![]() |
“Dan orang-orang itu menundukkan kepala dan berdoa, Kepada Tuhan yang mereka ciptakan.” —Simon & Garfunkel, The Sound of Silence (1964)
Majalah Philosophy Now edisi Desember 2024/Januari 2025 menurunkan headline dengan tajuk: The Return to God?
“Kembali kepada Tuhan?” Anda bertanya, dengan jengkel atau penuh harap atau emosi halus lainnya, tergantung pada temperamen dan pendapat teologis Anda.
Demikian editor, Rick & Lewis — dipasang lukisan Raphael tahun 1515 tentang
Santo Paulus yang sedang berkhotbah di Athena — mengawali reportase mereka.
“Pembaca yang budiman, kami sedikit mengolok-olok Anda, karena yang dimaksud dengan judul tajuk rencana itu lebih dalam arti “Haruskah Kita Kembali ke topik tentang Tuhan?
Kami tidak akan mengundang Anda ke pertemuan kebangkitan rohani. Sebaliknya, mengundang Anda untuk membaca pilihan artikel, dari berbagai sudut pandang, yang membahas pertanyaan-pertanyaan kuno dan mendalam ini: Apakah Tuhan itu ada? Dan jika memang ada, apa sifat-Nya?”
Persoalan hakikat dan fungsi Tuhan dalam peradaban sudah menjadi topik dan tajuk abadi.
Karena Tuhan dalam filsafat dan agama telah menjadi bagian dari budaya manusia selama puluhan ribu tahun, jika tidak lebih, dan menjadi fokus utama perdebatan filosofis dalam semua budaya dunia sejak filsafat pertama kali dimulai.
Bahkan, beberapa pokok bahasan yang diangkat oleh para filsuf Yunani kuno masih bergema hingga saat ini.
Di antaranya, masalah kejahatan, dilema Euthyphro dalam dialog Plato dengan nama yang sama, dan pengamatan oleh Xenophanes bahwa masyarakat yang berbeda cenderung menyembah dewa-dewa yang menyerupai diri mereka sendiri.
Segera setelah dimulainya Kekristenan, Santo Paulus berbicara kepada para filsuf Yunani di Areopagus di Athena.
Pidatonya yang cerdas dan filosofis tampaknya gagal membujuk sebagian besar pendengarnya untuk memeluk agama baru tersebut, Kristen.
Mungkin dengan sedikit ejekan – tapi Paulus hanya tertawa — selama empat abad, filsafat di Barat telah terkonversi sangat Kristen sembari muskil menafikan atau mereduksi mitologi Tuhan pagan melalui dewa-dewi (Hamilton, 1939;1942).
Saat itu, para pemikir terbesar dari Pelagius hingga Santo Augustine berselisih sengit mengenai pertanyaan tentang kehendak bebas dan keselamatan dengan menunjukkan bahwa filsafat telah berpusat pada perselisihan dalam Kekristenan.
Demikianlah hal-hal tersebut berlanjut selama berabad-abad — kecuali kedatangan Islam pada abad-7 dan filsafat Yahudi juga berkembang — dengan perhatian mereka sendiri yang dihubungkan oleh warisan agama mereka yang sama dan kepercayaan bersama pada monoteisme.
Memasuki abad Pencerahan, keberadaan dan sifat Tuhan mulai jadi perhatian utama para filsuf seperti Descartes, Spinoza, dan Leibniz.
Baru sejak abad ke-18 beberapa filsuf menjadi semakin terbuka tentang skeptisisme agama mereka seperti David Hume dan Friedrich Nietzsche hingga abad kedua puluh, telah memerosoti filsafat sebagian besar bersifat sekuler.
Persepektif Tuhan “menyejarah” dan korporeal — sejak filsafat Yunani-Helenistik 1000 tahun SM menghapus itu dari kabut mitologi ke logosentrisme — dua pemikiran tentang itu bisa dikenali ulang lewat A History of God(1993), Karen Armstrong(80) dan God: A Human History(2017), Reza Aslan(52).
