![]() |
Oleh: Duski Samad Tuanku Mudo
Kajian di Masjid Baitur Rahmah Gedung PKDP Tangerang Selatan, Jumat, 07 November 2025
Merantau Sebagai Jalan Kemuliaan
Merantau bukan sekadar perpindahan tempat, tetapi ikhtiar spiritual dan sosial untuk meningkatkan kualitas diri serta menegakkan marwah keluarga dan nagari. Dalam falsafah Minangkabau, “Karatau madang di hulu, babuah babungo balun; marantau bujang dahulu, di rumah baguno balun.”
Pepatah ini bukan dorongan meninggalkan kampung, melainkan ajakan memperluas cakrawala dan menjemput kemuliaan melalui kerja, ilmu, dan pengalaman.
PKDP (Persatuan Keluarga Daerah Padang Pariaman dan Kota Pariaman) menjadi wadah besar bagi perantau Piaman yang tersebar di seluruh nusantara bahkan dunia. Organisasi ini adalah simbol soliditas, kebersamaan, dan identitas moral yang menyejarah. Di mana ada orang Piaman, di sana ada surau, ada silaturahmi, dan ada gerak sosial yang bermakna.
Perantau dan Krisis Moral di Kampung Halaman
Ironisnya, di tengah kemajuan dunia digital dan ekonomi, tanah asal kita sedang dilanda krisis moral dan sosial. Pengamalan agama mulai menurun, tokoh berintegritas makin langka, dan budaya gotong royong—raso jo pareso—bergeser menjadi pola hidup individualistis dan materialistis.
Krisis ini tak hanya disebabkan oleh lemahnya ekonomi, tetapi juga hilangnya figur panutan dan melemahnya sistem nilai lokal, terutama yang bersumber dari adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah.
Al-Qur’an mengingatkan:
> “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”
(QS. Ar-Ra’d: 11)
Ayat ini menegaskan bahwa revitalisasi moral adalah tugas kolektif, bukan tanggung jawab pemerintah semata. Maka, PKDP sebagai komunitas moral force memiliki tanggung jawab sejarah untuk menjadi pelopor kebangkitan nilai di nagari.
PKDP Sebagai Kekuatan Moral dan Kepemimpinan Nilai
Dalam konteks sosial, PKDP dapat berperan sebagai agen perubahan (change agent)—menggerakkan kesadaran, menyalakan kepedulian, dan menguatkan adab. Dalam teori sosiologi moral Emile Durkheim, masyarakat yang kuat adalah masyarakat yang memiliki “moral collective consciousness”—kesadaran moral bersama yang menuntun perilaku sosial.
Perantau Piaman selama ini dikenal memiliki etos kerja tinggi, solidaritas kuat, dan loyalitas terhadap kampung halaman. Modal sosial ini harus diolah menjadi “moral capital”—daya dorong nilai untuk memperbaiki wajah sosial nagari.
Gerakan seperti Basamo Mambangun Nagari, Surau Tagak Nagari Rancak, dan Revitalisasi Surau Tuanku adalah wujud nyata dari kepemimpinan moral yang bisa digerakkan PKDP.
Pepatah adat mengatakan:
> “Tagak rumah dek tunggua, tagak nagari dek mamak, rusak tunggua rumah tumbang, rusak mamak nagari hilang.”
Maknanya, ketika pemimpin moral dan sosial abai, masyarakat akan kehilangan arah dan adabnya. Maka, PKDP mesti tampil sebagai “mamak moral” bagi nagari—penuntun dan penjaga nilai.
Menjemput Marwah dan Martabat Ughang Piaman
Gerakan menjemput kemuliaan (marwah dan martabat) bukan romantisme masa lalu, tapi agenda kebangkitan masa depan.
Kita harus kembali kepada akar: ulama dan surau, ninik mamak dan adat, serta cadiak pandai dan pendidikan.
Revitalisasi surau bukan hanya fisik, tapi fungsi—tempat mengaji, berdialog, dan membentuk karakter.
> “Adat jo syarak bakampuang di nagari; syarak mandaki, adat manurun.”
Artinya, nilai-nilai Islam yang luhur harus naik menggerakkan adat, sementara adat yang baik menurunkan manfaat bagi masyarakat. Di sinilah sinergi antara agama dan budaya Minang menjadi benteng terhadap kemerosotan moral dan arus maksiat.
Gerakan Moral Mencegah Munkarat dan Mafsadat
PKDP perlu memimpin gerakan moral mencegah maksiat dan mafsadat sosial—mulai dari fenomena “orgen baralek” yang merusak nilai budaya, sampai efek negatif digitalisasi terhadap generasi muda.
Maka, “adat dan syarak paga nagari, iman dan taqwa modal insani” bukan sekadar slogan, melainkan sistem nilai yang harus dihidupkan kembali melalui edukasi moral, teladan tokoh, dan gerakan sosial yang berkelanjutan.
Dalam bimbingan Al-Qur’an:
> “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”
(QS. Ali Imran: 104)
PKDP, dengan basis keanggotaan perantau yang luas dan dihormati, berpotensi menjadi barisan amar ma’ruf nahi munkar masa kini—melalui dakwah kultural, kegiatan sosial, dan penguatan nilai keluarga.
Menegakkan Kearifan Tagak Kampung, Paga Kampung
Gerakan moral ini harus dimulai dari “kampung moral”: keluarga dan surau.
Kita perlu membangun tagak kampung, paga kampung—tatanan nilai yang menjaga anak kamanakan dari pengaruh destruktif digitalisasi dan gaya hidup konsumtif.
Perantau menjadi perpanjangan tangan moral nagari: penyokong ekonomi, inspirator pendidikan, dan penegak nilai kemanusiaan.
Penutup:
Dari Rantau Menyala ke Ranah yang Mencerahkan
PKDP adalah simbol “rantau yang menyala”, bukan hanya dalam ekonomi tapi dalam nurani.
Jika perantau bersatu dalam visi moral, ekonomi, dan budaya, maka kampung akan ikut bangkit menjadi “ranah yang mencerah.”
Kemuliaan yang dijemput bukan karena harta, tapi karena adab dan amal.
Sebagaimana pepatah adat mengingatkan:
> “Nan luruih indak ka patah, nan bengkok indak ka hilang; asal pai tampek batanyo, pulang tampek babarito.”
Itulah jalan mulia perantau Piaman—pergi dengan niat, kembali membawa manfaat, dan menjadi kekuatan moral bangsa. DS. Arosahotel721sabtu 08112025.

