![]() |
oleh ReO Fiksiwan
„Zaman Aksial adalah salah satu periode paling penting dalam sejarah, ketika manusia menjadi sadar diri tentang keberadaan mereka dan mulai merenungkan hakikat transendensi.” — Karen Armstrong(81), The Great Transformation: The Beginning of Our Religious Traditions(2006).
Rakerda Dewan Kesenian Daerah Sulawesi Utara yang sejak 2023 dipimpin oleh dr. Rinny Tamuntuan kemarin(13/11/25) di Graha Bumi Beringib, ikut menandai sebuah momentum penting dalam perjalanan kebudayaan daerah yang selama lebih dari tiga dasawarsa mengalami tuna budaya dan matisuri.
Sementara di waktu bersamaan, kegiatan pembinaan sumber daya manusia, lembaga, dan pranata kebudayaan yang dilaksanakan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Manado tahun 2025 di NDC Tongkaina(13-14/11/25), bukan sekadar agenda administratif, melainkan bagian dari proses panjang transformasi kebudayaan yang harus dibaca secara kritis dan penunaian legasi Pemkot atas denyut sejarah kebudayaan lokal.
Merespon persiapan pembangunan Museum Kuliner Coleacant Manado di Gedung Youth Center Megamas — atas inisiatif Walikota Manado Andrei Angouw melalui Kadis Dikbud Kota Manado, Peter K. B. Assa, ST., M.Sc.Ph.D — aktivitas di atas menandai deru transformasi kebudayaan.
Selain itu, renovasi Museum Provinsi dan rencana Pekan Kebudayaan Sulut yang diusulkan Gubernur Mayjen (Purn.) Yulius Selvanus SE serta sosialisasi Perda Pemajuan Kebudayaan Daerah Sulut No.10 Tahun 2024 melalui Dinas Kebudayaan Sulut bersamaan dengan pembentukan Dewan Kebudayaan Daerah (DKD), perlu dikawal secara kolaboratif dan solid.
Karena semuanya merupakan simpul-simpul yang hendak menegaskan arah baru kebijakan kebudayaan di Sulut dan sedang berupaya bangkit dari keterpurukan institusi dan kemaruk regenerasi buruk tuna budaya.
Meski demikian, tantangan dan arah ide transformasi ini jelas berlandaskan mandat UU No.5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, yang menekankan perlunya perlindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan kebudayaan sebagai bagian dari pembangunan nasional.
Dengan kata lain, fungsi, fondasi dan hakikat transformasi kebudayaan tidak pernah sekadar soal regulasi atau kelembagaan.
Akan tetapi, ini merespon dengan sungguh-sungguh sebagai kebangkitan titik balik(turning point) peradaban yang pernah digagas fisikawan, Fritjof Capra(86) dalam The Turning Point: Science, Society, and the Rising Culture(1984).
Sementara, mengacu pada Karl Polanyi(1886-1964), ekonom politik dan antropolog, dalam The Great Transformation(1944; Kreasi Wacana 2003) menegaskan bahwa setiap perubahan besar dalam masyarakat selalu berakar pada pergeseran struktur ekonomi dan sosial yang mendasar.
Dengan demikian, The Great Transformation Polanyi bukan hanya analisis ekonomi, tetapi juga refleksi mendalam tentang hakikat transformasi kebudayaan: bahwa perubahan besar dalam masyarakat selalu melibatkan benturan antara kekuatan pasar dan kebutuhan manusia untuk mempertahankan pranata sosial-budaya yang bermakna.
Lain hal dengan Karen Armstrong dengan judul serupa menyoroti bahwa transformasi juga menyangkut dimensi spiritual dan moral manusia.
Di Indonesia, jurnalis dan sastrawan Mochtar Lubis(1922-2004) pernah mengingatkan bahwa kebudayaan harus siap menghadapi transformasi besar di tengah derasnya arus modernisasi.
Dalam buku Transformasi Budaya untuk Masa Depan(1986), Lubis menekankan bahwa kebudayaan Indonesia harus bertransformasi agar mampu menghadapi tantangan modernitas, globalisasi, dan perubahan sosial yang cepat.
