Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

Reifikasi, Akhir Agama? oleh ReO Fiksiwan

„Reifikasi, keyakinan bahwa ide mempunyai eksistensi yang lebih nyata daripada objek konkret.“ — Plato(428-348).

„Reifikasi bukan sekadar ilusi yang dipaksakan pada kesadaran dari luar, tetapi berasal dari sifat objektif lembaga sosial seperti agama.“ — Karl Marx(1818-1883).

Sekitar lebih setengah abad silam, buku The Meaning and End of Religion: A New Approach to the Religious Traditions of Mankind, ditulis Wilfred Cantwell Smith(1916-2000), menjadi pemicu bagi hadirnya studi perbandingan agama.

Buku ini, menjadi satu rujukan para pemikir filsafat, di antaranya, Prof. Dr. Nurcholish Madjid(1939-2005) sebagai salah satu pentolan dalam pemikiran pembaharuan Islam di Asia Tenggara. 

Pengaruh mendiang Cak Nur telah menghasilkan sebuah disertasi dari cendekiawan Malaysia, Mohammad Kamal Hassan dalam Modernisasi Indonesia: Respon Cendekiawan Muslim(terjemahan Ahmadie Thaha,1987). Namun terjemahan atas buku Smith baru ditunaikan oleh Penerbit Mizan pada 2004 silam atau sekitar empat tahun setelah Smith wafat.

Yang menarik dari kajian Smith pada fenomena perkembangan agama-agama terkait dengan apa yang menjadi populer dalam filsafat posmodernisme sebagai „akhir sejarah“.

Untuk menyambut dialog mutakhir tentang „akhir agama“ di abad mutakhir sains melalui teknologi AI, Denny JA dan Lukas Luwarso, mengajukan tesis „baru“ atas benturan filsafat sains dan agama.

Jika Denny JA mengumandang akhir agama dengan meruntuhkan teori sosiologi agama vis a vis politik, Lukas Luwarso justru menabalkan perspektif itu lewat filsafat sains dan diawali dengan istilah yang diajukan oleh Smith ihwal makna dan akhir agama(the end of religion). 

Kelak, dilanjutkan oleh Huntington(1927-2008) sebagai benturan peradaban, Fukuyama(72) dengan akhir sejarah,Horgan(72) akhir sains dan Sam Harris(57) beringsut sebagai akhir iman(faith).

Keempat „horseman“ ini, tiga masih hidup, telah menggunakan kata „the end“ sebagai kritik filosofis terhadap fenomena agama di balik proyek progres sains dan nalar pencerahan sebagaimana diajukan oleh Steven Pinker(70) dengan Enlightenment Now(2018), Pencerahan Kini, dalam arti sains mutakhir sebagai progressphobia peradaban dan kebudayaan pada alaf kedigdayaannya.

Jika aktivitas agama atau kepercayaan agama itu sendiri — sejak lahirnya melalui mitologi dikenal sebagai ekspresi spiritualitas dan ketaatan kepada Tuhan — kini pikiran atau keyakinan(faith) itu telah menjadi sebuah fenomena yang kompleks dan multifaset. Dalam arti ini, muncul istilah yang dikutip dari Smith sebagai reifikasi(Latin: res fecare), „berhala“(Verdinglichung, menurut Marx), merupakan penjelmaan kritik filsafat abad pencerahan ihwal proses aktivitas agama menjadi sebuah entitas(pembendaan) yang terpisah dari konteks sosial dan politik.

Makna reifikasi sebagai kehadiran pemikiran akhir(the end) dari suatu proses yang abstrak dan berangsur-angsur jadi sebuah entitas yang konkret dan terpisah dari konteksnya, berujung pada filsafat akhir agama seperti yang telah dipatahkan oleh filsafat materialisme Karl Marx. 

Sebagai tafsir klasik dan mutakhir sekalipun, keyakinan agama bagi para penganutnya cenderung hanya mematok prinsip-prinsip beku dalam sains seperti moralitas, etika, hukum agama, atau gaya hidup yang disenangi oleh gagasan mereka tentang kosmos teosentis dan kosmos antroposentris dan digali dari pertumbuhan sejarah pengetahuan antara mitologi dan logos. 

