oleh ReO Filsiwan
“Saya percaya pada kekuatan akal manusia. Jika Tuhan memberi kita indera, maka Ia menghendaki kita untuk menggunakannya.” — Galileo Galilea(1564-1642), Leben des Galileo(1943), Drama Bertholt Brecht.
Dalam sejarah panjang peradaban manusia, sains selalu hadir sebagai kekuatan yang menantang otoritas di luar dirinya.
Dari abad pertengahan hingga era modern, konflik antara kuasa politik, agama, dan kebenaran ilmiah menjadi panggung yang berulang.
Hari ini, polemik seputar kepalsuan ijazah insinyur teknologi kayu Fakultas Kehutanan UGM angkatan 1985 yang diungkap Dr. Rismon Sianipar bersama rekan-rekannya, dan didukung oleh Dr. Ing. Ridho Rahmadi MSc, kembali menegaskan bahwa metode ilmiah adalah senjata paling sahih untuk membongkar kepalsuan dan mendekonstruksi “kebenaran politis.”
Ridho Rahmadi, seorang ahli IT berusia 40 tahun, yang menempuh magister di Universitas Johannes Kepler Linz(Austria) dan Universitas Teknik Ceko, serta meraih doktor di bidang Data Science & Machine Learning dari Universitas Radboud, Belanda, menempatkan dirinya sebagai saksi sekaligus pendukung atas validitas temuan sains Rismon dkk.
Bahwa kebenaran ilmiah, melalui falsifikasi dan verifikasi, tidak bisa ditundukkan oleh rekayasa politik. Sejarah memberi kita pelajaran bahwa kuasa sering kali berusaha menundukkan sains.
Galileo Galilei dengan teleskopnya, membuktikan bahwa bumi bukan pusat semesta. Namun Gereja Katolik Roma melalui Inkuisisi memaksanya menyangkal kebenaran itu pada 1663.
Stillman Drake(1910–1993), sejarawan sains asal Kanada yang dikenal sebagai pakar Galileo,
dalam Galileo at Work: His Scientific Biography (1978) menulis bagaimana Galileo tetap teguh pada metode observasi dan eksperimen, meski harus menjalani tahanan rumah.
Karena itu, Drake menambahkan: „Galileo bukan hanya seorang penemu fakta, tetapi juga pencipta metode; kebesarannya yang sebenarnya terletak pada penyatuan eksperimen dan matematika.”
Lain lagi dramawan Bertolt Brecht(1898-1956), kelak mengabadikan tragedi ini dalam drama Leben des Galilei(1943), yang menyoroti dilema seorang ilmuwan di bawah tekanan otoritas.
Dalam sebuah dialog Galileo mengatakan: „Saya tetap percaya bahwa tujuan ilmu pengetahuan adalah meringankan penderitaan manusia. Jika Gereja menolak kebenaran, maka kesalahan bukan pada bintang-bintang, melainkan pada mata yang menolak melihatnya.”
Dialog ini menegaskan pandangan Galileo bahwa ilmu pengetahuan bukanlah ancaman bagi iman, melainkan sarana untuk memahami ciptaan Tuhan dan membantu manusia. Namun, Gereja pada masa itu menuduhnya sebagai pengkhianat karena mendukung heliosentrisme.
Begitu pula, jauh sebelum tragedi Galileo, Leonardo da Vinci(1452–1519), dalam biografi Sains Leonardo(Jalasutra 2010) — Inggris: The Science of Leonardo: Inside the Mind of the Great Genius of the Renaissance(2007) — dari Fritjof Capra(82) digambarkan sebagai sosok yang menyatukan seni dan sains, menolak dikotomi kuasa atas pengetahuan.
Tulis Capra: „Hakikat kebenaran ilmiah bagi Leonardo adalah kesatuan antara pengamatan empiris dan imajinasi kreatif.”
Dengan demikian, bagi Leonardo, ilmu pengetahuan tidak hanya sekadar data atau eksperimen, tetapi juga melibatkan daya cipta, intuisi, dan seni.