Atas perbedaan gramatik Ketuhanan bersejarah yang tampaknya sepele seperti isu perdebatan sengit dalam sains dan agama, kehendak sejarah sering kali cepat berubah!
Dalam hal ini, tajuk Kembalinya Tuhan(The Return to God) adalah sesuatu yang akan terus berkelindan menghadapi penjelmaan tuhan-tuhan, T-kecil, seturut algoritme AI.
Diawali pada akhir abad ke-19. Bocah nakal filsafat di usia 24, Friedrich Nietzsche telah mengejutkan dunia dengan pernyataannya yang terkenal dalam Thus Spoke Zarathustra: “Tuhan telah mati”(Gott ist tot).
Tentu, yang ia maksud tampaknya bukanlah kematian harfiah dari seorang dewa. Tapi, kekuatan iman menguap dari masyarakat yang nyaris dalam 200 tahun sebelumnya — dengan revolusi ilmiah dan industri pesat dan pekat — meninggalkan kepercayaan kuno dan tradisional orang-orang sezamannya.
Tanpa kompas dan jangkar dengan tanpa tujuan yang ditetapkan secara ilahi atau dasar moralitas yang ditetapkan secara ilahi via kanon-kanon literasi suci, umat manusia produk turunan Yunani-Helenis hingga abad pertengahan begitu sigap melupakan selupa-lupanya, Tuhan Alpa-Omega Omnipotent.
Itu adalah klaim radikal pada tahun 1880-an, tetapi dalam beberapa dekade kebenarannya tampak jelas bagi banyak orang.
Tetapi kini bagaimana? Saat ini tampaknya lebih sulit untuk membantah ketidakrelevanan agama, terutama dengan melesatnya prestasi sains yang tak terbantahkan oleh doktrin-doktrin tradisional kuno agama.
Bagi miliaran penduduk dunia kecil ini, 83% menurut Feustes(2018), memandang agama masih memiliki kekuatan yang sangat besar. Sangat menentukan pilihan moral mereka. Belum lagi, pasokan identitas budaya dan politik dewasa ini.
Oleh karena itu, Return to God(Kembalinya Tuhan), setidaknya bagi tajuk Philosophy Now, masih akan jadi topik penting perdebatan filosofis dan suatu keharusan yang tak terelakkan untuk memahami masa-masa yang penuh gejolak ini.
Misal, masalah kejahatan yang telah menjelma sepanjang masa, Goethe menyebutnya, “Wir tasten ein ewiges Problem”, sebagai protes: mengapa Tuhan yang penuh kasih yang juga mahakuasa dan mahatahu mengizinkan adanya begitu banyak penderitaan yang mengerikan di dunia?
Apa yang dapat kita simpulkan tentang sifat Tuhan dari hal itu, jika memang gagasan “Return to God” masih terus didedahkan dalam trikotomi Tuhan konseptual-empirik-diimani sebagai evolusi rentang kefanaan dan kebakaan?
Akhirnya, gagasan "Return to God" — yang ditawarkan tajuk majalah Philosophy Now — dapat dipahami sebagai proses spiritual dan mistik yang bertujuan untuk mengembalikan manusia kepada Tuhan. Proses ini dapat dilakukan melalui berbagai cara, seperti pengetahuan, cinta, dan refleksi.
Dengan merujuk pada tiga pustaka klasik dan satu kontemporer, dapat disimpulkan:
Menurut Plato, proses ini — The Return to God(?) —dapat dilakukan melalui pengetahuan tentang Tuhan(The Republic, 380 SM, terjemahan Basabasi, 2022).
Berikut, Moses Maimonides, pun menekankan pentingnya pengetahuan tentang Tuhan dalam proses kembali kepada Tuhan(The Guide for the Perplexed, 1190, terjemahan Project Gutenberg,1910).
Dalam tradisi Sufi, proses ini dapat dilakukan melalui cinta dan spiritualitas(Farid ud-Din Attar, The Conference of the Birds, 1177, terjemahan Kakatua,2022).
Sementara, di era modern, gagasan ini juga dapat dipahami dalam konteks teknologi dan artificial intelligence(Nick Bostrom, Superintelligence, 2014).