![]() |
Korupsi kembali menjadi headline yang nyaris tak pernah absen dari pemberitaan nasional. Di tengah derasnya arus perubahan dan tuntutan reformasi birokrasi, publik kembali dikejutkan dengan kasus yang melibatkan sosok muda, Nur Afifah Balqis. Pada usia yang baru menginjak 24 tahun, ia menjadi salah satu pelaku korupsi termuda yang berhasil diungkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Kasus ini menegaskan satu kenyataan pahit: praktik korupsi tak mengenal usia. Jika sebelumnya pelaku korupsi identik dengan pejabat senior atau elite politik berusia matang, kini fakta berbicara lain. Generasi muda, bahkan yang masih berada dalam kategori Generasi Z, mulai terlibat dalam pusaran korupsi.
Nur Afifah Balqis tercatat menjabat sebagai Bendahara Umum DPC Partai Demokrat Balikpapan. Dalam operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK, ia terbukti terlibat dalam pengelolaan dana suap yang melibatkan Bupati Penajam Paser Utara, Abdul Gafur Mas’ud. Dari hasil penggeledahan, KPK mengamankan uang tunai senilai lebih dari satu miliar rupiah. Dalam proses persidangan, Nur Afifah dijatuhi vonis 4 tahun 6 bulan penjara serta denda ratusan juta rupiah.
Fenomena ini memunculkan pertanyaan besar: bagaimana mungkin generasi muda, yang seharusnya menjadi motor penggerak perubahan, justru terseret dalam lingkaran korupsi? Jawaban yang muncul tak bisa dilepaskan dari sistem yang telah lama rusak. Ketika lingkungan politik dipenuhi oleh praktik transaksional dan budaya kompromi terhadap penyimpangan, anak muda yang masuk ke dalam sistem seringkali tanpa sadar mewarisi pola-pola lama yang koruptif.
Barangkali inilah ironi terbesar dalam pendidikan bangsa: tanpa perlu kurikulum formal, ilmu korupsi justru diwariskan begitu efektif dari generasi ke generasi. Tanpa modul, tanpa pelatihan resmi, namun hasilnya konsisten—melahirkan generasi baru yang piawai ‘mengelola dana’ demi kepentingan pribadi.
Realitas ini membawa implikasi serius bagi masa depan bangsa. Generasi muda adalah harapan perubahan, tetapi jika mereka justru belajar dari praktik-praktik kotor yang diwariskan para pendahulu, maka masa depan Indonesia yang bersih dan berintegritas akan semakin jauh dari harapan.
Tantangan terbesar saat ini bukan hanya soal penegakan hukum semata, tetapi juga soal pembenahan ekosistem politik dan tata kelola pemerintahan yang sehat. Pendidikan antikorupsi harus ditanamkan sejak dini, ruang partisipasi generasi muda dalam politik harus didesain lebih transparan, serta budaya meritokrasi perlu ditegakkan agar anak-anak muda dapat tumbuh menjadi pemimpin yang berintegritas, bukan sekadar menjadi penerus budaya korupsi.
Kasus Nur Afifah Balqis menjadi cermin keras bagi bangsa ini. Regenerasi politik yang semestinya membawa angin segar, justru berpotensi menjadi kelanjutan dari tradisi koruptif jika tidak ada pembenahan serius. Indonesia tidak kekurangan generasi muda yang cerdas dan berpotensi, namun tanpa sistem yang sehat, potensi tersebut justru dapat terjerumus ke jalan yang salah.
Karena sesungguhnya, regenerasi sejati bukanlah sekedar mengganti wajah-wajah tua dengan wajah-wajah muda dalam ruang sidang pengadilan. Yang kita butuhkan adalah pergantian mentalitas, bukan hanya usia. Kalau tidak, ruang penjara kita akan tetap ramai — hanya saja, generasi penghuninya akan semakin muda.