Efeknya, ketika sains telah menghadirkan suatu perspektif baru dengan metodologi pseudoada sekitar 4.200 agama atau gereja, denominasi, institusi keagamaan, kelompok kepercayaan, suku, budaya, terus tumbuh dan menafsirkan agama dengan kata ganti verbatim seperti iman(fides) maupun sistem kepercayaan(belief).

Kembali ke akar etimologi, kata agama sendiri sebagai translasi dari „religion“(Latin: religio = terikat) ke Sanskerta(a-gama, tidak kacau) atau „ageman“(Jawa: kain penutup), turut membentuk perilaku yang terorganisasi, termasuk hierarki-klerikal(clerus) dan didefinisikan sebagai pemenuhan ketaatan dan kepatuhan penganutnya melalui ibadah maupun kebaktian rutin untuk tujuan pemujaan. Seperti asal kata religio maupun Islam(ketertundukan) pada kekuatan yang mahabesar(omnipotent) dan anonim. 

Sampai di sini, sains sebagai jantung dari kritik filsafat seperti yang disinyalir oleh Denny dan Lukas, menjadi alat pemanas untuk mencairkan kebekuan agama dengan kleim bahasa suci yang dipraktekkan bersamaan literasi liturgi, khotbah, pengorbanan(sacrifice), festival, pesta, trans, ritual, upacara, ibadah, inisiasi, dan tentu terkait pula dengan prosesi pemakaman, pernikahan, meditasi, doa, musik, seni, tari, layanan publik, atau aspek lain yang dikembangkan sebagai satu unsur dalam budaya manusia. 

Sementara, bahasa sains dengan algoritme AI, lebih diarahkan pada kecermatan semua fenomena empirik, termasuk neurosains yang dibahas begitu rupa jejak pertumbuhannya oleh Denny dan Lukas. 

Lagi-lagi, kedua penekun sains ini — melalui esai-esai mereka — dengan telak mendobrak kepercayaan agama sebagai fenomena parapsikologis belaka. Atau, apa yang telah diajukan oleh mendiang Daniel Dennet(1942-2024) sebagai „pengusir mantra“ dalam pengalaman keluar tubuh(transfigurasi), pengalaman mendekati kematian, reinkarnasi serta banyak pengalaman paranormal dan supranatural lainnya.

Terkait dengan perkembangan tafsir mutakhir agama — sejak filsafat melabrak definisi klasiknya sebagai „kuasa“ non empiris — reifikasi dalam aktivitas agama menghadirkan dampak yang telak pada masyarakat, khususnya sejak Max Weber hingga Durkheim maupun William James, menafsirkan agama sebagai fenomena psiko-sosial politik belaka seperti percermatan Denny bahkan Lukas. 

Dengan kata lain, agama hanya berguna untuk memperkuat kekuasaan dan mengontrol masyarakat yang dapat menyuplai energi ketidakadilan dan diskriminasi. Di lain hal, algoritme AI sebagai sains supermutakhir, dapat menyerap sergap segala pengalaman faktual maupun mistis yang sudah dikleim sejak awal oleh agama.

Akhirnya, aktivitas agama di hadapan kedigdayaan sains dapat mengahasilkan akhir agama sebagai bentuk reifikasi. Bentuk yang dijadikan Marx untuk menghabisi keyakinan agama sebagai fenomena non empirik dan sangat bertentangan dengan filsafat materialisme yang turut memproduksi sainstek seperti AI. 

Meski demikian, bagi sainstis teistik dan ateistik, tafsir agama di ranah politik, sosial bahkan ekonomi dan kebudayaan, masih bisa melindungi dan mempertahan dirinya sendiri keluar dari kepungan sains. Buktinya, menurut bioantropolog, Agustine Fuentes, kepercayaan agama masih dianut oleh 83% populasi umat manusia dari 7,3 miliar jiwa(lihat The Creative Spark: How Imagination Made Humans Exceptional, 2017).

Manado, 4 Maret 2025

ReO Bibliothek Kokima Hill.

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Hollywood Movies