![]() |
Tradisi Basapa—ziarah massal ke makam Syekh Burhanuddin Ulakan setiap hari Rabu bulan Safar—merupakan warisan religius-kultural masyarakat Minangkabau yang telah bertahan selama berabad-abad.
Meskipun mendapat kritik dari sebagian kalangan yang memandang nya sebagai bentuk bid‘ah, praktik ini tetap hidup dan berkembang dalam kerangka nilai-nilai tarekat dan keulamaan lokal.
Artikel ini bertujuan untuk mengkaji Basapa dari tiga perspektif: Islam normatif, kajian ilmiah dan historis, serta sosiologi agama. Hasil kajian menunjukkan bahwa Basapa bukanlah ibadah mahdhah, tetapi tradisi sosial-keagamaan yang memiliki fungsi spiritual, edukatif, dan kohesi sosial. Oleh karena itu, pendekatan moderat diperlukan untuk merawat makna dan substansi tradisi ini dalam kerangka ajaran Islam dan budaya lokal.
Ziarah ke makam para wali dan ulama telah menjadi bagian dari kehidupan keagamaan umat Islam di berbagai wilayah dunia, termasuk di Minangkabau. Salah satu praktik paling menonjol adalah Basapa, yaitu kunjungan massal ke makam Syekh Burhanuddin Ulakan, pelopor tarekat Syattariyah di Sumatera Barat. Tradisi ini dilaksanakan setiap Rabu bulan Safar, dan diikuti oleh ribuan jamaah dari berbagai daerah, baik lokal maupun perantauan.
Meskipun mengakar kuat secara kultural, Basapa tidak lepas dari kritik teologis, terutama dari kelompok yang memandangnya sebagai ritual bid‘ah. Oleh karena itu, artikel ini bertujuan untuk memberikan tinjauan akademik dan seimbang terhadap praktik Basapa dengan menggabungkan pendekatan Islam normatif, kajian ilmiah-historis, dan analisis sosiologis.
Tulisan ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan metode studi pustaka dan analisis dokumen. Data primer dan sekunder diperoleh dari: Kitab-kitab fiqh klasik (Syafi‘iyah)
Literatur tasawuf dan tarekat.
Studi historis tentang Islam di Minangkabau
Teori-teori sosiologi agama (Durkheim, Geertz). Observasi terhadap pelaksanaan Basapa di Ulakan.
ZIARAH KUBUR
Ziarah kubur adalah amalan yang dianjurkan dalam Islam sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Dulu aku melarang kalian ziarah kubur. Sekarang ziarahlah, karena ia mengingatkan kalian kepada kematian.” (HR. Muslim)
Ulama mazhab Syafi’i membolehkan ziarah kubur bahkan menganjurkannya, terutama ke makam orang saleh, ulama, dan syuhada. Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menjelaskan bahwa ziarah juga bertujuan untuk mengambil ibrah dari kehidupan para wali.
Namun, persoalan muncul ketika ziarah dikaitkan dengan waktu atau ritual tertentu yang tidak terdapat dalam dalil qath‘i. Dalam hal ini, Basapa perlu dipahami bukan sebagai ibadah mahdhah, melainkan sebagai adat religius (‘urf ibadah), yang sah selama tidak menyimpang dari prinsip tauhid.
TRADISI BASAPA
Basapa memiliki akar dalam tarekat Syattariyah, yang disebarkan oleh Syekh Burhanuddin Ulakan pada abad ke-17. Syekh Burhanuddin adalah murid dari Syekh Abdurrauf Singkel, yang memiliki sanad langsung ke ulama Madinah seperti Syekh Ahmad al-Qusyasyi dan Ibrahim al-Kurani (Azra, 2004).
Sebagai lembaga pendidikan spiritual, tarekat tidak hanya membina murid secara batin, tetapi juga membentuk struktur sosial yang berpusat pada mursyid. Tradisi Basapa merupakan kelanjutan dari ikatan mursyid-murid itu, yang kemudian menjadi bentuk ritus kolektif tahunan dalam memperkuat memori spiritual masyarakat terhadap Syekh Burhanuddin.
Data lisan dari beberapa ulama Syattariyah yang memimpin kegiatan Basapa bahwa ini dimulai oleh Syekh Muhammad Hatta yang populer dengan Syekh Kapalo Koto (wafat 1921 masehi).
