![]() |
Seharusnya, usai wukuf di Padang Arafah adalah saat yang penuh kelegaan. Sebab di situlah rukun puncak ibadah haji ditunaikan: berdiri di hadapan Allah dalam lautan manusia, memanjatkan doa-doa dari lubuk hati yang terdalam. Usai wukuf, para jamaah mestinya melangkah ringan menuju Muzdalifah, lalu bermalam di Mina, melontar jumrah, dan menuntaskan haji mereka secara fiqih.
Tapi tidak untuk musim haji 2025 ini.
Bagi ribuan jamaah, derita justru baru dimulai setelah Arafah.
Saya sendiri mengalaminya. Di Arafah, tenda sudah ber-AC, kamar mandi bersih, antrian tak sepanjang tahun-tahun silam. Angin kemajuan seakan berhembus di padang itu. Tapi begitu malam tiba, dan rombongan hendak bergerak menuju Muzdalifah, wajah ibadah yang ramah tadi tiba-tiba berubah menjadi rimba logistik yang gelap.
Bus-bus yang seharusnya datang tepat waktu bagai kafilah terorganisir, ternyata bagai unta lepas kendali. Ribuan jamaah harus sabar menunggu—bukan satu atau dua jam, melainkan empat jam lebih. Tubuh letih, mata mengantuk, kaki pegal, tapi antrian belum juga bergeser.
Masalah makin pelik. Ketika akhirnya bus datang, ternyata sebagian tak bisa menurunkan penumpang di Muzdalifah karena lokasi sudah penuh sesak. Bus berputar-putar bagai perahu kehilangan nahkoda.
Ada ironi besar di balik kemudi bus-bus ini. Banyak supir bukan orang Saudi, melainkan imigran dari Bangladesh. Mereka tak paham medan, malam makin pekat, bahasa pun jadi penghalang. Tanya supir? Ia diam membisu. Tanya petugas? Bahasa tak bersambut. Jamaah seperti ditarik ke pusaran malam yang tak berujung.
Akibatnya? Banyak bus yang tadinya hendak ke Muzdalifah akhirnya langsung diarahkan ke Mina setelah negosiasi alot.
Namun kemacetan parah sudah menunggu. Jalan-jalan ke Mina bagaikan urat-urat yang tersumbat, tak ada aliran lancar. Bus macet di mana-mana, jamaah yang sempat turun di Muzdalifah pun terjebak: ingin lanjut ke Mina tapi bus tak kunjung datang.
Sebagian jamaah akhirnya memutuskan berjalan kaki 5 hingga 7 kilometer. Di tengah padang batu, malam gelap, udara panas. Mereka berjalan berkelompok kecil, tercerai berai di berbagai sudut jalan. Hingga tulisan ini dibuat, banyak yang belum sampai, susah dihubungi, terputus dari rombongan.
Tak sedikit pula yang jadi korban pemerasan. Seorang jamaah di hotel kami, lantaran kelelahan, akhirnya naik taksi untuk menempuh jarak tak sampai dua kilometer. Supir memaksa ia membayar 800 riyal—sekitar empat juta rupiah! Inikah cara negeri ini menyambut tamu Allah? Tamu yang membawa devisa miliaran dolar ke kas mereka?
Tahun demi tahun, Saudi sibuk menggembar-gemborkan program "Vision 2030", mimpi besar Putra Mahkota Muhammad bin Salman untuk memodernisasi negeri. Megaproyek, bangunan futuristik, dan pariwisata canggih dicanangkan. Tapi di tengah semua itu, pelayanan haji—yang seharusnya paling suci, paling mulia—terlunta-lunta di sudut perhatian.
Pemerintah Saudi tampaknya enggan memakai tenaga kerja lokal untuk mengurus tamu Allah, untuk pekerjaan seperti supir. Di balik kilau gedung-gedung Riyadh yang menjulang, urusan lapangan justru diserahkan pada pekerja migran murah yang tak paham medan, tanpa pelatihan memadai.
Inilah wajah paradoks: di negeri yang makmur dari minyak dan haji, tamu Allah justru diperlakukan bagai kafilah gelandangan, terlunta di tengah malam Mina.
Sebagai orang yang mengalaminya langsung, saya tak bisa menahan keprihatinan.
Bukankah Nabi Muhammad SAW bersabda:
"Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan tamunya." (HR. Bukhari dan Muslim)
Atau petuah lembut dari Imam Syafi’i:
"Apabila tamu datang ke negeri kami, maka ia adalah amanah yang harus kami muliakan, sebab Allah yang mengirimnya."
Bukankah jutaan jamaah yang datang tiap tahun adalah sumber keberkahan dan rezeki bagi negeri ini?
Saudi mestinya bercermin. Panggung dunia memang penting, tapi jangan lupa bahwa pelayanan haji-lah yang menjadi ruh dari keistimewaan tanah suci. Jika logistik haji terus seperti ini, maka apa arti megahnya "Vision 2030" bila di sudut jalan Mina, para tamu Allah harus berjalan kaki berkilometer, kehausan, terjebak gelap, bahkan diperas oleh sopir rakus?
Di padang Arafah kita sudah berdoa:
"Labbaik Allahumma Labbaik."
Tapi di jalanan menuju Mina, yang terasa justru:
"Labbaik... tapi entah siapa yang menjawab."
Mekkah 6 Juni 2025
Elza Peldi Taher