Type Here to Get Search Results !

DPRD Kunker Saat Bencana Dibully? Etika Representasi, Regulasi dan Persepsi Publik)

Oleh: Duski Samad

Pembelajar Islam dan Budaya Minangkabau UIN Imam Bonjol

Isu mengenai perjalanan dinas atau kunjungan kerja (kunker) anggota DPRD kembali mengemuka ketika sejumlah legislator tetap melakukan agenda luar daerah di saat wilayahnya dilanda bencana besar. Fenomena ini memicu reaksi keras di media sosial, yang berkembang menjadi bentuk public shaming atau bullying digital. Meskipun kunker tersebut legal secara regulasi dan telah dijadwalkan sebelumnya, kritik publik justru semakin kuat.

Fenomena ini menarik untuk dikaji karena mempertemukan tiga domain penting: (1) etika representasi politik, (2) kerangka regulasi perjalanan dinas anggota DPRD, dan (3) konstruksi persepsi publik dalam konteks bencana. Artikel ini menganalisis ketiga aspek tersebut dalam perspektif etika politik, regulasi pemerintahan, dan antropologi sosial Minangkabau.

Kunker dan Regulasi

Secara administratif, perjalanan dinas DPRD diatur oleh beberapa perangkat perundang-undangan, terutama:

Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD Permendagri No. 177 Tahun 2017 tentang Pengelolaan Perjalanan Dinas.

UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya fungsi DPRD: Legislasi. Budgeting dan Pengawasan. Dalam kerangka tersebut, kunker merupakan mekanisme memperoleh data, melakukan konsultasi kebijakan, serta memperkuat fungsi pengawasan. Secara regulatif, tidak ada ketentuan eksplisit yang melarang kunker pada masa bencana.

Namun regulasi tersebut tidak berdiri dalam ruang etika yang vakum. Bencana alam menempatkan DPRD dalam posisi public moral agent yang harus mempertimbangkan sensitivitas dan ekspektasi warga. Dengan demikian, legalitas tidak otomatis menghasilkan legitimasi moral.

Etika Representasi dan Sensitivitas Publik

Dalam teori representasi politik, seorang wakil memiliki dua dimensi peran: Role responsibility – tanggung jawab formal mengikuti peraturan dan prosedur. Moral responsibility – tanggung jawab nonformal untuk peka terhadap kondisi konstituen.

Ketika bencana melanda dan warga kehilangan rumah, keluarga, dan sumber kehidupan, standar moral publik meningkat drastis. Pada situasi demikian, kehadiran wakil rakyat di lokasi terdampak bukan sekadar simbolik, tetapi merupakan:

ekspresi empati; pemenuhan fungsi perlindungan warga (protection function); syarat legitimasi representatif.

Ketiadaan wakil rakyat dalam situasi kritis melemahkan persepsi representasi karena publik menilai: “Ketika ketua (rakyat) menderita, wakil justru pergi.” dalam perspektif etika Minangkabau, pepatah:

“Laki-laki sa raso, perempuan sa rasan”

mengajarkan bahwa kepemimpinan berbasis rasa dan empati, bukan sekadar prosedur.

Sementara pepatah lain: “Lamak di awak, katuju dek urang” menegaskan bahwa tindakan yang menguntungkan diri sendiri belum tentu baik dalam pandangan masyarakat.

Kedua pepatah ini menjelaskan mengapa publik menolak justifikasi administratif: rasionalitas prosedural kalah oleh rasionalitas moral.

Demokrasi Prosedural dan Kegagalan Etika Publik

Demokrasi Indonesia saat ini ditandai oleh proseduralisme birokratis, di mana tindakan dianggap benar selama sesuai aturan. Namun demokrasi tidak hanya membutuhkan procedural legitimacy, tetapi juga ethical legitimacy.

