Type Here to Get Search Results !

Purbaya Efek dan Pareto Delirium

oleh ReO Fiksiwan 

“Pembangunan terdiri dari penghapusan berbagai jenis ketidakbebasan yang membuat orang memiliki sedikit pilihan dan sedikit kesempatan untuk menjalankan agensi mereka yang beralasan.” — Amartya Sen(92), Nobel Ekonomi(1998), Development as Freedom(1999).

Vilfredo Pareto(1848–1923), asal Italy, seorang ekonom, insinyur, dan sosiolog kelahiran Paris, menggemakan teori distribusi kekayaan yang kelak dikenal sebagai prinsip 80:20. 

Dalam Cours d'économie politique(1896), Pareto menunjukkan bahwa 20% populasi menguasai 80% aset ekonomi dan perdagangan. 

Teori ini bukan sekadar statistik, melainkan cerminan struktur kekuasaan ekonomi yang mengakar dalam sistem kapitalisme klasik. 

Prinsip Pareto menjadi fondasi analisis ketimpangan dan efisiensi dalam alokasi sumber daya, dan dalam bentuk idealnya, disebut sebagai efisiensi Pareto —di mana tidak ada individu yang bisa ditingkatkan kesejahteraannya tanpa mengorbankan individu lain — namun, dalam praktik kontemporer, prinsip ini sering kali mengalami distorsi. 

Ketika 20% elite ekonomi bersekutu dengan aparat negara di berbagai level untuk mempertahankan dominasi, prinsip Pareto berubah menjadi Pareto Delirium—sebuah kondisi delirium sistemik di mana ketimpangan dianggap wajar, bahkan dijaga. 

Pareto Delirium bukan sekadar penyimpangan statistik, melainkan patologi sosial-politik yang mengaburkan batas antara efisiensi dan eksploitasi. 

Di tengah geliat ini, hadir Purbaya Efek. Sejak dilantik sebagai Menteri Keuangan pada September 2025 menggantikan Sri Mulyani, Purbaya Yudhi Sadewa (62) mengusung kebijakan fiskal yang mengguncang tatanan lama. 

Ia menolak paradigma pertumbuhan yang hanya menguntungkan segelintir orang. 

Dalam berbagai forum, Purbaya menegaskan bahwa keberhasilan ekonomi tidak boleh diukur dari kekayaan elite, melainkan dari kesejahteraan rakyat.

Kebijakan fiskalnya bersifat ekspansif dan langsung menyasar akar produktivitas rakyat. Kebijakan fiskal Purbaya bersifat ekspansif dan langsung menyasar akar produktivitas rakyat. 

Injeksi likuiditas ke bank BUMN, penurunan suku bunga, dan penguatan fiskal daerah adalah bagian dari strategi untuk membalikkan arus kekayaan. 

UMKM menjadi prioritas utama, bukan sekadar pelengkap statistik. Melalui skema pembiayaan mikro dan relaksasi pajak, UMKM diberi ruang untuk tumbuh tanpa tekanan regulatif yang selama ini lebih menguntungkan korporasi besar.

Fiskal daerah juga mengalami desentralisasi yang lebih nyata. Transfer dana ke daerah tidak lagi bersifat administratif, melainkan berbasis kinerja dan kebutuhan lokal. 

Demikian pula, mengatasi ketimpangan wilayah Purbaya Efek mencoba menjawab ini dengan pendekatan fiskal berbasis wilayah. 

Program MBG(Makan Bergizi Gratis) diluncurkan sebagai instrumen pembiayaan komunitas, di mana desa dan kelurahan diberi akses langsung terhadap dana pembangunan tanpa birokrasi berlapis.

Sementara itu, Kordes(Koperasi Desa) Merah Putih, bukan sekadar lembaga administratif ekonomi, melainkan motor dana pembangunan lokal yang diberi mandat fiskal, operator dan pelatihan ekonomi sekaligus: economic exercises.

Kordes menjadi penghubung antara kebijakan pusat dan kebutuhan desa, menciptakan ekosistem fiskal yang lebih partisipatif tanpa jenjang dan transparan.

