Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

Negeri yang Mencetak Sarjana Makin Banyak Tapi Lapangan Kerja Makin Sempit Penulis: Ririe Aiko

Di Indonesia, gelar sarjana sudah menjadi semacam barang massal: mudah diperoleh, murah promosi, mahal ekspektasi. Setiap tahun, perguruan tinggi negeri dan swasta ramai-ramai melepas lulusan bak pabrik melepas produk baru. Iklan pendidikan bertebaran di mana-mana: "Kuliah 3,5 tahun, langsung kerja!", "Bersertifikat internasional!", "Garansi karir cemerlang!" padahal realitasnya, banyak lulusan justru langsung menyandang gelar baru: "Pengangguran Dengan Tumpukan Prestasi Akademis."

Sementara itu, pertumbuhan lapangan kerja tidak mampu mengejar laju pertumbuhan lulusan. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) 2024, tingkat pengangguran terbuka (TPT) untuk lulusan perguruan tinggi mencapai 6,18 persen, angka yang lebih tinggi dibandingkan lulusan SMA (5,48 persen) atau bahkan SMP (5,39 persen). Ironis? Tentu saja. Di negeri ini, investasi pendidikan bisa berujung pada investasi kekecewaan: biaya kuliah ratusan juta, waktu bertahun-tahun, berakhir dalam antrean panjang mencari kerja yang tak kunjung ada.

Di dunia kerja, seorang fresh graduate dihadapkan pada syarat mustahil: pengalaman minimal 2-5 tahun untuk posisi junior. Logikanya sederhana: kami baru lulus karena kuliah, bukan karena sempat magang di tujuh perusahaan sekaligus sambil menyusun skripsi dan mengejar IPK sempurna. Tapi dunia nyata tidak butuh logika, ia butuh pengalaman yang entah harus dicari di mana, kalau semua pintu mengunci dengan kunci yang sama.

Pemerintah dan institusi pendidikan seolah berlomba mengadakan wisuda akbar, berfoto dalam toga, melempar topi ke udara namun jarang menyediakan jembatan konkret ke dunia kerja. Bursa kerja memang ada, tetapi sebagian besar dipenuhi lowongan magang tidak dibayar, pekerjaan kontrak jangka pendek, atau posisi dengan syarat multitasking ekstrem: mahir desain grafis, copywriting, digital marketing, editing video, memahami SEO, public speaking, riset pasar, bahkan administrasi keuangan, semua dengan gaji yang, kalau dihitung-hitung, lebih kecil dari biaya bensin dan kopi harian.

Tak heran, banyak sarjana akhirnya banting setir: berjualan online, membuka jasa freelance, menjadi driver ojek online, atau sekadar mencari ketenaran di TikTok dengan harapan rezeki viral mengetuk. Ini bukan sekadar cerita individu, ini potret negara yang kehilangan potensi besar. Kita mencetak manusia berpendidikan tinggi, tapi tak menyediakan ladang bagi kecerdasan mereka tumbuh.

Yang lebih miris, solusi dari sebagian pihak adalah memperbanyak pelatihan-pelatihan bersertifikat. Seakan-akan, menumpuk sertifikat bisa mengalahkan kenyataan bahwa lowongan kerja tetap sempit, sementara persaingan semakin brutal. Pelatihan tanpa ekosistem kerja yang siap menampung lulusan hanyalah menunda waktu kecewa.

Indonesia tidak kekurangan sarjana. Yang kita kekurangan adalah ekosistem ekonomi yang mampu menampung, memanfaatkan, dan mengoptimalkan mereka.

Pabrik sarjana terus beroperasi siang malam, mengejar akreditasi dan target kelulusan. Tapi pabrik lapangan kerja? Masih dalam tahap groundbreaking.

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Hollywood Movies