Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

Antara Adat, Agama, dan Beban Finansial Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya


Menjadi orang Bali bukan sekadar ber-KTP Bali. Ada sesuatu yang lebih dalam, lebih kompleks, lebih melekat dalam identitasnya.

Seperti mengenakan dua baju sekaligus—satu sebagai warga Bali secara teritorial, satu lagi sebagai penganut Hindu Bali yang terikat oleh adat dan tradisi turun-temurun.

"Beh, be sing nu dadi nak Bali." Kalimat ini bukan sekadar ucapan. Ia adalah vonis sosial. Jika seseorang tak lagi menjalankan adat dan tradisi Bali, maka meski lahir, besar dan menetap di Bali, ia dianggap telah kehilangan "jiwa" Balinya.

Tapi di sinilah paradoksnya. Menjadi orang Bali berarti hidup dalam pusaran upacara dan ritual yang tak pernah berhenti. 

Nyepi sudah di depan mata. Sebelum hari suci itu tiba, ada rangkaian panjang yang harus dilalui—Tawur Kesanga, Mecaru, Ngerupuk. Setiap rumah memasang sanggah bambu, mempersiapkan sesajen, membeli bahan upacara. Semua itu butuh biaya. Mengeluhkah? Silahkan jawab dalam hati.

Setelah Nyepi, ada sasih kedasa—bulan suci penuh upacara. Di Besakih, biasanya dilaksanakan upacara besar Bhatara Turun Kabeh, ritual akbar yang merambah hingga rumah-rumah. 

Lalu Galungan dan Kuningan, dua hari raya besar yang dirayakan dengan meriah, dengan biaya yang juga besar. 

Belum termasuk upacara di desa adat, hajatan pernikahan tetangga, upacara kematian, atau sekadar mesemu—kewajiban sosial untuk membawa bawaan saat jika ada warga mengadakan acara. Semu semita. Jika tidak pernah mesemu, maka ketika punya hajatan, tak ada yang akan datang, konskwensi logisnya demikian. Maka ada "paksaan" untuk selalu datang bila tetangga atau ada karya di desa.

Segala sesuatu dalam kehidupan adat dan tradisi Bali pada akhirnya bermuara pada satu hal: finansial.

Tak bisa dipungkiri, menjalani adat dan agama di Bali membutuhkan biaya yang tak sedikit. Sementara kehidupan ekonomi masyarakat Bali masih banyak yang bertumpu pada sektor agraris. Tapi pola hidupnya banyak yang telah bergeser menjadi masyarakat industri. 

Sadar tidak sadar, akhirnya tanah-tanah yang tadinya subur, sekarang ditanami "padi beton", banyak berubah fungsi menjadi restoran, hotel, bahkan kos-kosan. Semua itu demi satu alasan: agar ada penghasilan pasif untuk bisa bertahan hidup di tengah arus industrialisasi (pariwisata).

Jika tak ada penghasilan pasif, pendatang yang menyewa rumah atau kos di Bali, meski harus membayar sewa tiap bulan, bisa jadi hidupnya lebih ringan dibanding warga asli karena mereka tak ada beban adat yang harus ditanggung. 

Seorang ASN di Bali, dengan pangkat dan gaji yang sama dengan rekannya dari luar Bali, akan mendapati dirinya memiliki lebih sedikit uang yang tersisa di akhir bulan karena harus membiayai adat dan upacara, sementara rekannya dari luar Bali tak punya beban adat itu.

Lalu pertanyaannya, siapa yang bertanggung jawab atas pergeseran ini? Adakah solusi agar adat tetap lestari tanpa membuat warganya tercekik?

Bali adalah wajah pariwisata Indonesia. Budayanya adalah daya tarik utama yang membuat wisatawan datang. Ironisnya, masyarakat yang menjaga budaya itu, kini dihadapkan pada tekanan ekonomi yang semakin berat. 

Adat yang seharusnya menjadi kekuatan malah menjadi beban.

Mungkin sudah saatnya mencari jalan tengah. Saatnya ada kebijakan yang lebih berpihak kepada warga adat Bali, yang memberi ruang bagi mereka untuk tetap menjalankan tradisi tanpa merasa terbebani. 

Seperti apa itu? Ini yang sederhana. Busung, biu, bunga, buah dan sarana upacara lainnya tidak mahal. Bila perlu ada subsidi, bila perlu pula dibuatkan tata kelolanya sehingga pada saat rainan harganya tidak melangit, bahkan sulit dicari.

Itu yang sederhana, yang rumit-rumit bagiannnya yang pintar-pintar untuk mencari solusinya.

Karena jika masyarakat Bali dibiarkan terus terbebani, mau tak mau, pada akhirnya masyarakat adat sendiri yang tergerus. Dan ini tak boleh terjadi. Berbahaya jika tergerus, budaya yang menjadi nyawa Bali tak boleh lenyap. 

Manusia Bali, Tanah Bali dan Budaya Bali adalah satu kesatuan yang utuh.

Denpasar, 9 Maret 2025

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Hollywood Movies