Alfian Tarmizi |
“Waduh, saya ini kan guru honorer, gajinya nggak seberapa, kok banyak sekali tuntutan dalam mengajar sekarang. Harus mendiagnostik siswa satu per satu, memperhatikan perbedaan siswa dalam belajar. Harus gonta-ganti metode, belajar ini dan itu, harus pakai laptop. Uang dari mana? Beli pulsa saja susah...”
Begitulah cuitan kebanyakan guru ketika bersentuhan dengan perubahan kurikulum dari K-13 ke kurikulum merdeka. Memang perubahan bukanlah sesuatu yang instan dan mudah. Butuh waktu, butuh proses, butuh sosialisasi dan butuh edukasi untuk menerima perubahan itu.
Persoalannya bukan hanya sekedar mengikuti irama pembaruan yang dibawa oleh perubahan itu sendiri. Namun yang lebih sulit adalah menyesuaikan diri dan keadaan terkait perubahan. Seperti yang dicontohkan dalam cuitan beberapa orang guru, apalagi guru honorer yang gaji bulanannya tidak seberapa.
Perubahan kurikulum K-13 menuju kurikulum merdeka sebenarnya sudah dipersiapkan secara matang oleh pemerintah. Melalui sumber belajar, mulai dari buku, Tujuan Pembelajar (TP) dan Alur Tujuan Pembelajar (ATP), modul ajar (RPP), bahan ajar, bahkan video pembelajaran untuk memperkaya wawasan guru dalam mengajarpun di sediakan.
Melalaui Aplikasi Platform Merdeka Mengajar (PMM) para guru hanya perlu paket data, akun ID belajar untuk mengakses informasi dan belajar di dalamnya. Namun, hal ini juga sulit untuk diwujudkan. Entah karena tidak mengerti, takut salah, tidak dimotivasi atau tidak peduli sama sekali.
Memang dunia tidak bisa dirubah oleh satu orang saja. Namun, kalau kita satu komitmen, masing-masing berbuat sesuai fungsi dan porsinya. Insyaallah dunia pendidikan kita ini pasti akan menggeliat ke arah yang lebih baik.
Para pembaca yang budiman.
Mari kita telaah dengan perlahan dan kita cari benang merahnya dengan hati-hati.
Kurikulum merdeka merupakan penyempurnaan kurikulum 2013. Apanya yang disempurnakan?
Pertama, Penyederhanaan esensi dari materi yang terlalu padat dengan cukup mengajarkan materi esensial/penting saja yang akan menopang life skill siswa di masyarakat. Jadi, siswa tidak perlu belajar banyak materi, tapi benyak mendalami materi.
Kedua, KI-KD dilebur berdasarkan materi esensial tadi menjadi Capaian Pembelajaran (CP). Capaian Pembelajaran ini harus dikuasai siswa dalam kurun waktu satu fase (dua tahun). Berarti siswa kelas satu tuntutan pencapaian CP nya di kelas dua. Ada masa yang panjang selama dua tahun untuk menguasai materi berdasarkan CP.
Ketiga, Pengelompokkan kelas rendah dan kelas tinggi dirubah menjadi tiga fase (A, B, C) di jenjang SD. Fase D di jenjang SLTP dan Fase E dan F di Jenjang SLTA.
Ke empat, Penilaiannya yang dulu rumit dengan ketuntasan per KD kini lebih disederhanakan dengan penilaian permapel. Penilaian rapor Cuma kognitif saja. Penilaian Afektif dan Psikomotor terintegrasi dalam P5 yang diajarkan di eskul. P5 merupakan out put dan out came sebuah sekolah.
Ke lima. Administrasi yang dituntut harus ada pada guru Cuma CP, TP, ATP dan Modul Ajar. Inipun sudah disediakan dalam PMM. Guru tinggal unduh dan adaptif saja.
Nah, berdasarkan pemahaman guru terhadap penyederhanaan diatas apakah Kurmer siap untuk dijalankan?
Jawabannya belum tentu.
Pembaca yang kritis.
Dalam proses pembelajaran guru dituntut untuk memahami pembelajaran berdifferensiasi agar berhasil dalam menerapkan kurikulum merdeka dengan baik.
Pembelajaran berdifferensiasi merupakan pembelajaran yang mengutamakan perbedaan siswa yang beragam di dalam kelas. Si A mungkin tipe pembelajar yang audio, suka dengan metode ceramah dan tanya jawab. Si B mungkin lebih senang belajar dengan melihat tayangan gambar atau video. Visualisasi dari materi sangat dibutuhkan bagi siswa tipe visual seperti ini. Si C akan lebih paham bila belajar itu sambil bermain dan bekerja. Yang terakhir ini disebut tipe kinestetik.
Berdasarkan diagnosa guru tentang differensiasi/perbedaan siwa tadi maka dapatlah disimpulkan bahwa kebutuhan siswa itu berbeda-beda. Dan guru yang baik harus memperhatikan kebutuhan siswa sebelum mengajar.
Andai kata guru sudah memahami perbedaan kebutuhan siswa tersebut, maka guru mulai mendisain pembelajaran dengan menggunakan tiga metode yang sesuai dengan gaya belajar siswa. Jadi masing-masing siswa sudah merasa belajar dan terpenuhi kebutuhannya dalam kelas. Tidak ada lagi yang meribut, mengganggu teman, mengantuk, ketinggalan materi karana tidak paham.
Nah, disinilah letak mengapa Kurmer harus menerapkan pembelajaran berdifferensiasi. Agar pembelajaran itu mencapai ketuntasan tujuan pembelajaran dengan cepat dan baik, maka guru harus melakukan asesmen diagnositik di awal. Dengan demikian Guru banyak terbantu. Tidak ada lagi remedi akibat nilai rendah. Waktu guru lebih simple tidak tersita banyak. Tenaga pun bisa hemat energi.
Melalui akhir tulisan ini penulis ingin berpesan pada semua guru, para orang tua yang juga berperan sebagai guru di rumah, para pemegang kebijakan yang punya kewenangan memperkuat tesa ini.
Marilah kita berpikir realistis. Untuk mencapai tujuan, pasti kita akan mengidentifikasi mana jalan yang akan kita tempuh seefektif dan seefisien mungkin. Mengidentifikasi halangan dan rintangan selama perjalanan. Dengan demikian kita akan hati-hati dan mempersiapkan segala sesuatu dengan baik.
Begitu juga dengan mengajar. Kita harus tau kebutuhan yang akan kita beri pengajaran. Kalau butuhnya seluas telapak tangan jangan diberi seluas tempayan. Percuma tidak akan tertampung dengan baik. Kalau yang akan kita ajari itu anak kecil, jangan dibawakan cara-cara mengajar anak remaja atau yang sudah besar. Pahami audiensinya. Sederhanakan pembicaraannya. Permudahlah. Jangan dipersulit. Toh nantinya kita juga yang akan pusing tujuh keliling. (***)
*Alfian Tarmizi adalah Ketua Komunitas Ceria Menulis Kabupaten Padang Pariaman
Sumber Bacaan:
Alfian Tarmizi, Kurikulum Merdeka Memberi Ruang Berinovasi dan Berimprovisasi Dalam Pembelajaran, https://www.fajarsumbar.com/2023
A.M, Sardiman, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Jakarta:Grafindi, 2011
Kompri, Motivasi Pembelajaran Perspektif Guru dan Siswa, Bandung:Rosdakarya, 2016