Type Here to Get Search Results !

Mengapa Anak Bisa Jadi Penindas: Menyingkap Wajah Kelam Bullying

Oleh: Ririe Aiko 

Ketika mendengar lagi dan lagi kabar tentang kasus bullying, hati saya selalu terasa sakit, campuran antara marah, sedih, dan miris. Terbaru, kasus perundungan yang menimpa MH (13 tahun), siswa kelas 1 di SMP Negeri 19 Tangerang Selatan, benar-benar mengguncang nurani kita.

Bagaimana tidak? Bocah seusia itu, yang seharusnya sibuk menikmati masa remaja, justru harus terbaring di rumah sakit dengan gangguan penglihatan dan kelumpuhan sebagian tubuh. Akar tragedi ini bermula dari insiden kekerasan di ruang kelas, MH dipukul oleh teman sekelas menggunakan kursi besi.

Kisah pilu ini bukan yang pertama. Ada banyak sekali video perundungan berseliweran di media sosial. di media sosial. Dari siswa SMA, SMP, bahkan SD, fenomena ini terus berulang. Anak-anak yang seharusnya masih lugu tiba-tiba bisa berubah menjadi seorang kriminal yang kejam.  

Mengapa fenomena bullying di sekolah tak pernah benar-benar berhenti? Mengapa seolah menjadi gunung es yang terus mencair pelan, tapi tak pernah habis?

Banyak faktor yang bisa menyebabkan anak tumbuh menjadi penindas. Menurut saya, salah satu faktor pemicu yang paling kuat adalah lingkungan keluarga. Banyak anak yang tumbuh dalam suasana di mana kekerasan verbal dan fisik dianggap hal biasa. Anak yang terbiasa dimarahi dengan kata-kata kasar, dipukul karena kesalahan kecil, atau melihat orang tuanya saling mencaci, tanpa sadar belajar bahwa kekuatan berarti menindas yang lebih lemah. Ia membawa pola itu ke luar rumah, ke sekolah, dan menumpahkannya kepada teman-temannya.

Tumbuh dengan kondisi lingkungan yang penuh dengan kekerasan, akan membuat anak berpikir bahwa untuk mengendalikan seseorang adalah dengan menindasnya. Karena dalam diri seorang pembully biasanya ada dorongan ingin dianggap hebat, ingin diakui, ingin terlihat kuat. Ia merasa haus validasi karena di rumah, ia tak pernah mendapatkannya. Tidak ada pelukan yang menenangkan, hanya tuntutan dan teriakan. Maka di sekolah, ia menciptakan dunianya sendiri, dunia di mana ia bisa berkuasa dengan menindas teman-temannya. 

Sayangnya, korban bullying seringkali memilih diam. Mereka menyimpan luka itu sendirian, takut dianggap lemah jika melapor. Dan di sisi lain, sang penindas justru makin merasa benar, makin merasa kuat dan bertindak seenaknya. 

Beginilah, kadang kita pun sering melihat di sekitar kita hal nyata, bahwa penindasan itu tidak selalu terjadi secara brutal di meja sekolah. Konsep penindasan hadir dalam berbagai bentuk. Siapa yang tidak mengikuti suara yang lebih berkuasa sering kali ditindas dengan cara yang halus namun sewenang-wenang. Mungkin inilah cermin besar yang sedang diperlihatkan oleh anak-anak kita: bahwa dunia orang dewasa pun masih sering memberi teladan yang salah.

Karena itu, untuk menghentikan rantai perundungan tidak cukup hanya dengan menghukum pelaku. Kita perlu menelusuri akar persoalannya, memahami dari mana luka itu bermula. Anak yang menindas, sering kali adalah anak yang juga pernah terluka. Ia belajar dari contoh disekitarnya. Maka sudah pasti, keluarga memegang peranan penting dalam membentuk karakter empati sejak dini.

Sekolah pun tak kalah berperan. Lingkungan pendidikan semestinya menjadi ruang aman bagi setiap anak untuk tumbuh dan belajar. Guru, konselor, dan teman sebaya perlu dilibatkan aktif dalam menciptakan budaya saling menghargai. Tidak cukup dengan slogan “Stop Bullying” di dinding sekolah, tetapi harus ada sistem pengawasan yang lebih preventif untuk mencegah terjadinya pembullyan.

Terlepas dari semua itu, saya melihat akar persoalan ini juga terletak pada tumbuhnya generasi muda yang semakin antisosial, individualistis, dan minim empati. Ketika anak kehilangan kemampuan untuk memahami perasaan orang lain, ia akan lebih mudah melukai tanpa rasa bersalah. Karena itu, tugas kita bersama sebagai orang tua, pendidik, dan masyarakat, bukan hanya menjadikan anak pintar diberbagai bidang pelajaran, tetapi juga menumbuhkan generasi yang peka, berempati, dan menghargai sesama.

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.