Type Here to Get Search Results !

Menghukum Kebenaran?

oleh ReO Fiksiwan

„Kami menyaring fakta-fakta yang bertentangan dengan prasangka kami, tidak peduli seberapa kuatnya prasangka tersebut.” — Rolf Dobelli(59), Die Kunst des klaren Denkens(2011; KPG Cet. II, 2019).

Penetapan tersangka atas delapan orang dalam kasus dugaan ijazah palsu Jokowi menandai babak baru dalam konflik antara hukum dan kebenaran, di mana proses hukum justru berisiko menghukum kebenaran itu sendiri.

Menghukum kebenaran adalah paradoks yang lahir dari ketegangan antara hukum positif dan pencarian hakiki akan kebenaran. 

Penetapan tersangka terhadap Roy Suryo, Rismon Sianipar, dan Tifauzia Tyassuma bersama lima lainnya oleh Polda Metro Jaya pada 7 November 2025, menunjukkan bagaimana hukum bisa menjadi alat untuk membungkam kritik, bukan untuk mengungkap fakta. 

Mereka dijerat dengan pasal-pasal yang berbeda, mulai dari Pasal 310 dan 311 KUHP tentang pencemaran nama baik, Pasal 160 KUHP tentang penghasutan, hingga Pasal 27A dan 28 UU ITE yang menyangkut penyebaran informasi bohong dan fitnah di ruang digital.

Namun, kasus ini bukan sekadar soal ijazah palsu. Ia telah menjelma menjadi medan pertarungan antara narasi resmi dan narasi tandingan, antara identitas yang dibangun secara politis dan identitas yang dipertanyakan secara publik. 

Tuduhan terhadap Joko Widodo bukan hanya soal dokumen akademik, tetapi juga menyangkut integritas personal dan sejarah politik yang tertulis dalam buku-buku seperti Jokowi Undercover(2014) dari Bambang Tri Mulyono, Jokowi’s White Paper(2025) dari trio RRT dan Ben Bland(40), Man of Contradictions: Joko Widodo and the Struggle to Remake Indonesia(2020).

Dalam konteks ini, prinsip mens rea menjadi relevan. Apakah para tersangka bertindak dengan niat jahat((Intentional), kelalaian((Negligence), atau kecerobohan((Recklessness)?

Ataukah mereka justru sedang menjalankan fungsi kritik dalam demokrasi? 

Jika niat mereka adalah mengungkap kebenaran, maka menghukum mereka berarti menghukum niat baik yang lahir dari keresahan publik. 

Di sinilah hukum bisa menjadi lantai terowongan yang gelap dan absurd, seperti yang digambarkan Huston Smith(1919-2016) dalam Why Religion Matters: The Fate of the Human Spirit in an Age of Disbelief(2003) dan Forgotten Truth(1976; IRCiSoD 2017), di mana kebenaran spiritual dan moral sering kali dikubur oleh institusi yang seharusnya menjaganya.

Huston Smith menggambarkan bagaimana “terowongan epistemologis” ini dibentuk oleh empat elemen utama: atap(universitas), dinding kanan(sains), dinding kiri(agama yang telah direduksi), dan lantai(hukum positif). 

Kritik ini pun menyoroti bahwa kebenaran yang lebih dalam—yang disebutnya sebagai “forgotten truth”—telah dikubur oleh dominasi pandangan dunia sekuler dan teknokratis.

Smith menekankan bahwa hukum modern, sebagai bagian dari lantai terowongan, sering kali tidak lagi menjadi penjaga kebenaran, melainkan menjadi alat untuk mempertahankan status quo kekuasaan dan menyingkirkan suara-suara yang mempertanyakan narasi dominan. 

Dalam konteks ini, hukum tidak lagi menjadi cermin keadilan, melainkan menjadi bagian dari sistem penyaringan realitas yang menyingkirkan dimensi spiritual, moral, dan metafisik dari pertimbangan publik.

Kritik ini sangat relevan ketika hukum digunakan untuk menindak mereka yang mempertanyakan narasi resmi, seperti dalam kasus delapan tersangka yang dilaporkan karena mempertanyakan keabsahan ijazah seorang eks kepala negara. 

Dalam kerangka Smithian, tindakan hukum semacam itu bisa dibaca sebagai bentuk “menghukum kebenaran” karena dilakukan dalam terowongan yang tidak lagi terbuka terhadap dimensi kebenaran yang lebih luas.

