![]() |
Langit Bolaang Mongondow siang itu seperti menunduk pelan, seakan ikut menyimak kata-kata yang gugup dan jujur dari seorang anak kampung yang menembus tembok sejarah nasional. Dion Mokoginta berbicara di panggung aula rumah dinas Walikota Kotamubagu, matanya sedikit sembab. Kalimat-kalimatnya bergetar, tapi bukan karena takut, melainkan oleh haru yang membuncah seperti sungai yang meluap setelah musim panjang yang kering.
“Saya tak bisa tidur selama berhari-hari setelah tahu saya mendapatkan Dermakata Award. Apalagi yang menelpon saya adalah Denny JA, seorang yang selama ini hanya saya kenal melalui media. Uang penghargaan itu langsung saya belikan tanah. Insya Allah akan saya bangun rumah diatas tanah itu kelak” ucapnya lirih.
Ia menunduk sebentar, menarik napas, lalu melanjutkan. “Saya sungguh tak percaya. Nama saya tiba-tiba muncul di belasan media nasional. Tiba-tiba orang-orang di kampus memberi selamat. Bahkan seseorang yang awalnya saya temui untuk mengurus sesuatu, malah lebih dulu mengucapkan selamat dan bertanya apa yang bisa ia bantu.”
Ketika Dion mengatakan itu di depan puluhan yang hadir: mahasiswa, penulis muda, aktivis literasi, dosen dan anak sekolah menengah atas, terdiam. Ada yang menunduk, ada yang menghela napas panjang. Karena mereka tahu, Dion bukan sekadar nama. Ia adalah kisah. Ia adalah luka yang dijahit kata, dan sejarah yang ditulis kembali dari pinggiran. Hamri Manoppo, ketua Satupena dan ketua Forum Kreator AI, Sulut, yang juga hadir ikut terdiam. Hamri Manoppo adalah orang yang berjasa memberikan jembatan bagi Dion untuk mengembangkan diri sebagai aktivis literasi.
Acara itu berlangsung di Aula rumah dinas Walikota Kotamubagu, selasa 13 mei 2025. Hari Itu Dion resmi menerima piagam penghargaan Dermakarta Award tahun 2024 dari Forum Kreator Era AI. Buku Dion Perlawanan Rakyat di Pedalaman Mongondow Tahun 1902 memenangkan kategori nonfiksi. Forum yang digagas Denny JA lahir sebagai upaya merekam dan menyalakan suara manusia di tengah datangnya era makhluk cerdas bernama Artificial Intelligence. Penghargaan diberikan langsung oleh Elza Peldi Taher, ketua Forum Kreator Era AI. Sejak berdiri tahun 2024, KEAI telah membuka cabang di 12 provinsi.
Penghargaan Dermakarta Award merupakan penghargaan tahunan yang diberikan kepada penulis berprestasi, terutama dari daerah. Satu penghargaan lagi diberikan kepada Esther Haluk yang memenangkan kategori fiksi atas novelnya “ Nyanyian Sunyi” yang menyuarakan orang orang yang terpinggirkan di Papua, mengangkat isu perempuan dan diskriminasi.
Satu hal yang istimewa dari penghargaan ini adalah cara penghormatannya: bukan penerima yang datang ke panggung, tetapi panggung yang datang ke penerima. Penghargaan itu diserahkan di tanah kelahiran Dion, di jantung Bolaang Mongondow—tempat sejarah pernah menggeliat, lalu diam dalam debu dan lupa.
Untuk sampai ke tempat di mana penghargaan itu diserahkan, perjalanan dari Jakarta ke Bolaang Mongondow bukanlah hal ringan. Perlu lebih dari sepuluh jam. Empat jam naik pesawat menuju Manado, lalu perjalanan darat sejauh lebih dari 200 kilometer melewati lereng, sungai, dan tikungan sempit selama hampir lima jam. Jalan berliku seperti napas sejarah itu sendiri—berkelok, penuh lubang, kadang mendaki, kadang turun—seakan menguji kesabaran dan niat setiap orang yang hendak menyaksikan sejarah kecil yang sedang ditorehkan di tanah ini.
Namun itu semua terasa sepadan. Karena sesampainya di sana, kita tak hanya menemukan seorang pemenang penghargaan, tetapi juga menemukan kembali makna perjuangan, ketekunan, dan keyakinan bahwa suara dari pinggiran pun bisa menggema hingga pusat.
Dion, panggilan akrab sang penulis, adalah penulis sejarah yang tidak sekadar mencatat peristiwa, tetapi membangkitkan arwah perlawanan yang terkubur dalam arsip kolonial. Ia menelusuri jejak-jejak luka bangsanya, menggali dokumen tua dari pemerintah Hindia Belanda, mencocokkan kronologi dari tradisi lisan, lalu merangkainya menjadi narasi yang tak hanya historis, tapi juga heroik.
“Tantangan terberat adalah menyaring mitos dari fakta,” ujarnya. “Banyak kisah berkembang dalam versi-versi yang berbeda. Saya harus mengendapkannya dalam riset agar buku ini tak hanya emosional, tapi juga ilmiah.”
