Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

MEMPRIBADIKAN BATIN (MUKASYAFAH) Oleh: Duski Samad

Mempribadikan berilmu mukasyafah artinya memahami dan mengilmui masalah kehidupan dengan menggunakan mata batin. Ilmu lahiriyah dan batiniyah dua kekuatan yang melekat kuat menjadikan ilmu-ilmu agama lebih hidup (ihya'ulumuddin) dalam semua halnya. 

Pertanyaan kapan seseorang dapat disebut berilmu (al-alim) baik lahiri maupun batin dan apa identitas utama yang menjadi penanda ilmu mukasyafah (batin) itu sudah membentuk kepribadian diri. 

Langkah awalnya adalah dengan menjaga tazkiyah diri. 

Kata tazkiyah berakar dalam Al-Qur'an, seperti dalam ayat...artinya"Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu (tazkiyah al-nafs)." (QS. Asy-Syams: 9). "Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul dari kalangan mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka..." (QS. Al-Jumu’ah: 2)

Tazkiyah merujuk pada proses pensucian jiwa atau hati dari sifat-sifat buruk (seperti kesombongan, iri hati, dan cinta dunia) dan menggantikannya dengan sifat-sifat mulia (seperti keikhlasan, kerendahan hati, dan cinta kepada Allah). Kata tazkiyah berasal dari bahasa Arab زَكَّى (zakkā), yang berarti "mensucikan" atau "menyucikan."

Makna tazkiyah dalam tasawuf adalah tazkiyah al-Nafs,

Ini adalah proses menyucikan jiwa dari hawa nafsu yang cenderung menjauhkan manusia dari Allah. Dalam sufisme, nafsu sering dianggap sebagai penghalang utama bagi kedekatan dengan Allah.

Tujuan utama dari tazkiyah untuk mencapai maqam (tingkatan spiritual) yang lebih tinggi, seperti ihsan (kesadaran bahwa seseorang selalu diawasi Allah) atau maqam ridha (kepuasan hati terhadap takdir Allah).

Tazkiyah itu tahap awal mencapai pribadi yang batinnya terbuka (tidak terhijab) dari Allah dan orangnya disebut dengan kaunuhu (keadaan dirinya) siap menerima dan mendengar suara batin dari sumbernya, Allah subhanuwata'ala. 

Untuk mencapai mukasyafah itu maka ada beberapa cara (metode tazkiyah), Proses tazkiyah untuk mencapai mukasyafah melibatkan beberapa tahapan atau metode;

(1) Dzikir: Mengingat Allah secara terus-menerus. Artinya koneksinya dengan Allah abadi dan tidak terputus oleh urusan apapun jua. Suka, duka dan perubahan kehidupannya dalam bingkai ilahiyah. 

(2). Muraqabah: Introspeksi dan pengawasan diri. Menyadari diri dengan kealpaan (insan) dan kelemahan dirinya akan memudahkan hati dapat menjaga (muraqabah) hati, pikir dan perbuatan dari gerak hidup yang tak baik. 

(3). Taubat: Memohon ampunan atas dosa. Kesalahan (dosa) adalah titik noda hitam yang menghalangi jiwa terbuka (kasyaf). Menyucikan jiwa dengan taubat adalah refresh jiwa menuju kestabilan diri. 

(4). Ibadah yang ikhlas: Mengerjakan amal perbuatan tanpa mengharapkan pujian manusia adalah prasyarat tersusunnya hati menjadi suci dan kasyaf dari kebenaran hakiki. Hanya muchlis yang dijamin jiwanya suci dan keadaan dirinya lebih dekat dengan sang khaliq.

(5). Mengikuti pembimbing spiritual (Mursyid atay Syaikh): Dalam tradisi sufi, pembimbing ini membantu murid dalam proses tazkiyah. Ilmu yang tak jelas mursyid atau sanad keilmuaan sulit membentuk kepribadian diri. Mursyid dapat membimbing jiwa menuju tazikiyah dan kasyaf terhadap kebenaran sejatinya. 

Dalam tasawuf, tazkiyah adalah inti dari perjalanan spiritual menuju Allah (suluk). Ini adalah proses yang panjang dan membutuhkan kesabaran serta tekad yang kuat, karena melibatkan pengendalian ego dan memperbaiki hubungan dengan Allah dan sesama manusia.

