![]() |
Oleh: Ririe Aiko
Langit berbisik dalam gemuruhnya
“Aku hanya menurunkan berkah lewat air hujan…”
Namun bisikan tersesat
di antara riuh manusia yang lihai menuduh,
seakan awan pandai berkonspirasi,
dan gerimis adalah dalil atas kemurkaan semesta.
Manusia mulai melaknat rahmat,
Ironinya yang meracik petaka
bukan hujan yang berkelindan,
tetapi tangan-tangan durhaka
yang melucuti rimba hingga tinggal iganya,
membiarkan tanah meriang
karena nadi porinya ditarik paksa dari perut bumi.
Ketika banjir menakik kota-kota Sumatera,
dan sungai berubah menjadi perahu duka,
manusia tergopoh mencari kambing hitam,
dengan gegabah menunjuk langit
yang bahkan tidak pernah
mengirim sepucuk surat ancaman
“Mengapa aku yang kalian salahkan, padahal makhluk bumi yang mengikis alam perlahan?”
Kayu gelondongan berserakan sebagai epitaf;
tanah longsor mengirim bisik getir dari balik bukit;
dan sungai mengamuk bukan karena murka
melainkan karena jalurnya dibelenggu
oleh industri yang gemar memonopoli isi bumi.
Para pengusaha serakah meratap sambil mencatat kerugian,
namun enggan membuka kronik kesalahan mereka sendiri.
Mereka memaki hujan,
padahal merekalah yang memuja pembangunan
yang mengoyak paru-paru hutan tanpa jeda,
menghalalkan pembabatan tambang
demi pundi-pundi yang dipupuk dari kerusakan ekosistem
Lihatlah!
303 jiwa melayang,
lebih dari 223 tubuh masih dicari arus,
dan 50.000 manusia tercerabut dari rumahnya.
Bumi merintih bersama manusia dan satwa,
mereka kehilangan rumah untuk pulang,
keluarga yang hanyut di antara sungai yang meluap tanpa penahan,
terbawa arus dari hutan yang lebih dulu dimatikan
sebelum air bah datang menjemput.
Tanyalah pada hutan!
pada bukit yang kehilangan penopang,
pada sungai yang dipersempit oleh kerakusan,
Siapa yang mencabik alam?
Kalau bukan tangan-tangan jahat yang tak pernah merasa kenyang

