Type Here to Get Search Results !

Beragam Realitas yang Ada Dalam Nuansa Spritualitas Oleh: Jacob Ereste

Siapa pun boleh saja tidak percaya pada azab, suatu hukuman atau balasan siksaan dari Tuhan yang diberikan kepada siapin karena telah melakukan perbuatan dosa atau kejahatan yang dilakukan sehingga membuat orang lain susah, sengsara atau menderita akibat dari perbuatan tersebut. Istilah azab sendiri lebih sering dan akrab digunakan dalam konteks keagamaan, khususnya Islam.

Azab yang dapat mendera seseorang di dunia akibat dari perbuatan jahatnya itu bisa berupa bencana, penyakit, penderitaan atau sejenisnya yang bisa mengingatkan kepada yang bersangkutan untuk bertobat atau meminta maaf kepada mereka yang dibuatnya sengsara.

Adapun azab di akherat yang dipercaya oleh umat beragama adalah siksaan yang sangat pedih dan menakutkan. Bahkan, bagi umat Islam yang percaya -- ketika sedang menunaikan ibadah haji ke Mekkah -- biasanya balasan seperti azab itu dapat diterima dan membuat kesadaran untuk segera bertobat. Begitu juga sebaliknya -- ketika sedang menunaikan ibadah haji ke Mekkah -- semacam mukjizat Allah dapat diperoleh sehingga sulit diterima akal, namun nyata seperti orang yang sudah tidak kuat berjalan sehingga sejak berangkat haji dari kampung halaman harus menggunakan kursi roda -- sungguh tidak sedikit diantara sesampainya di tanah suci Mekkah justru bisa berjalan sangat lincah.

Jadi azab dan mukjizat adalah suatu peringatan bahwa kekuasaan Allah Yang Maha Kasih itu terbukti adanya dalam bentuk azab atau mukjizat yang berada di luar nalar manusia, namun nyata terjadi dan dapat dirasakan oleh orang yang bersangkutan. Karena bentuk azab atau mukjizat dari Tuhan bisa diwujudkan dalam berbagai bentuk, seperti gatal-gatal seluruh tubuh yang sulit disembuhkan. Atau sakit yang lebih berat dan parah sehingga menghabiskan segenap tenaga dan pikiran hingga harta benda hingga habis dan rantas tidak berdosa, namun penyakit yang diderita tak kunjung sembuh juga.

Mukjizat Tuhan pun begitu, acap lebih sederhana sifatnya sehingga menjadi semacam pengujian bagi yang menikmati mukjizat itu untuk bersyukur atau tidak. Karena itu, bagi mereka yang telah berusia lanjut, nikmat untuk memakan segala macam makanan dapat disyukuri juga. Sebab tidak sedikit bagi mereka yang masih segar-bugar dalam ukuran usia dan kekayaan yang berlimpah tidak bisa menikmati semua makanan yang tersajikan, hanya karena penyakit bawaan dirinya bisa kampuh dan menimbulkan persoalan yang gawat.

Misalnya hanya untuk makan nasi saja tidak sedikit jumlah orang yang harus membatasinya agar tidak menimbulkan persiapan baru bagi kesehatan tubuhnya. Demikian juga untuk beragam macam jenis makanan yang lain -- yang tak kalah sedap dan nikmat -- tapi terlarang bagi orang-orang tertentu untuk melahapnya.

Lain cerita bagi mereka yang kuwalat akibat dari melakukan perbuatan sembrono atau tidak hormat kepada orang tua atau tempat tertentu yang harus dihormati seperti terhadap makam para leluhur atau tokoh spiritual yang patut dijunjung tinggi, atau perlakuan culas terhadap aturan adat. Akibatnya yang bersangkutan jadi kuwalat. Hakekatnya, kejadian seperto kuwalat ini erat dengan hukum sebab akibat yang secara moral dan spiritual -- umumnya dalam tradisi masyarakat lokal -- masih sangat kuat. Karena itu ada kisah tentang Si Malin Kundang Anak Durhaka yang dikisahkan akibat dikutuk bisa menjadi batu dalam wajah yang menangis, dalam ekspresi sedih dan penyesalan yang tidak mungkin ditarik ulang, karena memang tidak lagi bisa dimaafkan.

Kisah-kisah yang terkesan mistis ini, boleh saja tidak dipercaya, namun realitasnya banyak terjadi diluar kemampuan nalar untuk memikirkan dengan kemampuan logika. Namun begitulah dimensi spiritualitas dapat memahaminya jauh dari jangkauan kemampuan kecerdasan intelektual yang pongah menggunakan otak. Sebab manusia yang bijak itu harus berpikir dengan mata hati.

Beragam dimensi dan sejumlah nilai-nilai spiritual sungguh cukup banyak dan dominan dalam kehidupan manusia sehari-hari. Mulai dari waktu tidur hingga berjaga beragam musyrik dan muatan nilai spiritual nyaris meliputi segenap gerak dan aktivitas tubuh -- dalam pengertian jasad -- yang tidak mungkin terpisah dari ruh, kecuali terus mati. 

Agaknya, dari pemahaman dan kesadaran serupa inilah, setiap kali bangun tidur -- seorang sahabat penulis -- selalu memanjatkan doa dan puji syukur, karena dalam usianya yang sudah merayap di bilangan angka 70 tahun, masih mendapat karunia berumur panjang, seperti tidak kekurangan sesuatu apapun. Hingga dia sendiri mengaku acap takjub atas kemurahan hati serta dalam cinta kasih dari Tuhan yang sungguh berlimpah, meski dalam bilangan harta dan benda dia sendiri termasuk golongan rakyat yang miskin. Tapi makna kekayaan bagi dirinya adalah, kesempatan yang terus menerus terbuka untuk berbuat baik kepada siapa pun, kendati mungkin bagi mereka yang menerimanya tidak terlalu berarti, atau bahkan tidak masuk dalam perhitungan jenis apapun.

Toh, kawan itu sendiri tetap merasa sangat berbahagia, meski dalam takaran umum ia pun acap dilihat dengan sebelah mata. Dan semua itu dia sadari, dan lega lila untuk menerima dan menikmatinya. Bukankah realitas dari kenikmatan itu sendiri sesungguhnya bagian dari suasana batin -- spiritual -- yang memang hanya bisa dimiliki oleh orang-orang tertentu saja.

Banten, 10 Juni 2025

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.