![]() |
„Orang tahu apa yang mereka lakukan; sering kali mereka tahu mengapa mereka melakukan apa yang mereka lakukan; tetapi yang tidak mereka ketahui adalah apa yang mereka lakukan.“ —
Micheal Foucault(1926-1984), Madness and Civilization: A History of Insanity in the Age of Reason(1961).
Pelbagai ritus agama tumbuh ibarat padi ditemani rumput. Hampir seluruh sejarah agama-agama dibaluti kemunculan rerumputan iman sempalan sebagai kebebasan para penafsir di luar pembawa risalah resmi beberapa agama utama.
Sebut saja, di era posmodernisme — ketika rasionalisme dan kebebasan menerjang hampir seluruh publik dunia dengan sofistifikasi produk sains maupun teknologi digital sebagai embrio AI — dari Children of God, Heaven Gates, Gereja Setan hingga Lia Eden dan Panji Gumilang.
Dengan kata lain, ritus agama ikut berkembang sebagai bagian integral dari kehidupan sejarah agama-agama.
Namun, di balik penampilan spiritual dan sakral yang tremendum-fascinosum, ritus agama mengandung „psychology as religion“ Paul Vitz dan bisa dipahami sebagai arena politik hasrat yang kompleks. Mistis dan misteri.
Untuk menguliti seupil fenomena ritus agama sebagai politik hasrat, dua filsuf dan antropolog garda depan, Michel Foucault dan Victor Turner(1920-1983), bisa diacu untuk meneroka medan kekuasaan dan hasrat yang beroperasi melalui simbol, bahasa, dan tubuh.
Bagi Foucault, umpama, kekuasaan bukanlah sesuatu yang dimiliki oleh individu atau kelompok tertentu, melainkan suatu jaringan relasi yang kompleks dan menyebar di seluruh masyarakat.
Dalam konteks ritus agama, kekuasaan ini beroperasi melalui konstruksi dan penggunaan simbol, bahasa, dan ritual yang membentuk pengalaman dan persepsi individu.
Ritus agama menjadi sarana untuk menginternalisasi norma-norma dan nilai-nilai tertentu, sehingga membentuk subjek yang taat dan patuh.
Untuk itu,Foucault sendiri — mengacu pada The Archaeology of Knowledge(1972); The History of
Sexuality(1978) dan Power/Knowledge:
Selected Interviews and Other Writings(1980) — politik hasrat membentuk dan mengatur hasrat individu melalui berbagai mekanisme yang dirunut melalui:
/1/ Kekuasaan sebagai Jaringan:
Kekuasaan bukan milik individu atau institusi tertentu, tetapi beroperasi melalui jaringan relasi yang kompleks.
/2/ Diskursus:
Berpikir dan mengampu hasrat, sakral maupun profan, dipasok lewat manfaat(uses) bahasa dan pengetahuan.
/3/ Kontrol Hasrat:
Kekuasaan mengatur hasrat melalui norma-norma sosial, institusi, dan praktik.
/4/ Subjek yang Terbentuk:
Individu menjadi subjek yang taat dan patuh melalui internalisasi norma-norma dan kontrol hasrat.
Dengan demikian, Foucault menekankan bahwa politik hasrat bukanlah tentang menekan hasrat.
Akan tetapi, tentang membentuk dan mengarahkan hasrat melalui kekuasaan ritus agama.
Sementara itu, mengacu pada Victor Turner dalam
The Ritual Process: Structure and Anti-Structure(1969), teori proses ritusnya berfokus pada konsep-konsep berikut:
/1/ Struktur - Anti-Struktur:
Proses ritus ini meliputi fase-fase struktur sosial yang mapan. Liminalitas, fase transisi,,di mana norma-norma sosial biasa ditangguhkan atau dibalikkan.
Terakhir, reintegrasi yang menghantar Individu kembali ke struktur sosial dengan perspektif baru.
/2/ Komunitas:
Komunitas sementara terbentuk dalam fase liminalitas, ditandai oleh solidaritas dan kesetaraan.
Turner menekankan bahwa liminalitas memungkinkan perubahan dan refleksi, serta pembentukan identitas baru melalui pengalaman bersama dalam komunitas.
Dalam ritus agama, individu dapat mengalami pengalaman yang mendalam dan transformatif. Kelak, ritus ini dapat membentuk identitas dan persepsi mereka tentang dunia.
Tekanan Turner pada pentingnya komunitas dalam ritus agama — khususnya di Amerika dengan ribuan denominsi-denominasi agama — yang terbentuk melalui pengalaman bersama dan solidaritas.
Komintas ini dapat menjadi arena untuk mengekspresikan hasrat dan keinginan yang biasanya ditekan oleh perkembangan struktur sosial.
Dalam perspektif Foucault dan Turner, ritus agama dapat dilihat sebagai arena politik hasrat yang kompleks.
Di satu sisi, ritus agama dapat menjadi sarana untuk menginternalisasi norma-norma dan nilai-nilai tertentu, sehingga membentuk subyek yang taat dan patuh.
Di sisi lain, ritus agama pun dapat menjadi arena untuk mengekspresikan hasrat dan keinginan yang biasanya ditekan oleh struktur sosial.
Namun, hasrat dan keinginan ini juga dapat menjadi sumber resistensi dan perubahan, terutama ketika individu atau kelompok tertentu menolak atau menantang struktur kekuasaan yang ada.
Dalam perspektif keduanya, Foucault dan Turner, ritus agama menjadi arena — cultural field menurut Bourdieu — dalam membentuk dan mengarahkan hasrat dan keinginan individu. Namun, juga berpotensi menjadi sumber resistensi dan perubahan.
Oleh karena itu, ritus agama perlu dilihat sebagai suatu medan kekuasaan dan hasrat yang dinamis dan kompleks, yang memerlukan analisis yang cermat dan kritis.
Dan salah satu ritus agama sebagai „politic as religion“ yang sangat mengguncangkan dunia akademis dan publik, bagaimana kekuasaan dibentuk oleh sejarah kepalsuan dokumen pengetahuan: skripsi dan ijazah?