Type Here to Get Search Results !

Balita Pencari Nafkah: Antara Kemiskinan dan Kesiapan Menjadi Orang Tua Oleh: Ririe Aiko

Di sudut sebuah kedai jajanan kaki lima, saya menyaksikan pemandangan yang menusuk relung hati. Seorang anak, kira-kira berusia 3 atau 4 tahun, berjalan dari meja ke meja, menggenggam sebuah kotak kecil dengan stiker bertuliskan "Mohon bantuannya." Di belakangnya, duduk seorang ibu yang menatap pasrah, sesekali memantau anaknya sambil sesekali menunduk, entah karena lelah, malu, atau sudah kebal dengan pandangan orang-orang di sekitarnya.

Saya pun penasaran dan bertanya pada ibu itu, bukan karena ingin menghakimi, tapi karena hati saya menjerit menyaksikan balita yang seharusnya masih bermain, sudah mengenal arti "mengais rupiah." Namun si ibu hanya menjawab lirih, “Kalau ada jalan lain yang lebih mudah, saya pun tidak ingin begini.”

Kalimat itu menggantung di udara. Ya, tentu saja, ini tentang kemiskinan. Tapi apakah cukup hanya berhenti pada alasan itu?

Fenomena ini bukanlah hal baru di kota-kota besar. Kita telah terbiasa menyaksikan anak-anak kecil mengamen, mengemis, bahkan menjajakan barang di jalanan. Tapi ketika yang melakukannya adalah anak balita, kita dihadapkan pada dilema moral yang jauh lebih kompleks. Ini bukan sekadar soal kemiskinan, ini juga soal kesiapan menjadi orang tua.

Menjadi orang tua bukan hanya soal biologis, tapi juga soal tanggung jawab, mental, dan etika. Kita seringkali mendengar pepatah, "Setiap anak membawa rezekinya masing-masing." Namun, ketika keyakinan ini digunakan sebagai justifikasi untuk menggantungkan kehidupan keluarga pada pundak mungil seorang anak, maka pepatah itu kehilangan maknanya yang luhur.

Anak kecil bukanlah mesin pencetak uang. Mereka bukan alat pemuas lapar orang dewasa yang kehilangan arah atau putus asa. Memaksa anak mengamen atau mengemis bukan hanya soal pelanggaran hak anak, tapi juga bentuk eksploitasi yang dibungkus dengan dalih “keadaan memaksa.” Padahal, yang terpaksa sesungguhnya adalah anak itu—terpaksa kehilangan masa kecil, terpaksa menjadi dewasa sebelum waktunya, dan terpaksa memahami arti lapar yang bukan menjadi tanggung jawabnya.

Kemiskinan memang kejam, tapi keputusan untuk melahirkan anak di tengah keterbatasan ekonomi seharusnya bukan hanya bertumpu pada keyakinan spiritual semata, tetapi juga harus disertai kesiapan logis dan emosional. Jika sejak awal kita tahu bahwa kita belum mampu, mengapa kita tega menempatkan anak dalam lingkaran penderitaan yang kita sendiri tidak sanggup menanggungnya?

Negara punya tanggung jawab. Masyarakat juga punya peran. Tapi yang pertama dan utama adalah kesadaran setiap individu yang memilih menjadi orang tua. Kesadaran bahwa anak bukan pelengkap status sosial, bukan alasan untuk bertahan dalam pernikahan, dan bukan pula sumber penghasilan alternatif.

Maka dari itu, saat kita menyaksikan anak-anak jalanan yang menggenggam kaleng dan menyanyikan lagu-lagu yang bahkan belum mereka pahami maknanya, kita seharusnya bertanya bukan hanya “di mana negara?” tapi juga “di mana hati para orang tua?”

Karena sejatinya, seorang anak adalah anugerah, bukan alat tukar untuk mencari rupiah. Dan ketika kita menjadikan mereka sebagai tameng hidup, kita telah gagal memenuhi peran sebagai orang tua—sebagai pelindung, sebagai pemberi harapan, bukan pencabut masa depan.

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.