MUKASYAFAH

MUKÂSYAFAH adalah manifestasi pengetahuan di dalam hati sufi. Semua hati manusia sebenarnya mempunyai potensi yang sama dalam menerima mukâsyafah. Tetapi, mukâsyafah hanya bisa dicapai kalau antara hati manusia dan lawh al-mahfûzh tidak terhalangi oleh apapun. Penghalang hanya mampu disirnakan oleh para nabi dan wali melalui riyâdhah (olah diri) dan tazkiyah (pensucian diri). Perbedaan antara keduanya hanya terletak pada kemampuan dalam menyaksikan kehadiran sang pembawa pengetahuan. Mukâsyafah dalam diri nabi disebut dengan wahyu, sedangkan pada diri wali disebut ilham.

Mukâsyafah tidak didapatkan melalui pengkajian atau penalaran. Mukâsyafah adalah buah dari olah diri dan pensucian yang dilakukan para sufi. Itu semua bagaikan kajian keilmuan yang dilakukan para ulama. Dalam hal ini, kajian keilmuan juga mendapatkan pengetahuan dari lawh al-mahfûzh.

Perbedaan antara kajian keilmuan dengan mukâsyafah hanya pada mekanisme pencapaian pengetahuan. Para sufi mendapatkan itu melalui olah diri dan amal saleh yang bertumpu pada hati, sedangkan para ulama melalui pengkajian yang bertumpu pada nalar. Para sufi akan terhalangi di saat melakukan kemaksiatan, sedangkan ulama akan terhalangi oleh kelupaan.

Bagi al-Ghazali, mukâsyafah adalah kebenaran Ilahiyah. Argumentasinya dapat dimengerti melalui mimpi yang terkadang memberikan informasi berupa kepastian terjadinya peristiwa di masa depan. Hal ini terjadi karena di saat tidur manusia tidak lagi memperhatikan tuntutan-tuntutan jasmaninya. 

Namun, pengabaian terhadap tuntutan-tuntutan jasmani tidak hanya terjadi pada saat-saat tidur. Dalam kondisi sadar pun manusia mampu menepisnya dengan melakukan puasa, olah diri, dan pensucian hati. Sehingga dalam kondisi sadar, manusia juga mampu mengetahui peristiwa masa depan tersebut. Tidak ada perbedaan antara mukâsyafah melalui mimpi dengan mukâsyafah dalam kondisi sadar. Yang terpenting adalah kemampuan manusia dalam meminimalisir seluruh tuntutan jasmaninya.

Selain mendapatkan mukâsyafah, para sufi juga mencapai musyâhadah. Musyâhadah menjadikan para sufi mampu menyaksikan semua fenomena menakjubkan yang tidak bisa disaksikan di alam nyata. Mereka mampu menyaksikan para malaikat, arwah para nabi, serta dapat mengambil manfaat dari persaksian itu. Klimaks dari itu semua adalah fanâ`. Tahapan ini merupakan tahapan paling akhir dari upaya pendekatan para sufi dengan Tuhan.

Dalam tahapan fanâ` ini, para sufi akan senantiasa menyaksikan dan merasakan kehadiran Tuhan. Tak ada lain kecuali hanya Tuhan yang tampak oleh mereka. Ini merupakan empati tertinggi para sufi. Fanâ`hanya bisa dimengerti oleh orang-orang yang telah merasakan empati itu. Mempublikasikan empati tersebut kepada masyarakat umum akan melahirkan tuduhan kafir terhadap mereka. Ketidakpahaman terhadap empati itu akan memunculkan klaim panteisme dan inkarnasi. Klaim tersebut muncul akibat ketidakpahaman masyarakat umum mengenai arti fanâ` dalam dunia sufisme.

Kesimpulan yang ingin ditegaskan bahwa ilmu mukasyafah, suara hati atau suara batin adalah cabang ilmu yang diperoleh dengan riyadhah (latihan jiwa). Tazkiyah dan mukasyafah dua hal yang saling berkaitan. Dzikir, muraqabah, taubah, ikhlas dan bimbingan mursyid adalah metode mencapai mukasyafah (terbuka dan terdengarnya suara ilahiyah melalui suara hati dan suara batin), semoga kita semua menjadi terbiasa atau mempribadikan ilmu setiap saatnya. amin. 10122024.

*Kajian Subuh Masjid Darul Muttaqin Selasa, 10 Desember 2024



Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Hollywood Movies