![]() |
oleh ReO Fiksiwan
„Matahari mungkin telah terbenam di atas kota kita malam ini, tetapi seperti yang pernah dikatakan Eugene Debs, ‘Saya dapat melihat fajar hari yang lebih baik bagi umat manusia.“ — Zohran Mamdani(34), Zohran Mamdani victory speech: FULL FOX 4 Dallas-Fort Worth • 351K views • 1 day ago.
„Politik bukan hanya seni memerintah, tetapi seni membayangkan apa yang seharusnya diperintah.“ — Nobuko Tsukui(87) dalam Nakae Chōmin: A Discourse by Three Drunkards on Government;1984).
Kemenangan Zohran Mamdani dalam Pilwako Kota New York 2025 bukan sekadar peristiwa elektoral, melainkan titik balik dalam sejarah politik Amerika yang telah berlangsung lebih dari dua abad.
Sebagai warga imigran keturunan Uganda dan India, Mamdani menembus batas-batas lama yang selama ini membatasi akses politik bagi kelompok migran.
Ia menjadi simbol perlawanan terhadap narasi anti-imigran yang kembali digemakan oleh Presiden Donald Trump, sekaligus penanda bahwa metapolitik warga Amerika sedang mengalami pergeseran mendalam.
Sejak awal, gagasan tentang American Dream dibangun di atas fondasi kolonialisme migran Eropa yang menyingkirkan masyarakat asli, indigenous people, melalui kekerasan dan penaklukan.
Kedatangan Colombus dan De Cortez pada abad ke-15 bukanlah awal dari kebebasan, melainkan permulaan dari penghapusan budaya dan eksistensi bangsa Indian.
Dalam konteks ini, negara Amerika lahir sebagai proyek migran yang mengklaim tanah dan sejarah orang lain, lalu membentuk narasi kebangsaan yang eksklusif. Namun, sejarah migran Amerika tidak berhenti di sana.
Seperti yang diulas dalam Making America: The Society and Culture of the United States(1994) oleh Luther S. Luedtke(81), negara ini dibentuk oleh gelombang migrasi yang terus-menerus, dari Eropa, Asia, Afrika, dan Amerika Latin.
Mengutip Luedtke, saat menjabat sebagai Ketua Program American Studies di University of Southern California, pernah menulis: „Pendirian Amerika bukanlah sebuah peristiwa tunggal, melainkan sebuah proses berlapis dari penemuan budaya, migrasi, dan ingatan yang diperebutkan."
Dalam Making America, Luedtke juga menekankan bahwa sejarah awal Amerika bukan sekadar deklarasi kemerdekaan atau revolusi politik, melainkan hasil dari proses panjang yang melibatkan migrasi, konflik budaya, dan konstruksi identitas nasional.
Sebagai profesor dan direktur studi pascasarjana di USC selama lebih dari dua dekade, Luedtke dikenal karena pendekatan interdisipliner yang menggabungkan sejarah, sastra, dan teori budaya dalam memahami dinamika masyarakat Amerika.
Ia melihat pembentukan Amerika sebagai proyek yang terus berubah, dipengaruhi oleh gelombang migran, pergeseran nilai, dan pertarungan ideologis yang tak pernah selesai.
Meski konstitusi mengakui semua warga berdasarkan prinsip ius solis—hak kewarganegaraan berdasarkan tempat lahir—kesadaran kolektif masyarakat Amerika tetap dibayangi oleh hierarki rasial dan etnis yang menempatkan migran sebagai “yang lain”.
Zohran Mamdani hadir sebagai antitesis dari konstruksi itu. Ia tidak hanya menang secara politik, tetapi juga secara simbolik. Ia menolak untuk tunduk pada narasi dominan yang menempatkan migran sebagai ancaman.
Sebaliknya, ia mengartikulasikan politik sebagai ruang pembebasan, sebagai medan perjuangan untuk mengembalikan demokrasi kepada rakyat yang majemuk.
Dalam pidatonya, Mamdani menyebut New York sebagai “cahaya dalam kegelapan politik”, sebuah metafora yang menggugat hegemoni konservatif dan xenofobik yang kembali menguat.
Selain itu, dalam Religion and American Culture (1996), George M. Marsden(1939-2016), menunjukkan bagaimana agama dan budaya membentuk identitas politik Amerika.
Ungkap Marsden: „Kebebasan bukanlah kemewahan budaya; melainkan prasyaratnya.” Tegasnya bahwa kebebasan bukan hasil dari budaya, melainkan syarat utama bagi budaya untuk tumbuh dan berkembang.
Bagi Machan, masyarakat yang bebas memungkinkan ekspresi nilai, kreativitas, dan pertukaran ide yang sehat. Tanpa kebebasan, budaya menjadi beku, dikendalikan, dan kehilangan vitalitasnya.
Mamdani, sebagai Muslim pertama yang memimpin kota terbesar di AS, menantang stereotip Islamofobia dan membuka ruang baru bagi politik inklusif.
Ia tidak hanya menjadi representasi minoritas, tetapi juga agen perubahan dalam demokrasi yang selama ini dikendalikan oleh elit lama.
Dari perspektif filsafat politik, kemenangan Mamdani dapat dibaca melalui lensa „kebebasan dan kebudayaan“ dari Tibor M. Machan yang menekankan pentingnya kebebasan individu dalam masyarakat terbuka.
Namun, kebebasan itu tidak cukup jika tidak disertai dengan keadilan dan pengakuan atas keragaman.
Mamdani memperluas gagasan kebebasan itu dengan menempatkan migran sebagai subjek politik yang sah, bukan sekadar objek kebijakan.
Metapolitik warga Amerika kini sedang ditulis ulang.
Bukan lagi tentang siapa yang berkuasa, tetapi tentang siapa yang diakui sebagai bagian dari demos.
Mamdani tidak hanya menang dalam pemilihan, ia menang dalam merebut ruang makna tentang siapa itu warga Amerika.
Dalam dunia yang semakin terpolarisasi, kemenangan ini adalah pengingat bahwa demokrasi sejati lahir dari keberanian untuk melawan narasi lama dan membangun yang baru.
#coversongs: Musik “The American Dream” karya Piero Piccioni dirilis sebagai bagian dari soundtrack film Anastasia Mio Fratello, sekitar awal 1970-an.
Lagu ini merupakan komposisi instrumental bergaya lounge jazz yang mencerminkan nuansa elegan dan reflektif khas Piccioni.
Piero Piccioni(1921–2004) adalah komponis film asal Italia yang dikenal karena gaya musiknya yang menggabungkan jazz, soul, dan orkestrasi sinematik.
Lagu “The American Dream” tidak memiliki lirik, namun secara musikal menyampaikan ambivalensi terhadap impian Amerika—antara glamor dan kehampaan, antara modernitas dan nostalgia.
Dalam konteks film Anastasia Mio Fratello, lagu ini digunakan untuk menggambarkan konflik batin dan pencarian identitas, yang selaras dengan tema American Dream sebagai janji yang sering kali tidak terpenuhi.