Kini, tantangan itu semakin kompleks, lesat dan pesat dengan hadirnya era digitalisasi mutakhir dan kecerdasan buatan.
Sejawaran sains Yuval Noah Harari(49) melalui kritiknya di Nexus: A Brief History of Information Networks from the Stone Age to AI(2024), menekankan bahwa teknologi bukan hanya alat, melainkan kekuatan yang mengubah cara manusia memahami dirinya dan dunia.
Kritiknya: “Kita juga sibuk menciptakan teknologi baru seperti kecerdasan buatan yang berpotensi lepas dari kendali kita dan memperbudak atau memusnahkan kita”
Karena itu, pembinaan kebudayaan di Sulut tidak bisa berhenti pada pelestarian tradisi, melainkan harus berani merumuskan strategi menghadapi disrupsi digital dan AI yang mengubah pola komunikasi budaya, produksi seni, bahkan relasi sosial dan politik, tentunya.
Merujuk Terry Eagleton(82), salah satu kritikus sastra dan budaya paling berpengaruh di dunia,
dalam The Idea of Culture(2003) mengingatkan bahwa kebudayaan sering kali dipahami secara romantik sebagai warisan luhur, padahal ia juga merupakan arena konflik, ideologi, dan kekuasaan.
Simak sejenak kritiknya: “Kita menghadapi konflik antara peradaban dan budaya… peradaban berarti refleksi rasional, kesejahteraan material… budaya berarti suatu bentuk kehidupan yang bersifat adat, kolektif, penuh gairah, spontan, tidak reflektif, dan tidak rasional.”
Dengan demikian, pembentukan DKD dan sosialisasi Perda Pemajuan Kebudayaan harus dikawal agar tidak sekadar menjadi simbol birokrasi, melainkan wadah dialektika kritis yang mampu menampung suara seniman, akademisi, komunitas adat, dan generasi muda.
Erin Meyer dalam The Culture Map(2010) menunjukkan bahwa perbedaan budaya memengaruhi cara berkomunikasi, bernegosiasi, dan bekerja sama.
Sulut sebagai daerah dengan keragaman etnis dan tradisi kuliner yang kaya harus menjadikan perbedaan itu sebagai modal, bukan hambatan, dalam membangun ekosistem kebudayaan yang inklusif.
Transformasi kebudayaan di Sulut hari ini adalah ujian apakah kebijakan yang dirumuskan mampu menjawab tantangan zaman.
Museum Kuliner Coleacant Manado bukan hanya ruang arsip gastronomi, melainkan simbol bagaimana warisan dan sejarah kebudayaan lokal bisa diproyeksikan dan dilestarikan ke masa depan.
Pekan Kebudayaan Sulut diurung tahun 2026 nanti bukan sekadar festival, melainkan arena pertemuan gagasan lintas generasi.
Perda No.10 Tahun 2024 bukan hanya dokumen hukum — ReO Fiksiwan salah satu pencetus dan mengawal hingga berbuah Perda Pemajuan Kebudayaan Daerah — melainkan kompas moral yang menegaskan bahwa regulasi, dinamika dan aktualisasi pelembagaan kebudayaan adalah fondasi pembangunan.
Merujuk pada kerangka gagasan dan konseptual Polanyi, Armstrong, Lubis, Harari, Eagleton, dan Meyer, transformasi kebudayaan Sulut harus dibaca sebagai proses yang menuntut keberanian menghadapi disrupsi, keterbukaan terhadap perbedaan, dan komitmen menjaga akar tradisi sambil merangkul masa depan.
Kebudayaan tidak lagi bisa dipahami sebagai sesuatu yang statis, melainkan sebagai energi dinamis yang terus bergerak, bernegosiasi, dan bertransformasi.
#coverlagu: Lagu Spirit of Transformation karya Bryan E. Miller(60), komponis film asal Amerika, merupakan bagian dari soundtrack film Te Ata (Original Motion Picture Soundtrack) yang dirilis sekitar 2017–2021 dalam katalog musik filmnya.
Maknanya menekankan perjalanan perubahan batin dan kebangkitan spiritual, sejalan dengan tema film Te Ata yang mengisahkan transformasi identitas dan kekuatan budaya.