Purbaya mendorong agar APBD menjadi alat pembangunan, bukan sekadar laporan keuangan. Ini menciptakan dinamika baru di daerah, di mana kepala daerah dituntut untuk lebih inovatif dan responsif terhadap kebutuhan ekonomi lokal.

Injeksi likuiditas ke bank BUMN, penurunan suku bunga, dan penguatan fiskal daerah adalah bagian dari strategi untuk membalikkan arus kekayaan. 

Dalam Rapat Kerja DPD RI, Purbaya menyatakan bahwa arsitektur APBN harus mencerminkan moral kekuasaan dan keberlanjutan ekonomi rakyat. 

Ia tidak segan menyebut bahwa selama ini, anggaran negara terlalu banyak dikendalikan oleh oligarki ekonomi yang bersekutu dengan birokrasi.

Purbaya Efek adalah gejala pergeseran paradigma: dari ekonomi yang dikendalikan oleh Pareto elite menuju ekonomi yang mencoba mendekati efisiensi Pareto sejati. Namun, transisi ini tidak mulus. 

Banyak pelaku ekonomi lama merasa gerah dan geger. Mereka kehilangan privilege fiskal dan akses eksklusif terhadap sumber daya negara. 

Di sinilah Pareto Delirium menjadi nyata—ketika elite yang selama ini menikmati 80% kekayaan mulai panik karena 20% kekuasaan fiskal mulai berpindah tangan.

Dalam perspektif filsafat ekonomi, seperti ditulis Linda Yueh(54), kelahiran Taipeh, dalam Belajar dari 12 Ekonom Besar Dunia(Gramedia, 2023) dan Robert Heilbroner(1919-2005) dalam The Worldly Philosophers: The Lives, Times, and Ideas of the Great Economic Thinkers(1953; UIPress,1999), perubahan besar dalam kebijakan ekonomi selalu menimbulkan resistensi. 

Linda Yueh mengutip pandangan Joseph Schumpeter tentang inovasi sebagai kekuatan utama dalam dinamika kapitalisme. 

Salah satu yang ia soroti adalah: “Inovasi adalah kekuatan yang mengguncang tatanan lama dan menciptakan dunia baru melalui proses creative destruction.”

Yueh juga menjelaskan bahwa bagi Schumpeter, inovasi bukan hanya soal teknologi, tetapi juga mencakup perubahan dalam cara produksi, organisasi bisnis, dan pasar. 

Ia menekankan bahwa wirausahawan adalah agen utama dalam proses ini, karena mereka berani menantang status quo dan memperkenalkan cara-cara baru yang lebih efisien dan produktif.

Sementara, sejarah menunjukkan bahwa ekonomi yang tidak adil akan selalu melahirkan koreksi. Seperti ungkap Heilbroner dari Adam Smith:

“Adam Smith memandang sistem ekonomi sebagai mesin raksasa, yang beroperasi menurut hukumnya sendiri, dan mampu menghasilkan kekayaan serta kemajuan tanpa perlu campur tangan terus-menerus. Ia percaya bahwa kepentingan pribadi, jika disalurkan dengan tepat, dapat mengarah pada kebaikan sosial.”

Purbaya Efek mungkin adalah koreksi itu—sebuah upaya untuk menyembuhkan delirium Pareto dan mengembalikan ekonomi kepada rakyat.

#coversongs: “Wall Street Titans" oleh Pete Anthony(65) dan Hollywood Studio Symphony dirilis pada tahun 2017 sebagai bagian dari soundtrack film dokumenter Betting on Zero. 

Lagu ini menggambarkan atmosfer tegang dan dramatis seputar dunia finansial dan kekuasaan korporasi.

Juga, musik ini digunakan dalam film dokumenter Betting on Zero, yang menginvestigasi kontroversi seputar perusahaan Herbalife dan tuduhan bahwa model bisnisnya menyerupai skema piramida. 

Musiknya menciptakan suasana intens dan penuh ketegangan, mencerminkan konflik antara investor besar Wall Street dan perusahaan yang dituduh mengeksploitasi masyarakat.

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.