Dalam konteks ini, “menghukum kebenaran” bukan hanya berarti menghukum orang yang menyampaikan fakta, tetapi juga mengabaikan atau menyingkirkan kebenaran demi kepentingan kekuasaan atau stabilitas sosial. 

Ini sangat relevan dengan kritik terhadap proses hukum yang menjerat para tersangka dalam kasus-kasus kontroversial, di mana kebenaran substantif sering kali dikalahkan oleh prosedur formal dan tekanan politik.

Gagasan menghukum kebenaran telah dibahas secara mendalam dalam Menemukan Kebenaran Hukum dalam Era Post-Truth(2020), yang disunting oleh Tristam Pascal Moeliono dan Widodo Dwi Putro dan diterbitkan Sanabil & Metajuridika Fakultas Hukum Universitas Mataram.

Kritik terhadap proses hukum ini juga menyentuh aspek komunikasi publik. 

Ketika ruang publik menjadi arena pertarungan narasi, maka prinsip komunikasi rasional ala Jürgen Habermas dalam Ruang Publik telah terganggu. 

Mengacu Habermas(96) dalam Strukturwandel der Öffentlichkeit(1962; Kreasi Wacana 2004), mengkritik bagaimana ruang publik modern mengalami distorsi akibat dominasi kekuasaan dan media, yang menyebabkan kekacauan komunikasi, terutama dalam proses pembentukan opini dan kebenaran hukum. 

Salah satu kutipan yang relevan: „Ketika ruang publik tidak lagi menjadi arena diskusi rasional, melainkan ajang propaganda dan manipulasi, maka kebenaran hukum pun kehilangan pijakan komunikatifnya.”

Habermas menekankan bahwa komunikasi hukum yang sehat harus berbasis pada diskursus rasional dan inklusif, bukan pada tekanan politik(penguasa dan kekuasaan), ekonomi, atau media. 

Dalam konteks ini, kekacauan komunikasi di ruang publik menyebabkan bias dalam penegakan hukum, karena opini publik yang terbentuk bukan dari argumen, melainkan dari narasi dominan yang tidak diuji secara kritis.

Kritik Habermas sangat relevan dengan fenomena saat ini, di mana proses hukum terhadap tokoh-tokoh publik sering kali dipengaruhi oleh polarisasi media sosial dan fanatisme politik. 

Ketika ruang publik gagal menjadi tempat pertukaran ide yang rasional, maka hukum pun berisiko menjadi alat kekuasaan, bukan keadilan.

Komunikasi yang seharusnya mutualistik berubah menjadi monolog kekuasaan, di mana suara-suara kritis dibungkam dengan pasal-pasal hukum. 

Ini diperparah oleh bias kognitif seperti noise(kegaduhan) dari Daniel Kahneman dkk. dan bias konfirmasi dari Rolf Dobelli dalam The Art of Thinking Clearly(Inggris 2013), yang membuat publik hanya percaya pada informasi yang memperkuat keyakinan mereka sendiri.

Penetapan tersangka ini, meski sah secara prosedural, tetap harus diuji di pengadilan dengan prinsip praduga tak bersalah. 

Namun, publik sudah terbelah. Fanatisme politik telah menciptakan patologi sosial yang merusak komunikasi dan kepercayaan. 

Keterbukaan kotak Pandora di ruang publik telah mengungkap bukan hanya soal ijazah, tetapi juga soal bagaimana negara memperlakukan kebenaran.

Jika hukum terus digunakan untuk menghukum kebenaran, maka kita sedang membangun negara di atas fondasi ketakutan, bukan keadilan. 

Dan dalam negara seperti itu, kebenaran akan selalu menjadi tersangka.

#coversongs: Lagu "We Will Rock You" oleh Queen dirilis pada tanggal 7 Oktober 1977 sebagai bagian dari album News of the World. 

Maknanya adalah tentang kekuatan, perlawanan, dan solidaritas dalam menghadapi tantangan hidup.

Lagu ini ditulis oleh Brian May(78), doktor astrofisika, gitaris Queen, dan dikenal sebagai anthem perlawanan dan pemberdayaan.

Liriknya menggambarkan perjalanan hidup seseorang dari masa muda yang penuh semangat hingga masa tua yang penuh refleksi, dengan pesan bahwa setiap individu memiliki kekuatan untuk mengguncang dunia.

Irama stomp-stomp-clap yang ikonik menciptakan suasana kolektif dan energik, menjadikannya lagu wajib di acara olahraga, demonstrasi, dan konser sebagai simbol persatuan dan kemenangan.

#Gambar poster dicopas dari karya Netizen di laman X dan FB.

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.