Ia memandang alam sebagai sistem yang saling terhubung, sehingga kebenaran ilmiah harus mencerminkan keterpaduan antara fakta dan makna.
Hari ini, politik ijazah palsu yang menyeret nama Jokowi memperlihatkan bagaimana kuasa eksekutif, legislatif, dan yudikatif(baca: kebenaran politis) bisa berkolaborasi untuk menutupi kebenaran sains.
Entah atas fenomena ego-maniak dari personalitas seseorang yang dituding berbohong maupun memalsukan identitas keaslian simbol akademiknya(ijazah) maupun dukungan politis dari hampir semua lini kuasa ‚kebenaran politis‘ yang solid, masif dan mirip panopticon Foucaultian.
Namun, sebagaimana Edward W. Said(1935-2003) dalam Reflections on Exile and Other Essays(2000) memandang gagasan politik pengetahuan sebagai „Tidak ada yang namanya posisi intelektual yang netral; pengetahuan selalu terkait dengan kekuasaan.”
Ia pun menegaskan bahwa pengetahuan tidak berdiri sendiri, melainkan selalu berhubungan dengan struktur kekuasaan.
Bagi Said, tugas intelektual adalah mengungkap penindasan, mendekonstruksi wacana dominan, dan memberi suara bagi yang terpinggirkan
Sementara, Ignaz Kleden(1948-2024) dalam Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan(LP3ES, 1987)) menulis: „Sikap ilmiah adalah keberanian untuk mempertahankan kebenaran, meskipun harus berhadapan dengan tekanan politik dan arus kebudayaan yang dominan.”
Kuasa ‚kebenaran politis’ bisa memalsukan dokumen, merekayasa prosedur, bahkan mengkriminalisasi ilmuwan, tetapi ia tidak bisa mengubah hasil falsifikasi ilmiah setitikpun.
Karl Popper(1903-1994) dalam The Logic of Scientific Discovery(1959) menegaskan bahwa kebenaran ilmiah hanya bisa bertahan jika ia mampu melewati ujian falsifikasi.
Dengan kata lain, ungkapnya: “Kriteria status ilmiah suatu teori adalah dapat dipalsukan, dapat disangkal, atau dapat diuji.”
Dengan demikian, dukungan Ridho Rahmadi terhadap temuan Rismon Sianipar bukan sekadar solidaritas akademik, melainkan penegasan bahwa sains berdiri di atas landasan yang tidak bisa digoyahkan oleh kuasa kebenaran politi(s)k.
Atau, harus dapat dikembali pada prinsip kriteria yang diulas panjang lebar di buku Popper: Logika Penemuan Ilmiah(Pustaka Pelajar,2008).
Mengacu sejarah Galileo, Leonardo, hingga ilmuwan kontemporer seperti trio RRT menunjukkan bahwa tragedi selalu menimpa mereka yang berani melawan otoritas dengan kebenaran di luar panggung sains sendiri.
Namun, tragedi itu sekaligus menjadi bukti bahwa sains adalah satu-satunya otoritas yang tidak tunduk pada kuasa di luar dirinya.
Sekalipun kuasa ‚kebenaran politis‘ bisa menekan, tetapi kebenaran ilmiah akan tetap berdiri, karena ia lahir dari metode yang sahih, dari falsifikasi yang tak bisa dipalsukan.
#coversongs: Main Theme (From A Beautiful Mind)” yang diaransemen David Newman untuk piano dan orkestra, dimainkan oleh Sebastian Knauer bersama Deutsches Symphonie-Orchester Berlin, dirilis tahun 2024 dalam album Hollywood di bawah label Deutsche Grammophon.
Maknanya adalah refleksi musikal atas perjalanan hidup John Nash(1928-2015), Penghargaan Nobel Ekonomi 1994, seorang jenius matematika(game theory) yang bergulat dengan skizofrenia, menggambarkan ketegangan antara kejernihan intelektual dan pergulatan batin.

