Bima Putra |
Dalam sebuah permasalahan kefilsafatan, diantara problematika filsafat yang menarik ialah problem persuaan antara Agama dengan Filsafat yang dapat dikatakan problem yang paling dan bahkan paling kontroversial. Karena berbagai pandangan dan cuitan pro-kontra terhadap persuaan filsafat dan Agama ini dapat ditemui dalam banyak buku-buku Filsafat. Kontroversi persuaan Agama dan Filsafat ini setidaknya berawal dari karakter keduanya yang dapat di katakan bertolak-belakang.
Di satu sisi Agama berporos kepada kepercayaan atau keimanan terhadap entitas -entitas transenden yang dianggap sangat kuat mempengaruhi kehidupan (Al-hayat) seperti adanya Tuhan, adanya surga, neraka, takdir, jodoh dan lain sebagainya. Yang pada intinya dalam Agama adalah keyakinan, tanpa musti harus seseorang dituntut untuk harus tahu bahkan paham secara mendalam. Terkait apakah yang diyakininya itu memang benar secara rasional. Nilai keimanan atau keyakinan sangat dihargai serta dijunjung tinggi dalam Agama.
Sementara itu pada sisi yang lain, Filsafat justru berporos atau bertumpu pada sikap ingin tahu dan penjelajahan intelektual. Dalam filsafat orang tidak diperkenankan untuk memutuskan atau melakukan sesuatu tanpa dia jelas benar-salahnya, baik buruknya atau layak serta tidak layaknya Apa dia jelas benar salahnya yang diputuskan atau dilakukannya itu. Filosof akan tanpa ragu menanyakan atau membahas apapun yang belum dia ketahui dan memunculkan rasa penasaran.
Filsafat Dan Teologi Poros Pertemuan
Sebenarnya, baik filsafat maupun agama sama-sama berkarakter normatif, dalam arti
berupaya untuk melacak apa yang harusnya dilakukan atau diputuskan; hanya saja dasar dari kedua normatifas itu sangat berbeda. Agama lebih menyandarkan keharusan melakukan atau tidak melakukan tersebut kepada otoritas di luar dirinya yang dipandang menguasai dan mempengaruhi hidupnya. Sedangkan filsafat cenderung menyandarkan keharusan tersebut pada intelejensinya sendiri, pemahamannya sendiri, kelurusan bernalar dan ketepatan proses intelektual yang berlangsung dalam dirinya.
Menurut catatan Rob Fischer dalam buku Approaches to the Study of Religion, setidaknya ada lima pandangan yang mengomentari pertemuan antara agama dan filsafat ini sejak zaman klasik sampai kontemporer. kelima pandangan tersebut adalah :
1. Filsafat sebagai "Agama" tersendiri
2. Filsafat sebagai "Penopang" Agama
3. Filsafat sebagai studi analisis terhadap Agama
4. Filsafat memberi ruang pada Agama
5. Filsafat sebagai studi tentang penalaran yang digunakan dalam Agama
Kalau diibaratkan bahwa jalur filsafat dan Agama itu adalah seperti dua jalan yang berbeda menuju satu tempat yang sama. Itulah mengapa di kalangan umat beragama ada satu disiplin yang disebut sebagai teologi atau dalam Islam dikenal sebagai Ilmu Kalam.
Dalam teologi inilah segala muatan keimanan yang sejak awal diyakini sebagai pasti benar diupayakan untuk mendapatkan justifikasi dengan cara merumuskan rasionalisasinya. Dalam teologi, dogma-dogma agama yang selama ini diyakini begitu saja, dibahas pembuktian rasionalnya, dan Apabila dicermati, dalam proses melakukan rasionalisasi itulah terjadi satu proses yang sedang kita bicarakan kali ini, yaitu berfilsafat.
Selama ini kita seringkali mendengarkan filsafat, lalu Apa itu Filsafat? filsafat adalah alat. Dalam teologi, filsafat berfungsi sebagai alat yang menjelaskan, menguraikan, mendeskripsikan dan menganalisis isi dogma-dogma Ajaran Agama dengan tujuan meneguhkan kebenarannya. Jadi sebenarnya dapat dikatakan bahwa dalam hal ini filsafat tidak bertentangan, tetapi bahkan mendukung Agama.
Cara berpikir teologi tidak dapat dikatakan sebagai sebuah pola berpikir yang murni filsafat. Filsafat dalam bentuk aslinya berawal dari rasa ingin tahu dan tidak percaya apapun sebelum terbukti kebenarannya, sementara teologi diawali dengan satu keyakinan dahulu bahwa sesuatu itu benar dan harus diyakini.
Dalam konteks teologi, Apabila ternyata filsafat tidak mampu menunjukkan kebenaran agama yang sudah diyakini sejak awal, bukan berarti seorang pemeluk agama meninggalkan agamanya, namun ia akan terus membuktikan dan berupaya tanpa henti sampai terbukti bahwa yang diyakininya selama ini adalah benar. Filsafat dapat dikatakan berangkat dari nol untuk menemukan kebenaran, sementara teologi berangkat dari meyakini kebenaran dulu untuk kemudian dibuktikan; dan perangkat filsafat untuk menemukan serta perangkat teologi untuk membuktikan ini pada dasarnya adalah sama, yaitu berfilsafat.
