Type Here to Get Search Results !

Mengapa Puisi Esai Lebih Mudah Diterima Anak-Anak Gen Alpha?

Oleh : Ririe Aiko 

Pengalaman saya saat mengajar eskul literasi, saya sering membuka banyak sudut pandang baru tentang bagaimana anak-anak memahami karya sastra. Setiap pertemuan, saya membawa berbagai bentuk tulisan dari mulai cerpen, fiksi, esai, hingga puisi esai. Saya sengaja agar mereka mengenal keberagaman dunia literasi. Dari semua materi yang saya hadirkan, ada satu genre yang penerimaannya justru paling mudah dan paling hangat dari mereka: puisi esai.

Dari interaksi itu, saya mulai menganalisis: apa sebenarnya yang membuat puisi esai begitu mudah diterima anak-anak generasi muda?

Pertama, puisi esai menggabungkan dua kekuatan sekaligus: keindahan bahasa puitis dan kedalaman realitas. Ketika saya memperkenalkan puisi esai mini yang sederhana, yang menyorot realitas sosial di sekolah seperti perundungan, broken home atau kekerasan pada anak-anak. Mereka merasa lebih terhubung. Mereka merasakan cerita itu seolah sedang menonton adegan nyata, puisi esai mampu menggambarkan realitas hidup dengan bahasa yang indah dan menyentuh, namun tetap menjaga sentuhan estetikanya.

Kedua, puisi esai membantu mereka memahami empati, sesuatu yang menurut saya menjadi masalah besar bagi generasi digital saat ini. Kita hidup di masa ketika anak-anak sangat piawai menyelesaikan soal matematika, hafal materi Pancasila, dan terbiasa mengejar nilai tinggi. Namun dalam kehidupan sosial, banyak dari mereka bingung ketika harus merespons perasaan teman sendiri. Tidak sedikit kasus perundungan terjadi tanpa ada satu pun yang berani bersuara untuk membela temannya yang dibully. Bahkan beberapa anak bisa memukul atau mengejek temannya tanpa rasa bersalah. Semua itu bermuara pada satu hal: krisis empati.

Di sinilah puisi esai hadir sebagai jembatan yang sangat efektif. Lewat kisah puitis yang menyentuh, anak-anak belajar merasakan lagi, bukan hanya membaca. Mereka memahami bahwa luka seseorang bukan sekadar “cerita”, tetapi sesuatu yang bisa dirasakan. Mereka menangkap penderitaan tokoh, mengenali nilai kemanusiaan, dan secara perlahan memupuk kepekaan terhadap sesama.

Ketiga, puisi esai fleksibel dalam gaya penulisan. Ada yang naratif seperti cerpen, ada yang padat seperti puisi bebas, dan ada pula yang mengalir seperti catatan harian. Fleksibilitas ini membuatnya tidak terasa kaku. Anak-anak generasi Alpha menyukai sesuatu yang dinamis, visual, dan mudah dipahami. Puisi esai menawarkan itu semua tanpa kehilangan kedalaman makna.

Pada akhirnya, saya percaya bahwa bacaan seperti puisi esai sangat penting untuk terus diperkenalkan kepada generasi muda. Ia bukan hanya media literasi, tetapi juga alat untuk membangkitkan kesadaran moral dan empati. Mungkin, suatu hari nanti, mereka bukan hanya menjadi pembaca, tetapi juga penulis puisi esai yang mencatat sejarah kehidupan di zamannya. Jika itu terjadi, saya yakin generasi ini akan tumbuh menjadi kelompok yang lebih peduli, lebih peka, dan lebih manusiawi.

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.