Dapat disimpulkan Basapa sekitar se abad yang lalu. Artinya tradisi Basapa ada setelah tiga abad Syekh Burhanuddin (wafat 1699 masehi). Amat patut ditegaskan bahwa Basapa itu semata konsolidasi hubungan murid dan guru yang memang penting dalam tarekat.
Tradisi Basapa Sebagai Ritual Sosial dan Identitas Kolektif
Dari pendekatan sosiologi agama (Durkheim, 1912), Basapa dapat dikategorikan sebagai ritual kohesi sosial yang memperkuat ikatan antar individu dalam komunitas religius. Clifford Geertz (1968) menyebut ini sebagai agama sebagai sistem simbolik, di mana ritual bukan hanya ibadah, tetapi juga penanda identitas kolektif dan artikulasi makna hidup bersama.
Secara fungsional, Basapa berfungsi untuk transmisi nilai keulamaan dan akhlak sufistik
Menghidupkan silaturahmi ranah dan rantau.
Menggerakkan ekonomi lokal dan pariwisata religi
Basapa menjadi praktik kultural Islam lokal yang sah secara sosial dan edukatif, serta dapat diintegrasikan dalam agenda dakwah kultural dan pendidikan karakter.
Tradisi, Tauhid, dan Moderasi Islam
Islam tidak menolak tradisi selama tidak menyimpang dari prinsip-prinsip syar‘i. Basapa sebagai bentuk penghormatan kepada ulama, selama tidak diyakini sebagai syarat ibadah, tidak dapat dikategorikan sebagai bid‘ah sesat. Imam As-Syatibi dalam Al-I‘tisam membedakan antara bid‘ah dholalah (sesat) dan bid‘ah hasanah (tradisi baik) yang mendatangkan maslahat.
Dalam konteks maqashid syariah, Basapa dapat dikategorikan sebagai:
Hifz ad-din (menjaga agama) melalui penguatan spiritualitas masyarakat
Hifz al-‘aql dan hifz al-‘irdh melalui edukasi dan pemuliaan ulama
Maslahah ‘ammah (kemaslahatan publik) melalui pembangunan budaya dan ekonomi
Kesimpulan
Tradisi Basapa merupakan ekspresi Islam lokal Minangkabau yang tumbuh dari tarekat, berakar pada cinta kepada ulama, dan berfungsi membangun kohesi sosial serta pendidikan karakter. Ia bukan bagian dari ritual ibadah yang baku, tetapi termasuk dalam tradisi baik yang perlu dimoderasi, diarahkan, dan dimaknai ulang secara kontekstual.
Rekomendasi
1. MUI dan ulama Padang Pariaman (Syekh dan Tuanku) perlu menerbitkan panduan moderat tentang makna ziarah dalam Islam, agar umat tidak terjebak antara fanatisme dan penolakan buta.
2. Lembaga pendidikan menjadikan Tradisi Basapa sebagai studi kasus dalam kurikulum sejarah Islam lokal dan budaya Islam Nusantara.
3. Digitalisasi dan dokumentasi ilmiah Tradisi Basapa sebagai warisan keulamaan dan sumber edukasi multi generasi.
4. Pemerintah daerah dan Yayasan Syekh Burhanuddin mengintegrasikan tradisi ini dalam penguatan ABS-SBK dan moderasi beragama.
Daftar Pustaka
Al-Ghazali. Ihya’ ‘Ulum al-Din. Beirut: Dar al-Fikr.
Al-Syatibi, Ibrahim. Al-I‘tisam. Kairo: Dar al-Turath al-Islami.
Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Jakarta: Kencana, 2004.
Azra, Azyumardi. The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia. Honolulu: University of Hawaii Press, 2004.
Dobbin, Christine. Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy: Central Sumatra 1784–1847. London: Curzon Press, 1987.
Durkheim, Emile. The Elementary Forms of Religious Life. New York: Free Press, 1912.
Geertz, Clifford. Islam Observed: Religious Development in Morocco and Indonesia. Chicago: University of Chicago Press, 1968.
Federspiel, Howard M. Islam and Ideology in the Emerging Indonesian State. Leiden: Brill, 2001.
*Guru Besar UIN Imam Bonjol