Type Here to Get Search Results !

Pola Asuh Minang dan Jawa untuk Karakter Oleh: Duski Samad

Pola asuh adalah hulu dari pembentukan karakter anak. Fenomena kenakalan remaja, tawuran pelajar, balap liar, penyalahgunaan narkoba dan praktik menyimpang lainnya dapat diduga berkaitan erat dengan pola asuh di rumah tangga. 

Pada masyarakat majemuk terjadi interaksi antar satu etnis dengan yang lain. Amin (2025) menemukan kekhasan pola asuh suku Minang dan suku Jawa. 

Suku Minang pola asuhnya bersifat terintegrasi, dimana orang tua sebagai keluarga inti, bersama-sama dengan mamak, mande dan bako (keluarga ayah), obyektif, kemandirian yang menentukan arah kemana anaknya dibentuk karakter. Sedangkan suku Jawa lebih menempatkan keteladanan, etos kerja, dan kepatuhan.

Suku Minang pola asuh itu bersifat obyektif dan tegas artinya menjelaskan pada anak baik buruknya karakter. 

Di antara pola asuh suku Miang bersifat tafwid artinya menyerahkan pada guru, ba guru. 

Orang tua Minang pada daerah majemuk dan perkotaan ada pula yang memberi pemahaman pada anak. 

Keunggulan pola asuh orang Minang adalah memandirikan, sebagai warisan dari tradisi merantau. 

Suku Jawa lebih dominan pola asuhnya

Keteladanan, kemanusiaan dan budi pekerti, penghargaan tulus, etos kerja tinggi dan fanatik dalam bergama, harus diakui sinkritis masih cukup kuat. 

DISKURSUS POLA ASUH

Ekselensi dan distingsi pola asuh anak antara etnis Minang dan etnis Jawa mencerminkan nilai budaya, sistem sosial, dan filosofi hidup masing-masing masyarakat. Dasar Filosofi dan Struktur Sosial.

Minangkabau (Minang): Filosofi: Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah — nilai agama (Islam) menjadi landasan utama.

Struktur sosial: Matrilineal, garis keturunan ibu, namun otoritas asuh tetap dominan pada mamak (paman dari ibu) dan ayah dalam ranah agama.

Distingsi, anak dibesarkan dalam komunitas yang kolektif, dengan tanggung jawab melekat pada keluarga besar (kaum).

Sedangkan suku Jawa: Filosofi: Hamemayu hayuning bawana — menjaga harmoni dan ketertiban. Struktur sosial: Patrilineal dan hirarkis – peran ayah dominan, ibu sebagai pengasuh utama secara emosional dan domestik.

Distingsi: Anak diarahkan untuk tunduk, sopan, dan menjaga “rasa” dalam hubungan sosial.

Gaya Komunikasi dan Pengasuhan

Minang: Komunikatif, langsung, terbuka dalam menegur atau memberi nasihat. Pendidikan verbal sering lewat pantun, pepatah, dan petuah adat. Ekselensi: Membentuk pribadi yang vokal, kritis, dan religius.

Jawa: Halus, tidak langsung (indirektif), menjaga perasaan.

Pendidikan lebih banyak melalui keteladanan dan kode sosial. Ekselensi: Membentuk anak yang sopan, sabar, dan mampu menjaga harmoni sosial.

Nilai Kemandirian dan Mobilitas

Minang: Menanamkan merantau sebagai bentuk kedewasaan dan pencarian jati diri. Anak laki-laki khususnya didorong untuk mandiri secara ekonomi dan intelektual sejak muda. Distingsi: Pola asuh mendorong anak berani, tangguh, dan berdaya saing tinggi.

Jawa: Kemandirian diajarkan melalui pengendalian diri dan tanggung jawab moral di dalam keluarga. Mobilitas tidak menjadi keharusan budaya seperti dalam Minang. Distingsi: Pola asuh lebih protektif dan menekankan pada stabilitas.

Peran Agama dan Tradisi Minang: 

Nilai keislaman sangat kuat; pendidikan agama menjadi inti dari pengasuhan. Tradisi adat sangat berkelindan dengan nilai syariah.

Jawa: Pengaruh agama Islam ada, tetapi bercampur dengan nilai Kejawen, Hindu-Buddha, dan sinkretisme. Tradisi lebih menekankan tata karma dan harmoni spiritual.

prinsip-prinsip mendidik anak yang bersumber dari wahyu ilahi. 

POLA ASUH ISLAM

Beberapa pola asuh dalam Islam berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an:

1. Tauhid Sebagai Dasar Pendidikan.

Ayat: "Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, ketika ia memberi pelajaran kepadanya: 'Wahai anakku! Janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.'"(QS. Luqman: 13). Prinsip: Tanamkan tauhid sejak dini agar anak memiliki fondasi keimanan yang kokoh.

2. Pendidikan Akhlak

Ayat: "Dan rendah kanlah dirimu terhadap mereka berdua (orang tua) dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah: 'Wahai Tuhanku, sayangilah mereka keduanya sebagaimana mereka telah mendidikku pada waktu kecil.'"

(QS. Al-Isra’: 24)

Prinsip: Ajarkan adab dan akhlak mulia seperti hormat kepada orang tua, jujur, sabar, dan rendah hati.

3. Pengawasan dan Teladan.Ayat: "Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka..."

(QS. At-Tahrim: 6)

Prinsip: Orang tua bertanggung jawab menjaga dan mengarahkan anak melalui keteladanan, bimbingan, dan koreksi yang tepat.

4. Pendidikan Melalui Dialog dan Nasihat.

Ayat: "Wahai anakku! Dirikanlah shalat, dan suruhlah (manusia) berbuat yang baik, dan cegahlah dari perbuatan mungkar, dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu..."

