Type Here to Get Search Results !

SYARAK DALAM BALUTAN ADAT MINANGKABAU: Refleksi Menyaksikan Pameran Foto “Islam Minangkabau” Karya Edi Utama

Oleh: Duski Samad

Dosen UIN Imam Bonjol MK Islam dan Budaya Minangkabau 

Abstrak

Artikel ini menguraikan relasi harmonis antara Islam dan adat dalam masyarakat Minangkabau melalui refleksi atas pameran foto “Islam Minangkabau” karya Edi Utama. Dengan pendekatan historis dan antropologis, tulisan ini menunjukkan bagaimana nilai-nilai Islam yang rahmatan lil alamin menemukan ekspresinya dalam budaya Minangkabau tanpa kehilangan substansi syariat. Islam yang hadir di ranah ini bukan kekuatan yang menghapus adat, tetapi mengislamkan nilai-nilai adat menjadi tatanan moral dan sosial yang khas. Konsep “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah” menjadi poros yang menghubungkan agama, budaya, dan karakter sosial anak nagari.

Kata Kunci: Islam Minangkabau, adat, syarak, budaya, antropologi.

Islam yang Membumi dalam Budaya

Sejarah memperlihatkan bahwa masuknya Islam ke Minangkabau tidak melalui penaklukan, melainkan melalui pendekatan kultural. Ulama-ulama awal seperti Syekh Burhanuddin Ulakan menanamkan Islam dengan hikmah dan kelembutan, mengakar dalam struktur sosial dan budaya masyarakat. Hasilnya, Islam tidak menjadi kekuatan asing, tetapi diterima sebagai bagian dari laku hidup dan falsafah hidup orang Minang.

Pameran foto Islam Minangkabau karya Edi Utama menghidupkan kembali memori kolektif itu: wajah-wajah masyarakat, ritual, dan tradisi yang memvisualkan bagaimana Islam menyatu dalam keseharian. Foto-foto tersebut bukan hanya dokumentasi, melainkan artefak kultural yang menegaskan relasi dinamis antara syarak dan adat.

1. Islam Rahmatan Lil Alamin: Akomodasi dan Asimilasi Kultural

Firman Allah dalam QS. Al-Anbiya’ [21]:107 — “Dan tiadalah Kami mengutus engkau (Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam” — menemukan jejaknya di Ranah Minang. Islam diterima sebagai rahmat, bukan ancaman, karena datang melalui proses akomodasi budaya.

Dalam antropologi agama, fenomena ini disebut cultural integration, di mana ajaran agama menyesuaikan diri dengan sistem nilai lokal tanpa kehilangan prinsip dasarnya. Ritual seperti basapa di Ulakan, maulud badikia, dan ratik tulak bala menjadi ekspresi lokal dari spiritualitas Islam.

Pameran Edi Utama memperlihatkan bagaimana nilai-nilai tauhid hadir melalui bahasa visual yang lembut: masyarakat berzikir di surau, anak-anak belajar mengaji, dan tradisi keagamaan yang membentuk jati diri komunal. Di sinilah Islam rahmatan lil alamin benar-benar menemukan ruang hidupnya — dalam keseharian yang sederhana namun penuh makna.

2. Umatan Wasathan: Moderasi yang Terwariskan

Islam di Minangkabau bukan Islam yang ekstrem atau liberal, melainkan Islam wasathan — moderat dan seimbang. Konsep ini sejalan dengan QS. Al-Baqarah [2]:143 tentang umatan wasathan.

Dalam sejarahnya, masyarakat Minang menyeimbangkan antara adat dan syarak, antara dunia dan akhirat, antara akal dan wahyu. Tradisi seperti randai, dendang syair, dan permainan anak nagari menjadi sarana edukasi sosial dan spiritual. Nilai-nilai moral, sopan santun, dan marwah diri disampaikan melalui kesenian rakyat yang sekaligus mengandung dakwah.

Fenomena ini menunjukkan apa yang oleh Clifford Geertz disebut sebagai “Islam lokal”, yaitu Islam yang mengakar dalam kebudayaan tanpa terjebak sinkretisme. Moderasi beragama di Minangkabau tidak selalu diucapkan, tetapi dijalani dan diwariskan melalui adat dan seni.