Ketika bencana terjadi, publik tidak menilai apakah perjalanan dinas sah, tetapi menilai apakah wakil rakyat menunjukkan:

solidaritas, kehadiran moral, kepedulian,

dan tanggung jawab emosional.

Digital society meningkatkan standar ini melalui mekanisme collective scrutiny. Setiap tindakan pejabat dipantau dan direkam, sehingga absennya wakil rakyat dalam krisis dianggap sebagai kekosongan moral, bukan kekosongan administratif.

Kunker saat bencana dipersepsikan sebagai: Pemutusan empati. Prioritas yang keliru. Kegagalan membaca suasana batin publik. Inilah landasan utama mengapa bullying muncul sebagai ekspresi frustrasi moral masyarakat.

Persepsi Publik dan Medsos

Persepsi publik dibentuk melalui: konteks emosional (trauma, kehilangan, kemarahan), narasi kolektif (public narrative), dinamika media sosial yang mempercepat generalisasi, ketimpangan visual antara penderitaan rakyat dan kenyamanan pejabat.

Di mata publik, gambar atau video wakil rakyat berangkat kunker di saat warga mengungsi membentuk kontras moral:

warga basah kuyup — pejabat berdasi;

rakyat di posko — wakil rakyat di lounge bandara; ketua (pemilik mandat) menderita — wakil tidak hadir. Kontras ini menjadi pemicu moral outrage.

Kepemimpinan Minangkabau

Kepemimpinan Minangkabau mensyaratkan kehadiran fisik dan batin. Filosofinya: “Tagangnyo kambang, tangga-tangga indak patah” “Baok ka ateh indak berlubang, baok ka bawah indak beminyak”

Artinya, pemimpin menjaga keseimbangan kepentingan diri, kaum, dan nagari.

Dalam kondisi bencana, masyarakat Minangkabau menuntut pemimpin:Baraduik di awak, basamo di urang (merasakan yang dirasakan rakyat);

Hadir di lapangan untuk menegaskan legitimasi moral; Bertindak cepat, bukan menunggu prosedur.

Kunker di tengah situasi demikian dianggap sebagai “memutus ikatan batin” antara wakil dan masyarakat adat-politiknya.

Ketidaksinkronan Regulasi–Etika

Analisis kebijakan publik menunjukkan adanya policy gap antara regulasi perjalanan dinas dan etika penanganan bencana. 

Beberapa temuan: Regulasi tidak mengatur fleksibilitas etis pada masa krisis. Agenda kunker sering disusun jauh hari, tetapi tidak memiliki emergency override mechanism. Kode Etik DPRD (berdasarkan PP 12/2018) sebenarnya menuntut anggota DPRD: menjaga martabat, mengutamakan kepentingan rakyat, bersikap sensitif terhadap keadaan darurat.

Namun aturan ini sering terabaikan dalam praktik. Akhirnya publik melihat kunker sebagai tindakan legal tetapi tidak etis, dan karenanya menimbulkan resistensi moral.

Kesimpulan

Fenomena bullying terhadap DPRD yang melakukan kunker saat bencana bukan semata persoalan komunikasi publik atau kesalahan teknis penjadwalan. Ia merupakan indikator dari: Keretakan etika representasi Kegagalan membaca sensitivitas sosial Pertentangan antara regulasi dan moral publik Kekecewaan struktural terhadap kualitas kepemimpinan politik.

Walaupun kunker itu legal menurut aturan, masyarakat menilai dari aspek kepedulian, kehadiran, dan empati, bukan dari administratif dan prosedur.

Dalam konteks Minangkabau, kepemimpinan tanpa empati dianggap sebagai kepemimpinan yang “tidak marasai”, sehingga hilang nilai-nilai raso pareso yang menjadi dasar kearifan lokal.

Jika demokrasi ingin sehat, wakil rakyat perlu menyadari bahwa legitimasi tertinggi bukan berasal dari regulasi, tetapi dari kehadiran moral di tengah penderitaan rakyat. 04122025.

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.