adalah bentuk ta’assub fi al-fatwa (fanatisme dalam pengeluaran hukum) yang tidak sesuai dengan maqashid syariah dan pendekatan wasathiyah Islam.
4. Peran Ulama dan Umara. Benar bahwa ulama dan umara berkewajiban menjaga kemurnian aqidah umat, tetapi mereka juga harus bertindak bijak dalam mengelola budaya lokal. Tugasnya bukan hanya melarang, tapi juga mengarahkan dan mentransformasikan.
Alternatifnya Islamisasi budaya, bukan menghapus nya secara frontal. Memberi edukasi tentang sejarah Karbala tanpa syi’ar kesedihan ekstrem. Mengubah narasi tabuik menjadi inspirasi perjuangan, nilai keberanian, solidaritas, dan cinta Ahlul Bait.
5. Kekhawatiran Masuknya Syi’ah.
Kekhawatiran berkembangnya paham Syi’ah tidak bisa dijustifikasi hanya karena ada warisan budaya yang pernah terkait dengannya. Jika itu logikanya, maka banyak aspek budaya lainnya juga bisa dianggap berbahaya, termasuk randai, tari piring, atau tradisi maulid yang juga memiliki varian.
Penanggulangan penyimpangan aqidah harus dilakukan
dengan pendekatan ilmu, pendidikan, dan dakwah terbuka, bukan semata pelarangan.
Melalui penguatan aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, bukan mencurigai semua bentuk budaya yang tidak berasal dari Arab.
KESIMPULAN
Tabuik sebagai warisan budaya yang perlu dikelola, bukan Diharamkan secara mutlak. Tabuik Pariaman memang berasal dari tradisi Syi’ah, khususnya dalam memperingati peristiwa Karbala. Namun, dalam konteks lokal Sumatera Barat, ia telah mengalami transformasi bentuk dan fungsi menjadi warisan budaya masyarakat yang tidak lagi mengandung unsur ritualitas Syi’ah secara teologis.
Dalam pendekatan fiqih dan maqashid syariah, sesuatu yang berasal dari tradisi non-Islami tidak otomatis dihukumi haram jika tidak mengandung unsur ibadah ghairu syar’iyyah.
Tidak dimaknai sebagai pengkultusan atau niyahah. Telah berubah fungsi menjadi sarana sosial, edukasi, atau seni budaya.
Menggeneralisir keharaman terhadap Tabuik tanpa melihat niat, konteks, dan bentuk aktual pelaksanaan nya adalah pendekatan sempit yang kurang bijak. Fatwa harus dibangun di atas dasar tahqiq al-manath (verifikasi fakta) dan hikmah dakwah.
Peran ulama dan umara bukan hanya melarang, tetapi membina dan mengarahkan. Budaya seperti Tabuik bisa dijadikan media edukasi sejarah perjuangan Ahlul Bait. Pemersatu masyarakat dan media dakwah. Ajang pelestarian seni tradisi yang ditanamkan nilai-nilai tauhid dan akhlak.
Kekhawatiran terhadap infiltrasi Syi’ah tidak cukup dijawab dengan pelarangan budaya.
Tapi melalui penguatan aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah. Literasi keagamaan yang mendalam. Dakwah terbuka dan dialogis.
Oleh karena itu, Tabuik bukan bagian dari Dinul Islam, tetapi juga tidak wajib diharamkan secara total selama tidak mengandung unsur bid’ah atau syirik.
Tabuik bisa tetap dilestarikan sebagai warisan budaya lokal, dengan pemurnian makna dan pengawasan konten, agar tidak menyimpang dari prinsip akidah Islam. Islam tidak memusuhi budaya, melainkan memurnikan dan mencerahkan budaya dengan cahaya tauhid dan akhlak Qur'ani. Inilah tugas strategis para ulama, pendidik, dan pemangku adat menjaga akidah umat sambil tetap merawat kearifan lokal yang telah ter-Islamisasi secara alamiah. DS. 04072025.
*Ketua Yayasan Islamic Centre Syekh Burhanuddin Padang Pariaman