3. Ilmu yang Meninggikan Derajat: Surau sebagai Pusat Peradaban

QS. Al-Mujadilah [58]:11 menegaskan bahwa Allah meninggikan derajat orang berilmu. Bagi masyarakat Minang, ilmu bukan sekadar alat, tetapi identitas sosial dan spiritual.

Tradisi surau adalah bukti paling kuat. Dari surau lahir generasi cendekia dan ulama pembaru: Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Haji Rasul, Buya Hamka, dan banyak lainnya. Dalam konteks antropologis, surau adalah institusi sosial dan spiritual — tempat pembelajaran agama, pembentukan karakter, dan pengasahan adab.

Kaum mudo dan tuo sering digambarkan sebagai simbol perbedaan zaman, padahal keduanya bagian dari dialektika ilmu dan kebijaksanaan. Inilah yang membuat Minangkabau head start dalam sejarah pendidikan Islam di Nusantara.

4. Ulama dan Cendekia: Pilar Moral dan Penyangga Tradisi

QS. Fathir [35]:28 menegaskan, “Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama.”

Ulama Minangkabau memainkan peran ganda: sebagai pewaris ilmu dan penjaga marwah adat. Dalam masyarakat yang egaliter seperti Minang, ulama berperan sebagai cultural broker — penafsir teks wahyu dalam konteks budaya lokal.

Edi Utama menangkap wajah-wajah ulama dan aktivitas mereka dengan sensibilitas tinggi: dari surau ke madrasah, dari pengajian ke alek nagari. Ulama Minang tidak sekadar guru agama, tetapi pelanjut misi peradaban. Mereka membangun keseimbangan antara spiritualitas dan sosialitas, antara nilai dan realitas.

Dari sinilah lahir konsep ulama-pemimpin yang mampu menjaga harmoni di tengah perubahan zaman — sesuai dengan adagium adat:

> Alim ulama tempat bertanyo, cadiak pandai tempat batanyo, rajo adil tempat baselo.

5. Kekhalifahan Anak Nagari: Etos Amanah dan Pengabdian

Dalam QS. Al-Baqarah [2]:30, Allah menyebut manusia sebagai khalifah di bumi. Di Minangkabau, konsep ini menjelma menjadi etos kepemimpinan anak nagari.

Setiap individu memiliki tanggung jawab sosial dan moral terhadap nagarinya: menjaga alam, menegakkan keadilan, dan beramal saleh.

Tradisi gotong royong, musyawarah di balai adat, dan sumbang duo baleh adalah wujud nyata kekhalifahan sosial itu. Dalam konteks sejarah, anak nagari juga menjadi aktor penting dalam perjuangan kemerdekaan, pendidikan, dan pembangunan bangsa.

Foto-foto Edi Utama yang menggambarkan aktivitas sosial anak nagari adalah visual anthropology yang menegaskan bahwa kekhalifahan bukan konsep abstrak, tetapi nyata dalam praksis budaya dan kehidupan sehari-hari.

Kesimpulan: Warisan Integratif Islam dan Adat

Relasi antara syarak dan adat di Minangkabau adalah simfoni nilai yang saling melengkapi. Islam memberi arah dan etika, adat memberi bentuk dan ekspresi. Pameran Edi Utama menjadi pengingat bahwa peradaban Minangkabau dibangun di atas keseimbangan dua poros: wahyu dan hikmah, iman dan marwah.

Dalam konteks globalisasi dan homogenisasi budaya, nilai-nilai Islam Minangkabau menawarkan model moderasi dan integrasi yang relevan:

Islam yang berakar, bukan sekadar menempel.

Budaya yang berjiwa, bukan sekadar tradisi.

Adat yang beradab karena disinari syarak.

Dengan demikian, syarak dalam balutan adat bukan sekadar konsep, tetapi roh peradaban yang menjaga Minangkabau tetap tegak — tagak di bumi, tinggi di adat, dan mulia di iman. Ds.arosahorel 07112025.

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.