Dion menelusuri berbagai sumber sejarah yang berkaitan dengan peristiwa perlawanan rakyat Mongondow tahun 1902 melalui arsip dan dokumen resmi pemerintah Hindia Belanda awal abad ke-20. Penelitiannya berlangsung lebih dari tiga tahun, hingga ia menemukan bahwa data dan informasi yang ia kumpulkan dapat dikonfirmasi dalam berbagai dokumen tertulis, seperti surat resmi pemerintah, surat kabar Belanda, serta catatan kolonial lainnya. Hal ini menguatkan keyakinannya bahwa peristiwa tersebut bukan sekadar cerita lokal, tetapi fakta sejarah yang layak diangkat dalam kajian akademik yang serius.
Tantangan terbesar dalam penulisan buku ini adalah minimnya akses terhadap sumber primer dari pelaku sejarah yang secara langsung menyaksikan peristiwa tersebut. Untuk mengatasinya, Dion menggunakan catatan yang ditulis oleh pelaku hidup pada tahun 1980-an, yang masih tersimpan di beberapa keluarga di Mongondow dan berhasil ia akses. Selain itu, karena peristiwa ini telah menjadi bagian dari tradisi lisan, Dion harus memilah berbagai versi cerita yang beredar di masyarakat, menelusuri tokoh, kronologi, dan latar yang berbeda-beda. Upaya ini membuatnya mampu menyusun ulang narasi sejarah dengan landasan yang lebih kuat dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
*Anak Petani Yang Cerdas*
Dion lahir dari keluarga petani. Ia bahkan sempat putus sekolah di jenjang SMP karena kemiskinan. Namun seperti air tanah yang terus mencari celah, Dion kembali bangkit. Sambil bekerja, ia belajar lewat sekolah jarak jauh, hingga akhirnya bisa lulus SMP, masuk SMA. Ia mendapat beasiswa ketika masuk perguruan tinggi. Ia menyelesaikan S1 dan S2 nya dengan beasiswa dan menyelesaikan tesis “ Perlawanan Rakyat di Pedalaman Mongondow 1902”. Buku yang menghantarkannya menerima penghargaan.
Ia tidak hanya menulis, tetapi mendidik dan meneliti. Ia mengajar di sekolah dan menjadi tutor di Universitas Terbuka Manado. Ia juga aktif di Pusat Studi Sejarah Bolaang Mongondow Raya. Tahun 2025, Dion telah menulis 4 buku tunggal, 1 antologi puisi, dan belasan buku muatan lokal yang kini menjadi bahan ajar resmi di sekolah-sekolah.
Sejak remaja, Dion telah bercumbu dengan kata. Ia menulis puisi di buku saku, mengirimkan karya ke media lokal sejak SMA, lalu menjelma menjadi suara literasi yang menggema dari Kotamobagu ke Jakarta.
Yang mengagumkan adalah bahwa bukunya mengubah sejarah. Sejak 2025, hari jadi Kota Kotamobagu yang selama ini diperingati tiap 23 Mei, sejak 2007, diubah menjadi 19 Januari, mengacu pada peristiwa perlawanan rakyat Mongondow tahun 1902 yang ditulis Dion. Sejarah, yang selama ini berpusat di ibu kota, tiba-tiba beringsut ke timur, ke sebuah kampung kecil di Sulawesi Utara.
Sebagaimana dikatakan sejarawan Pramoedya Ananta Toer, “*Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah*.” Dion tidak hilang. Ia hadir. Ia mencatat. Dan sejarah mencatatnya kembali.
Dalam budaya Bolaang Mongondow dikenal ungkapan bijak: "*Mototompiaan, mototabian bo mototanoban*." Artinya, “Saling memperbaiki, saling menyayangi, saling merindukan” Bukan hanya Bolaang Mongondow yang mendapat tempat dalam buku Dion, tetapi Indonesia mendapatkan kembali sepotong sejarah yang nyaris terlupakan. Seperti dikatakan Barbara Tuchman, “Sejarah adalah cermin, bukan untuk melihat masa lalu, tetapi agar kita tahu bagaimana harus melangkah ke masa depan.”
Sejarah tidak hanya lahir dari ruang kuliah, atau lembaga negara. Ia bisa muncul dari ruang sempit di rumah kayu, dari seorang pemuda yang dulu malu membacakan puisinya, dari Dion Mokoginta yang menulis bukan karena ingin dikenal, tapi karena ingin menyelamatkan yang hampir punah.
Kini Dion sedang menapaki anak tangga selanjutnya. Ia tengah berjuang untuk bisa melanjutkan pendidikan S3 di kampus ternama. Ia tengah mencari beasiswa, menyusun proposal riset lanjutan, dan berharap ada pintu yang terbuka untuk memperdalam ilmu sejarah secara akademik. Dalam diam, ia terus mengetuk pintu-pintu ilmu, seperti petani yang sabar menyemai benih di ladang, percaya bahwa musim panen akan tiba, cepat atau lambat.
Itulah sebabnya mengapa penghargaan yang diterimanya, bukan sekadar piagam. Ia adalah pengakuan bahwa sejarah tidak hanya milik mereka yang berkuasa, tapi juga milik mereka yang bertahan menulis di pinggiran.
Sebagaimana ditulis sejarawan E.H. Carr, “Sejarah adalah dialog tanpa akhir antara masa lalu dan masa kini.” Dan hari itu, di tanah Mongondow, dialog itu kembali hidup—melalui suara Dion yang tulus, lirih, namun menggema jauh ke dalam hati kita.
Pondok Cabe Udik 15 Mei 2025
Elza Peldi Taher