![]() |
oleh ReO Fiksiwan
“Tujuan umum yang dimiliki atau seharusnya dimiliki oleh semua hukum adalah meningkatkan kebahagiaan total masyarakat. Semua hukuman adalah kerusakan; semua hukuman itu sendiri jahat.” — Jeremy Bentham(1748-1832), The Rationale of Punishment(1830).
Dalam ruang hukum yang kabur antara fiksi dan kenyataan, muncul nama-nama yang menjadi cermin absurditas kekuasaan: Roy Suryo(57), Rismon Sianipar(48), Tifauzia Tyassuma(55), dan Franz Kafka(1883-1924).
Meski berasal dari dunia berbeda, mereka terikat oleh benang merah yang sama: hukum yang seharusnya menjamin keadilan, justru sering menjelma menjadi instrumen dominasi yang membungkam nalar dan nurani.
Tertuduh dalam riset yang dibukukan Jokowi’s White Paper (2025)—yang oleh Prof. Dr. Amin Rais MA dianggap layak sebagai disertasi ilmiah karena detail dan ketat—menjadi representasi hukum berbasis riset ilmiah murni, justru dibajak oleh kepentingan dan nafsu pribadi seorang penuduh.
Dengan UU ITE dan lainnya sebagai senjata, penuduh menjerat Trio RRT bersama lima lainnya, menjadikan mereka target politik hukum atas dugaan penghinaan dan penyebaran informasi palsu timbang ijazahnya.
Hukum di sini bukan norma yang melindungi, melainkan transaksi yang mengukuhkan dominasi.
Trio RRT sejatinya tidak melanggar hukum publik terkait pembuktian ijazah palsu.
Justru upaya mereka, yang lahir dari bukan dari dorongan politik, dimanfaatkan secara sempurna untuk kepentingan tertentu.
Bentham mungkin akan menyebutnya kalkulasi utilitarian: penuntut memperoleh kebahagiaan maksimal bagi dirinya, meski dengan penderitaan maksimal bagi orang lain.
Namun Rawls akan menggugat: di mana posisi veil of ignorance(tabir kesalahan) dalam keputusan ini?
Jika hukum dibentuk tanpa mengetahui siapa korban dan siapa pelaku, apakah rasa keadilan masih dapat dipertahankan?
Tetapi dalam logika Kafkaesque, itu sudah cukup untuk menjadikan Joseph K.—tokoh fiksi dalam Der Prozess(1923; terjemahan 2020) dari Kafka yang dihukum tanpa tahu kesalahannya.
Dikutip Joseph K.: “Proses ini tidak pernah berakhir. Bahkan ketika aku sudah dihukum, aku tetap tidak tahu apa kesalahanku.”
Trio RRT, seperti Joseph K., berada dalam sistem yang tidak transparan, di mana prosedur lebih penting daripada substansi.
Mereka tidak ditangkap, tetapi reputasi digerus oleh mesin birokrasi yang dingin dan tanpa belas kasih.
Mulai dari institusi perguruan tinggi sekelas UGM, kepolisian hingga gerombolan peternakan Termulisasi dijadikan “mesin penindas” penuduh.
Dalam dunia Kafka, metafora pintu hukum itu selalu terbuka, meski tak pernah bisa dimasuki.
Sementara, Trio RRT, sebelum tanggal keramat, 13 November 2025, berdiri di depan pintu itu, menunggu penjelasan yang tak kunjung datang untuk cukup untuk tunjukan: ijazah asli!
Kafka sendiri, meski bukan tokoh dalam peristiwa ini, adalah arsitek absurditas hukum yang paling tajam.
Sebagai pengarang sekaligus doktor hukum(Dr. Jura), ia memahami betul bagaimana sistem hukum bisa menjadi labirin.
Di lain kisah, Vor dem Gesetz(Di Depan Hukum, 2020), dikisahkan. seorang lelaki menunggu izin masuk ke gerbang hukum, namun penjaga berkata, “belum waktunya.”
Ia menunggu seumur hidup. Ketika menjelang ajalnya, penjaga berkata: “Pintu itu sebenarnya hanya untukmu. Dan kini akan ditutup lagi.”
Kafka menunjukkan bahwa hukum bisa menjadi mitos: janji yang tak pernah ditepati.
Demikian hal, dalam Der Prozess, hukuman dijalankan oleh mesin yang menuliskan kesalahan di tubuh terhukum, meski ia tak tahu apa dosanya. Hukum menjadi tubuh kekuasaan yang menulis ulang realitas.
Trio RRT dan Joseph K. bertemu dalam ruang imajiner yang sama: ruang di mana hukum bukan lagi pelindung, melainkan labirin.
Penuduh menggunakan hukum untuk menindas, Trio RRT terjebak dalam hukum yang tak bisa dijelaskan, dan Joseph K. dihukum oleh hukum yang tak bisa dipahami.
Sementara, Martha C. Nussbaum(78), dalam The Fragility of Goodness: Luck and Ethics in Greek Tragedy and Philosophy(1986), mengingatkan bahwa hukum publik seharusnya berakar pada martabat manusia, bukan sekadar kalkulasi keuntungan. Maka pertanyaan pun muncul: apakah hukum masih bisa dipercaya?
Ia sedikit mengurai: “Kebaikan kehidupan manusia itu rapuh, rentan terhadap keberuntungan, dan rentan terhadap kekuatan di luar kendali kita.”
Dalam konteks hukum publik, ungkapan Nussbaum dapat dibaca sebagai peringatan bahwa norma hukum bisa runtuh ketika prosedur dan kekuasaan mengabaikan martabat manusia.
Lanjutnya, ia menegaskan bahwa hukum tidak boleh sekadar menjadi kalkulasi utilitarian, melainkan harus berakar pada perlindungan terhadap kerentanan manusia.
Parabel Kafka dan peristiwa Trio RRT dan lima tertuduh lainnya bukan sekadar kritik terhadap individu penuduh bersama pendukungnya, melainkan terhadap sistem yang memungkinkan absurditas itu terjadi.
Ketika hukum kehilangan transparansi, ketika prosedur mengalahkan substansi, dan ketika kekuasaan menulis ulang norma, maka kita semua adalah Joseph K.—menunggu di depan pintu yang tak pernah terbuka.
#coversongs: Hans Williamson(22) dikenal sebagai komposer musik alternatif dan epik yang sering menghadirkan karya dengan tema perjuangan, patriotisme, dan kekuatan batin. “Rising Victory” menegaskan ciri khas tersebut.
Dirilis pada 17 Januari 2025 melalui Amuseio AB, lagu ini menampilkan aransemen yang megah, penuh energi, dan cocok digunakan sebagai latar motivasi atau soundtrack kemenangan.
Makna lagu ini dapat dibaca sebagai simbol kebangkitan setelah keterpurukan. Judulnya sendiri, “Rising Victory”, menyiratkan bahwa kemenangan bukan sekadar hasil akhir, melainkan proses bangkit dari kesulitan.
Musik Hans Williamson sering dipakai dalam konteks sinematik atau motivasional, sehingga pesan yang dibawa adalah tentang keteguhan hati, keberanian, dan pencapaian tujuan meski menghadapi rintangan.