(QS. Luqman: 17)

Prinsip: Mendidik dengan pendekatan dialog, bukan kekerasan; memberi nasihat secara bijak dan penuh kasih sayang.

5. Memberikan Pendidikan Ilmu dan Hikmah.Ayat: "...dan Allah mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya..."

(QS. Al-Baqarah: 31)

Prinsip: Memberi anak akses terhadap ilmu, membiasakan berpikir kritis dan hikmah sebagai bekal hidup dunia dan akhirat.

6. Menanamkan Rasa Tanggung Jawab.Ayat: "Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya."

(QS. Az-Zalzalah: 7-8). Prinsip: Ajarkan anak bahwa setiap perbuatan memiliki konsekuensi, baik di dunia maupun di akhirat.

POLA ASUH MENURUT AHLI PENDIDIKAN 

Pola asuh menurut beberapa pakar pendidikan yang umum dijadikan rujukan dalam kajian psikologi dan pedagogi:

1. Diana Baumrind (1966): Tiga Pola Asuh Klasik.

Baumrind mengklasifikasikan pola asuh ke dalam tiga kategori utama:

Authoritative (Otoritatif):

Hangat, responsif, tapi tetap memberi batasan tegas. Anak tumbuh dengan percaya diri, mandiri, dan bertanggung jawab. Contoh: Orang tua memberi ruang diskusi, tapi tetap memiliki aturan.

Authoritarian (Otoriter):

Kaku, menuntut, tidak memberi ruang untuk dialog. Anak bisa jadi penurut tapi cenderung tidak percaya diri. Contoh: “Pokoknya kamu harus nurut, tidak ada alasan!”

Permissive (Memanjakan):

Terlalu membebaskan, minim aturan. Anak cenderung manja, kurang disiplin. Contoh: Semua keinginan anak dituruti tanpa batas. Di kemudian hari ditambahkan tipe keempat:

Neglectful/Uninvolved (Abai): Tidak terlibat aktif dalam pengasuhan. Anak kurang kasih sayang dan perhatian, bisa merasa ditolak.

2. Hurlock (1990): Fokus pada Perkembangan Anak. Hurlock menekankan pentingnya pola asuh yang konsisten, suportif, dan menghargai keunikan anak.

Ia percaya bahwa masa kanak-kanak adalah fondasi pembentukan kepribadian. Kunci: Orang tua harus menjadi model dan menciptakan lingkungan yang sehat secara emosional.

3. John Bowlby dan Mary Ainsworth: Teori Kelekatan (Attachment Theory). Anak membutuhkan ikatan emosional yang aman dengan pengasuh utama.

Pola asuh yang penuh kasih dan responsif menciptakan secure attachment (kelekatan aman), penting bagi perkembangan sosial dan emosional.

4.Montessori (Maria Montessori).

Anak belajar melalui pengalaman dan lingkungan yang dirancang sesuai kebutuhan mereka.

Pola asuh harus memberi kebebasan dengan tanggung jawab, bukan otoriter atau memanjakan. Kunci: Fasilitasi kemandirian anak, bukan mengontrol secara ketat.

5. Ki Hajar Dewantara (Indonesia).

“Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.” Pola asuh dalam konteks pendidikan adalah memberi keteladanan, motivasi, dan dorongan, bukan sekadar perintah atau hukuman. Fokus pada pembentukan karakter dan budi pekerti. 

Kesimpulan

• Hakikat pola asuh dalam pendidikan Islam adalah proses membentuk karakter anak berdasarkan prinsip tauhid, akhlak mulia, keteladanan, tanggung jawab, dan pengawasan spiritual. Pola asuh merupakan instrumen pembinaan kepribadian yang berpijak pada nilai wahyu dan sunnah.

• Perbedaan pola asuh etnis Minang dan Jawa mencerminkan distingsi budaya dan filosofi hidup.

• Minang: Pola asuh kolektif, religius, komunikatif, dan tegas. Nilai “merantau” menanamkan kemandirian dan daya saing.

• Jawa: Pola asuh hierarkis, penuh keteladanan, halus dalam komunikasi, mengedepankan “rasa”, dan stabilitas moral.

• Integrasi: Keduanya bertemu pada nilai adab, budi pekerti, dan peran agama, meskipun ekspresinya berbeda.

• Pergeseran pola asuh terjadi karena modernisasi, urbanisasi, dan marginalisasi nilai lokal. Kini banyak keluarga menyerahkan pembentukan karakter kepada sekolah dan lembaga formal, sehingga terjadi krisis figur dan kontrol nilai di lingkungan rumah.

• Temuan baru (novelty) dari disertasi ini adalah:

• Eksistensi pola asuh berbasis adat dan agama masih kuat secara normatif, namun mengalami penurunan praksis.

• Pola asuh etnis tidak hanya membentuk perilaku mikro anak, tetapi juga membentuk ethos masyarakat.

• Integrasi nilai lokal dan nilai Islam dalam pola asuh harus dilestarikan sebagai basis pendidikan karakter.

• Rekomendasi kebijakan dan praksis:

• Pemerintah perlu mengarusutamakan nilai-nilai kearifan lokal dalam peraturan dan kurikulum pendidikan karakter, sebagaimana amanat UU No. 17 Tahun 2017 tentang Kebudayaan.

• Keluarga, sekolah, dan masyarakat harus membangun sinergi berbasis kultural untuk mengembalikan posisi strategis keluarga dalam pola asuh.

• Perlu revitalisasi peran guru dan tokoh adat sebagai bagian dari ekosistem pengasuhan berbasis nilai religius dan kultural. DS.uinbkt. 22052025.

*Penguji Eksternal Ujian tertutup Disertasi M. Amin, UIN Syekh M. Djamil Djambek Bukittinggi, Kamis, 22 Mei 2025

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.