Puasa Dalam Perspektif Para Filsuf
Pada bulan ramadhan tahun ini saya mulai berpuasa hari Senin, 11 Maret 2024. Berdasarkan keputusan Muhammadiyah tentu rujukan dan sumber yang kuat dan berilmu seperti yang dirilis melalui PP Muhammadiyah melalui Majelis Tarjih dan Tajdid.
Puasa merupakan ibadah yang bersifat personal sehingga Allah lah yang akan memberikan balasannya secara langsung. Puasa juga dapat membangun dan memupuk rasa solidaritas kemanusiaan yang sejati. Ditengah lautan budaya kapitalisme yang mendekatkan manusia kepada rasa egoism yang tinggi, puasa yang dilakukan oleh orang-orang yang beriman diharapkan mampu melahirkan rasa solidaritas terhadap sesama. Dan puasa melatih ataupun mengontrol hawa nafsu pada diri manusia.
Menurut Andar Nobowo, beliau mengungkapkan bahwa Ada 7 macam nafsu yang harus dikendalikan di dalam diri setiap manusia yaitu :
1. Nafsu Amarah yaitu nafsu yang berada pada tingkatan terendah. Contohnya adalah baqil, benci, bodoh, sombong, cinta dunia, dan lain sebagainya. Contohnya ketika hendak membuat status di FB lalu merasa tersinggung lalu membalasnya dengan amarah tanpa bertabayyun kepada orang tersebut.
2. Nafsu Lawamah yaitu nafsu menyesal yang diakibatkan karena terus mengikuti kesenangan. Contohnya menyesal karena telah menipu, menggunjing, riya’, ujub, dan lain sebagainya.
3. Nafsu Mulhimah yaitu nafsu ini dicirikan seperti lemah lembut, dermawan, santun. Ini sering terjadi ketika hendak berbuka puasa namun tidak ada nilai ikhlasnya berbahaya sekali!
4. Nafsu Mutmainnah yaitu nafsu yang meneduhkan serta menenangkan.
5. Nafsu Radhiyah yaitu nafsu yang rela, berzikir. “Nafsu ini ditandai dengan sifat wara’, zuhud, wafa’, menepati janji, dan rindu kepada Allah,”
6. Nafsu Mardhiyah yaitu ciri dari nafsu ini adalah memiliki budi pekerti yang baik serta selalu mendekatkan diri kepada Allah Swt. Dan yang terakhir adalah nafsu kamilah.
Selanjutnya kita coba dalami atau jelajahi gagasan-gagasan para filsuf non Muslim di masa lalu sepanjang sejarah tentang puasa.
Kita mulai dari Benjamin Franklin :
Benjamin Franklin (17 Januari 1706-17 April 1790) adalah seorang tokoh Amerika Serikat yang terkenal dan telah meninggalkan banyak karya di dalam hidupnya. Franklin adalah orang dengan banyak jenis pekerjaan dan keahlian. Ia adalah seorang wartawan, penerbit, pengarang, filantropis, abolisionis, pelayan masyarakat (pejabat), ilmuwan, diplomat, dan penemu sekaligus.
Franklin juga adalah salah seorang pemimpin Revolusi Amerika, dan salah satu penandatangan Deklarasi Kemerdekaan Amerika. Kata-katanya banyak yang terkenal dan dikutip orang. Misalnya “waktu adalah uang” sering disebut bapak pendiri Amerika Serikat, Ia mengatakan; Obat Terbaik Ada 2 yaitu “Istirahat dan Puasa”.
Menurut penulis setiap apapun aktivitas yang kita kerjakan baik secara fisik (otot) ataupun pemikiran musti di selingi dengan istirahat sebab jika tidak maka akan lelah bahkan bisa menjadi penyakit seperti mesin jika tak ada istirahat secara berkala bisa-bisa cepat rusak. Nah puasa juga melatih setiap aktivitas perut dan mengontrol makanan yang masuk. Maka istirahat dan puasa saling berhubungan untuk menjadi solusi obat terbaik.
Untuk lebih sempurnanya tingkatan ini maka harus menjaga tiga perkara :
1. Menjaga mata dari melihat sesuatu yang buruk menurut pandangan syariat
2. Menjaga lisan dari berdusta, memfitnah, dan perkataan-perkataan keji lainnya
3. Menjaga telinga dari mendengar segala sesuatu yang haram untuk didengar.
Sedangkan Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin membagi tiga tingkatan puasa: pertama, puasa umum (biasa), khusus (spesial), dan khususil khusus (istimewa).
A. Puasa umum (dimensi eksoteris), adalah puasa yang hanya menahan diri dari rasa lapar, haus, dan syahwat kemaluan.
B. Puasa khusus (dimensi semi-esoteris), adalah puasa yang tidak hanya menahan diri dari makanan dan syahwat kemaluan, namun juga panca indera dan anggota tubuh lainnya dari perbuatan dosa dan tercela atau disebut sebagai shoum al-jawarih.
C. Puasa khususul khusus (dimensi esoteris) adalah puasa yang menahan diri dari hal-hal yang hina, pikiran duniawi, serta menahan diri mimikirkan selain Allah SWT.
Dari sini, kita dapat mengerti bahwa puasa menurut imam al-Ghazali bertingkat-tingkat.
Al-Ghazali menganggap bahwa puasa adalah ibadah istimewa yang bisa menghantarkan kepada Makrifat Billah. (***)
*Guru PAI SDN 06 Nan Sabaris dan Guru Al-Qur'an Hadits MTs Muhammadiyah Lubuk Alung