![]() |
oleh ReO Fiksiwan
„Sastra tidak pernah lahir di ruang hampa. Ia selalu terkait dengan konteks sosial, politik, dan budaya yang melingkupinya.” — Arief Budiman(1941-2020), Majalah Sastra Horison(1984).
Empat dekade telah berlalu sejak Arief Budiman menyalakan api perdebatan sastra kontekstual melalui tulisannya di majalah Horison pada 1984.
Api itu segera menyebar, menemukan momentumnya dalam Sarasehan Kesenian di Solo pada 28–29 Oktober 1984, lalu berlanjut sepanjang tahun di koran-koran nasional.
Nama Ariel Heryanto(71) — kelak aktif sebagai akademisi, menjabat sebagai Herb Feith Professor for the Study of Indonesia di Monash University, Australia, sejak 2017 dan Dosen senior dan kepala Program Indonesia di University of Melbourne — turut memperkuat bara polemik ini, hingga akhirnya ia mengumpulkan seluruh percakapan, kritik, dan sanggahan dalam buku Perdebatan Sastra Kontekstual(PSK) yang diterbitkan oleh C.V. Rajawali, Jakarta, pada Desember 1985.
Kini, pada Desember 2025 nanti, buku tersebut genap berusia 40 tahun, menandai sebuah tonggak penting dalam sejarah pemikiran sastra Indonesia mutakhir.
Perdebatan sastra kontekstual tidak sekadar soal estetika, melainkan tentang posisi sastra dalam masyarakat.
Arief Budiman, kelak Guru Besar(Professor) di Universitas Melbourne, Australia dan seorang sosiolog, kritikus budaya, dan aktivis sosial, menekankan bahwa karya sastra tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial, politik, dan budaya yang melingkupinya.
Sastra bukan menara gading, melainkan bagian dari pergulatan hidup masyarakat.
Pandangan ini segera memicu resistensi dari kalangan yang masih berpegang pada otonomi estetika, yang melihat sastra sebagai dunia mandiri dengan hukum internalnya sendiri.
Ketegangan antara “sastra sebagai teks otonom” dan “sastra sebagai praksis sosial” menjadi inti perdebatan yang berlangsung sepanjang 1984–1985.
Ariel Heryanto, Guru besar di School of Culture, History and Language, Australian National University(ANU), dengan bukunya(PSK), tidak hanya mendokumentasikan perdebatan itu, tetapi juga menegaskan bahwa sastra Indonesia sedang mencari paradigma baru.
Jika diacu pada A. Teeuw dalam Sastra Indonesia Modern I & II (1986) yang menekankan analisis historis dan tekstual, maka perdebatan kontekstual membuka ruang bagi pembacaan yang lebih politis dan sosiologis.
Demikian pula, Dr. Pamela Allen dalam Membaca, dan Membaca Lagi(2003) memperlihatkan bagaimana fiksi Indonesia 1980–1995 dapat ditafsir ulang dengan perspektif gender dan politik, sementara Harry Aveling dalam Rahasia Membutuhkan Kata (2003) menyoroti puisi Indonesia 1966–1998 sebagai ekspresi yang tak bisa dilepaskan dari trauma sejarah dan kebutuhan akan bahasa baru.
Semua ini menunjukkan bahwa perdebatan kontekstual bukanlah episode singkat, melainkan fondasi bagi perkembangan sejarah teori dan kritik sastra Indonesia kontemporer.
Dalam perspektif teori, Peter Barry melalui Beginning Theory(2010) menegaskan bahwa setiap pendekatan sastra lahir dari kebutuhan epistemologis zamannya.
Jan van Luxemburg, Mieke Bal, dan Willem G. Weststeijn dalam Pengantar Ilmu Sastra (1984) menekankan pentingnya struktur dan semiotika, tetapi perdebatan kontekstual di Indonesia memperlihatkan bahwa struktur saja tidak cukup: teks harus dibaca dalam relasi kuasa, sejarah, dan ideologi.
Bahkan dalam perkembangan mutakhir, seperti yang ditunjukkan oleh Epistemologi Sastra: Pendekatan Kritik Baru atas Teks-Teks Puisi Esai Denny JA(Serat Manado; Satupena Jakarta, 2024) dari ReO Fiksiwan, terlihat bahwa kritik sastra Indonesia terus mencari cara untuk menjembatani antara teks dan konteks, antara estetika dan politik, antara bahasa dan realitas sosial.
Dengan kata lain, 40 tahun perdebatan sastra kontekstual(PSK) adalah ajakan untuk berpikir ulang.
Meski tak mengacu pada kritik teologi kontekstual dari Stephen B. Bevans(81), teolog Katolik asal Amerika Serikat yang dikenal luas sebagai penggagas sistematis teologi kontekstual lewat bukunya,Models of Contextual Theology (1992), perdebatan sastra kontekstual memiliki relevansi dengan enam model kontekstualisasi: translasi, antropologis, praxis, sintesis, transendental, dan countercultural.
Ia bukan sekadar nostalgia atas polemik masa lalu, melainkan refleksi kritis bahwa sastra Indonesia selalu berada di persimpangan antara otonomi dan keterlibatan, antara estetika dan politik, antara teks dan dunia. Bahkan antara nalar dan iman.
Tentunya, perdebatan itu telah membentuk generasi kritikus dan sastrawan yang sadar bahwa karya sastra tidak pernah lahir di ruang hampa.
Walhasil, Sastra kontekstual(Arief Budiman, 1984) menekankan bahwa karya sastra harus dibaca dalam hubungannya dengan konteks sosial, politik, dan budaya.
Salah satu bait sajak kontekstual berasal dari Subagio Sastrowardoyo(1924-1995), dalam antologi puisi Manusia Perbatasan(1972):
„Manusia adalah makhluk perbatasan, berdiri di ambang antara ada dan tiada.”
„Manusia berdiri di ambang batas, menatap dunia yang riuh, namun tetap merasa asing di dalamnya.”
Dengan demikian, memperingati 40 tahun Perdebatan Sastra Kontekstual(PSK) berarti menegaskan kembali bahwa sastra Indonesia adalah medan pergulatan ide, tempat di mana kata-kata tidak hanya indah, tetapi juga berdaya, berpolitik, bersejarah, bernalar, dan sekaligus berspiritual.
#coverlagu: Lagu “Rindu” (musikalisasi puisi Subagio Sastrowardoyo) oleh Banda Neira dirilis tahun 2013 dalam album Berjalan Lebih Jauh.
Maknanya adalah tentang kerinduan yang sederhana namun mendalam, menghadirkan suasana rumah kosong yang ingin dihuni, simbol dari kesepian dan kebutuhan akan kehangatan serta kebersamaan.

