Type Here to Get Search Results !

Sakral Dalam Bencana

Koordinator WAMY Sumatera Barat, H. Faridansyah di tengah lokasi bencana banjir dan longsor, menyalurkan bantuan.

Oleh: Duski Samad

Bencana selalu melahirkan dua hal yang berjalan bersama: luka dan kesadaran sakral. Setiap kali air bah turun menghondoh nagari, tanah merekah, atau gunung meletus, masyarakat spontan melahirkan narasi-narasi ketauhidan yang meneguhkan batin. Narasi itu bukan sekadar cerita, tetapi bentuk ta’abbudiyah masyarakat untuk memaknai bencana dalam cahaya iman.

Demikian pula pada banjir bandang di Salareh Air, Kabupaten Agam. Ketika rumah penduduk hanyut terseret arus, masjid di tengah pemukiman itu tetap tegak kokoh, seolah menjadi saksi bisu tentang sesuatu yang lebih tinggi dari sekadar material bangunan.

H. Farindansyah, Koordinator WAMY Sumatera Barat, saat menyerahkan bantuan sembako dan dana dari Ibuk Hajjah Rehawati dan keluarga, mengungkapkan rasa takjub: “Di tengah hancurnya rumah-rumah, masjid tetap berdiri.” Kekokohan itu meneguhkan bahwa ada sesuatu yang suci, mulia, dan dijaga pada rumah Allah.

1. Sakral dalam Al-Qur’an dan Hadis

Dalam Islam, sakral bukan istilah abstrak. Ia memiliki dasar langsung dari wahyu.

1.1. Masjid adalah milik Allah

Allah berfirman:

> وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا

“Dan bahwa masjid-masjid itu milik Allah, maka janganlah kamu menyembah seorang pun selain Dia.”

(QS. Al-Jinn: 18)

Ayat ini menegaskan status masjid sebagai ruang suci yang berada dalam perlindungan dan penjagaan Allah.

1.2. Masjid sebagai pusat keberkahan

Nabi SAW bersabda:

> أَحَبُّ الْبِلادِ إِلَى اللَّهِ مَسَاجِدُهَا

“Tempat yang paling Allah cintai di muka bumi adalah masjid-masjidnya.”

(HR. Muslim)

Jika Allah mencintai suatu tempat, maka masyarakat muslim membaca peristiwa keselamatannya sebagai isyarat kasih sayang dan pemeliharaan-Nya.

1.3. Bencana sebagai teguran dan rahmat

Allah mengingatkan:

> ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ

“Telah tampak kerusakan di darat dan laut disebabkan perbuatan tangan manusia.”

(QS. Ar-Rum: 41)

Ayat ini menjadi dasar ulama menyimpulkan bahwa bencana mengandung 3 dimensi:

1. Takdir Allah,

2. akibat kelalaian manusia, dan

3. peringatan agar kembali pada nilai-nilai ketaatan dan kelestarian alam.

2. Pandangan Ulama Tentang Kesakralan Masjid dan Fenomena Bencana

2.1. Ulama Tafsir

Ibn Katsir menjelaskan bahwa keberkahan masjid muncul karena:

1. niat ikhlas jamaah,

2. amal saleh yang terus dilakukan di dalamnya, dan

3. masjid sebagai tempat turunnya rahmah (kasih sayang Allah).

Karena itu, keselamatan masjid dalam bencana dapat dipahami sebagai atsar rahmah—jejak kasih sayang Ilahi yang tampak pada bangunan yang digunakan untuk ibadah.

2.2. Fatwa Nuruddin Ar-Raniry dan Ulama Nusantara

Ulama Aceh abad 17, Syekh Nuruddin Ar-Raniry menjelaskan dalam Bustanus Salatin bahwa Allah menjaga rumah-rumah ibadah karena ia adalah “tempat berputarnya keberkahan” dan “penjaga keseimbangan moral masyarakat.”

Ulama Minangkabau seperti Syekh Sulaiman Arrasuli (Inyiak Canduang) juga menegaskan bahwa masjid adalah “hati nagari,” sehingga masyarakat meyakini bahwa hancurnya masjid berarti hancurnya adab. Maka ketika masjid tetap kokoh dalam bencana, itu dibaca sebagai pertanda bahwa adab dan iman harus ditegakkan kembali.

2.3. Fatwa Kontemporer

Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam beberapa panduan kebencanaan (Fatwa MUI 28/2020 tentang Ibadah dalam kondisi bencana) menegaskan bahwa:

> “Rumah ibadah adalah pusat keteguhan spiritual masyarakat ketika bencana terjadi.”

Karena itu, masjid yang tetap berdiri memiliki dua fungsi:

fungsi tauhid → menguatkan iman bahwa Allah Maha Menjaga,

fungsi sosial → menjadi pusat distribusi bantuan dan penguatan moral warga.

3. Bencana: Antara Ujian, Kasih Sayang, dan Teguran

3.1. Ujian Kehidupan

Nabi SAW bersabda:

> إِذَا أَحَبَّ اللَّهُ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ

“Jika Allah mencintai suatu kaum, Dia menguji mereka.”

(HR. Tirmidzi)

3.2. Bencana sebagai Rahmat

Ulama menjelaskan bahwa bencana bisa menjadi rahmat, karena:

menghapus dosa,

membangkitkan solidaritas,

menggerakkan taubat dan kesadaran moral.

3.3. Bencana sebagai Teguran Ekologis

Fatwa MUI 4/2014 tentang Pelestarian Lingkungan menyatakan:

> Kerusakan alam menjadi sebab bencana karena manusia tidak lagi memelihara amanah kekhalifahan.

Ini sejalan dengan kondisi daerah-daerah yang mengalami pengerusakan hutan, alih fungsi lahan, dan ketidakpatuhan pada tata ruang.

4. Penutup: 

Sakral yang Meneguhkan

Masjid yang tetap berdiri kokoh di Salareh Air bukan hanya keajaiban visual. Ia adalah teks keimanan yang dibaca masyarakat:

Allah Maha Menjaga rumah-Nya.

Masjid adalah pusat rahmat.

Bencana adalah panggilan untuk kembali kepada etika menjaga alam dan menata adab.

Sementara itu, proses pencarian korban yang masih hilang oleh BNPB, relawan, dan masyarakat merupakan amal jariyah terbesar hari ini. Setiap tanah yang digali, setiap air yang disibak, setiap tenaga yang dikerahkan, semuanya adalah ibadah.

Karena itu, di tengah reruntuhan, masjid menjadi simbol bahwa harapan belum hanyut, bahwa ada nilai yang tetap kokoh, dan bahwa kehidupan bisa dibangun kembali dengan iman, taubat, dan solidaritas. DS. 30112025.

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.