Type Here to Get Search Results !

Dua Hari Ia Berjalan Mencari Istri dan Anak

 


Sebuah Puisi Esai

Oleh Denny JA

(Bencana banjir dan longsor melanda Aceh, Sumut dan Sumbar di November 2025. Lebih 300 nyawa melayang. Kisah ini diinspirasi oleh Ebyn, yang sudah berjalan 80 kilometer mencari keluarganya.) (1)

-000-

Malam itu Pandu bermimpi.

Istri dan anaknya memanggil, dari tempat yang tak tersentuh cahaya.


Suara itu menyelinap melalui lipatan gaib yang hanya terbuka sekejap untuknya.


Wajah mereka kabur,

menjadi lukisan yang warnanya ditarik hujan. 


Dua anaknya bertengger di dahan, mungil dan rapuh,

laksana dua burung kecil yang mencoba menahan dunia,

dunia yang sedang runtuh.


Pandu bangun dengan dada basah.

Ia tidak tahu

apakah itu mimpi,

atau peringatan

yang dikirim malam

dengan bahasa yang paling tua:

rasa kehilangan.


Saat pagi tiba, 

langit retak menjelma kaca kesedihan. 


Sibolga tenggelam. 

Sungai berubah menjadi lorong gelap.


Air bah mengambil alih tugas malaikat maut,

membawa siapa saja yang tak sempat lari.

-000-

Pandu teringat satu sore: 

tawa istrinya, 

jagung yang berjatuhan, 

pipi si sulung melekat di pipinya. 


Kini sore itu berdiri sendirian di benaknya,

menjadi hangat yang kehilangan tubuhnya, 

mengambang sebagai sedih yang tak selesai.


Seandainya ia tahu

itu perjumpaan terakhir,

mungkin ia akan memeluk waktu

hingga tulangnya berderit,

agar detik-detik itu

tak pernah dilarikan semesta.

-000-

Pandu berjalan.

Dua hari dua malam.

Delapan puluh kilometer.

Dengan kaki telanjang

di jalan yang berubah menjadi luka.


Mencari istri.

Mencari anak.


Setiap langkah adalah cambuk.

Setiap napas adalah bayangan buruk

yang ingin ia bantai dari pikirannya.


Jalan longsor,

Pohon tumbang,

kulit bumi tersayat,

tubuh raksasa

yang kehilangan tulang belakang.


Air berlari liar,

menghapus

apa pun yang masih berani berharap, 

menjadi malaikat gelap

yang kehilangan belas kasih.

-000-

Di tengah perjalanan,

Pandu melihat gelondongan pohon

tergulung deras,

mayat raksasa

yang dikirim arus.


Ia teringat hutan kampung halaman,

berdiri setia,

seperti penjaga malam.


Kini hutan ditebang,

untuk kelapa sawit.


Ketika pohon hilang,

alam kehilangan nadinya.

Dan ketika alam kehilangan nadi,

ia marah,

mengirimkan banjir

sebagai surat panjang

yang ditulis dengan air mata bumi,

dengan baris-baris yang menggigil,

menjadi doa yang terlambat dibisikkan.

-000-

Di satu tanjakan,

Pandu melihat siluet tiga tubuh:

seorang perempuan dan dua anak kecil

berdiri di seberang sungai kecil.


Hatinya pecah

menjadi kaca yang dilempar

ke jurang gelap.

Seluruh dirinya runtuh,

ia rumah yang terseret arus.


Ia menjerit sekeras orang

yang ingin menunda ajalnya sendiri:


“Eva!

Andi!” Rahmat!

Suaranya memantul di batu-batu basah, 

menjadi bisikan ditelan pusaran waktu,

lenyap di tengah badai, 

seakan alam sendiri belum memutuskan ke mana harus mengirimkan jawabannya.

Ia melompat menuruni tebing kecil itu,

menyeberangi sungai dangkal

yang arusnya menarik-narik celananya

seakan ingin menggenggamnya

ke dalam cerita lain.


Namun ketika ia tiba di seberang,

tak ada siapa-siapa.


Hanya dedaunan basah,

batang kayu hanyut,

dan angin yang tiba-tiba

menjadi lebih dingin

daripada kematian, 

dingin yang bisa mematikan

bahkan nyala doa.


Ia berdiri lama,

bumi memberinya jeda

untuk menerima,

bahwa kadang

harapan pun bisa menipu,

sama kejamnya

dengan banjir.


Ia menangis tersedu-sedu.

Tangis yang bukan suara,

melainkan tubuh

yang akhirnya menyerah pada patah.


Di antara jeda tangis dan batu yang membisu,  

Pandu memanggul langit retak di punggungnya,  

setiap langkah menjadi perahu kecil menentang arus,  

menyobek sunyi, 

mengejar tiga nama,

yang terus menyala.


-000-


Beberapa kilometer kemudian,

ia bertemu Bupati Tapanuli Tengah.

Orang-orang berkumpul.

Kamera menyala.

Langit menjadi saksi bisu.


Dengan suara yang dimakan takut dan cinta yang tinggal seutas benang, 

ia memohon:

Tolong saya, Pak


Di mana istri saya? 

Di mana anak saya?


Itu bukan permintaan,

itu jiwa seorang ayah yang runtuh, 

lalu jatuh menjadi suara.


Video itu menyebar.

Warganet berdoa.

Namun tak ada berita,

yang bisa mengeringkan

air mata seorang ayah

yang sedang mencari

dunianya sendiri

yang hilang.

-000-

Bencana 2025

menelan lebih dari tiga ratus nyawa

di Aceh, Sumut, Sumbar.


Air membawa rumah,

nama,

ingatan,

dan kesempatan terakhir

untuk saling berpamitan.


Namun ada satu hal

yang tak bisa diambil air:


cinta seorang ayah

yang menolak mati

sebelum menemukan anaknya


Itu cinta yang keras kepala

seperti batu karang

yang menolak diseret gelombang.

-000-

Kadang mimpi itu kembali:

istrinya di balik kabut air,

dua anaknya melambai

dengan tangan kecil.


Ia tak tahu

apakah itu petunjuk untuk jumpa.

atau tanda mereka pamit.


Namun ia tetap berjalan,

bukan dengan kaki,

melainkan dengan cinta

yang dibentuk

dari ketakutan kehilangan

segala yang ia miliki.


Dan di dunia yang porak-poranda,

banjir menelan hidup

tanpa memilih,

tetap ada satu hal

yang membuat manusia

tetap manusia:


seorang ayah

yang tak berhenti memanggil

nama anaknya,

nama istrinya,

meski dunia

sudah tidak menjawab. ***

30 November 2025

CATATAN

(1) Diinspirasi oleh kisah sebenarnya

Banjir Tapteng, Pria Ini 2 Hari Jalan Kaki Cari Anak dan Istri

https://news.detik.com/berita/d-8233052/banjir-tapteng-pria-ini-2-hari-jalan-kaki-cari-anak-dan-istri/amp

-000-

Berbagai puisi esai dan ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World

https://www.facebook.com/share/p/1DD5FrXJg5/?mibextid=wwXIfr

Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.