Type Here to Get Search Results !

Membaca Romo Sindhunata

oleh ReO Fiksiwan

“Tanpa tulisan, pikiran yang terpelajar tidak akan dan tidak bisa berpikir sebagaimana mestinya, tidak hanya ketika sedang menulis, tetapi biasanya bahkan ketika ia menuangkan pikirannya dalam bentuk lisan. Lebih dari penemuan tunggal lainnya, tulisan telah mengubah kesadaran manusia.” — Walter J. Ong(1913-2003) Orality and Literacy: The Technologizing of the Word(1982).

Ketika novel Romo Rahadi karya Y.B. Mangunwijaya(1922-1999) alias Romo Mangun terbit pada 1981(Pustaka Jaya), publik sastra Indonesia menyaksikan bagaimana seorang rohaniwan mampu menembus batas tradisi dengan bahasa yang segar, reflektif, dan penuh kritik sosial. 

Dari jejak Romo Mangun inilah kita dapat membaca kelahiran karir kepenulisan Romo Sindhunata(73), yang sejak awal 1980-an dibesut melalui majalah Basis Yogyakarta di bawah asuhan Theodoor Willem Geldorp alias Romo Pater Dick Hartoko(1922-2001). 

Dari ruang redaksi Basis, Sindhunata mengasah pena yang kelak menjadikannya salah satu cendekiawan publik paling produktif, menulis dengan gaya yang memadukan mitologi Jawa, filsafat Barat, dan kritik sosial kontemporer.

Karirnya kemudian meluas ke ruang jurnalistik populer, ketika ia menjadi kolumnis Kompas untuk reportase Piala Sepakbola Dunia sejak 1979. 

Di sana, Sindhunata menunjukkan bahwa seorang intelektual tidak hanya berbicara tentang filsafat atau mitologi, tetapi juga mampu menulis dengan penuh imajinasi tentang sepakbola sebagai drama manusia, sebagai panggung mitos modern. 

Dari mesin ketik merek Brother yang menemaninya di era awal, hingga kini di era kecerdasan buatan, Sindhunata tetap konsisten menjadikan tulisan sebagai medium refleksi atas nasib manusia.

Karya fiksi Anak Bajang Menggiring Angin(Gramedia 1983) adalah salah satu tonggak penting. 

Anak Bajang: “Angin membawa suara yang tak pernah berhenti, suara tentang nasib manusia yang harus dijalani.”

Dengan memanfaatkan mitologi Mahabharata, ia menyingkap dilema manusia yang terjebak antara takdir dan kebebasan, antara penderitaan dan harapan. 

Novel ini bukan sekadar kisah wayang, melainkan alegori tentang manusia Indonesia yang terus bergulat dengan sejarah dan kekuasaan. 

Sementara itu, karya non-fiksi Dilema Usaha Manusia Rasional(1982; terbitan baru Gramedia 2019) — merupakan karya skripsi di Sekolah Tinggi Filsafat Diryarkarya — memperlihatkan sisi lain Sindhunata sebagai pemikir yang kritis terhadap rasionalitas modern, khusus tentang Teori Kritis Sekolah Frankfurt: Max Horkheimer & Theodor W. Adorno. 

Ia mempertanyakan apakah rasionalitas benar-benar mampu menjawab kegelisahan manusia, atau justru melahirkan dilema baru yang menyingkirkan dimensi spiritual dan imajinatif.

Sementara dari disertasi Ratu Adil, yang diterbitkan Gramedia pada 2024 dengan judul: Ratu Adil: Ramalan Jayabaya & Sejarah Perlawanan Wong Cilik, memperlihatkan kedalaman riset akademik Romo Sindhu, begitu ia disapa. 

Disertasi tersebut dalam bahasa Jerman dengan judul: Ratu Adil: Messianische Hoffnung und soziale Bewegungen in Indonesien, diselesaikan pada tahun 1992 di Hochschule für Philosophie, Philosophische Fakultät, München, Jerman.

Setelah lebih dari tiga dekade diterbitkan dalam bahasa Indonesia dengan tambahan ilustrasi serta pengayaan konteks sejarah.

Dengan Ratu Adil, Romo Sindhunata menegaskan bahwa mitos adalah bagian dari sejarah politik. Ia bukan sekadar dongeng, melainkan energi sosial yang bisa menggerakkan massa, memberi legitimasi pada perlawanan, dan membentuk imajinasi kolektif bangsa. 

Sindhunata menelusuri mitos Ratu Adil sebagai janji mesianis dalam sejarah Jawa, sekaligus sebagai simbol harapan kolektif yang terus hidup dalam imajinasi rakyat. 

Selain itu, dalam konteks produktivitas penulisan Romo Sindhunata, dalam Kambing Hitam: Teori Rene Girard(GPU, edisi revisi 2020) memperlihatkan kedalaman refleksinya atas filsafat korban manusia(scapegoat) yang digagas oleh Rene Girard. 

Sindhunata tidak hanya memperkenalkan teori Girard, tetapi juga mengaitkannya dengan pengalaman budaya, mitologi, dan religiusitas di Indonesia.

Girard membagi pemikirannya dalam tiga fase: teori mimesis (tentang hasrat meniru dalam sastra), teori kambing hitam (tentang mekanisme pengorbanan dalam antropologi budaya), dan interpretasi kristianitas(tentang korban Yesus sebagai kritik atas sistem pengorbanan). 

Sindhunata mengikuti alur ini, lalu menutup dengan evaluasi kritis mengenai relevansi teori Girard bagi zaman sekarang.

Dengan menulis Kambing Hitam, Romo Sindhunata menegaskan konsistensinya sebagai penulis yang menjadikan korban manusia sebagai tema refleksi filosofis.

Dengan pendekatan yang memadukan sejarah, antropologi, dan filsafat, ia menunjukkan bagaimana mitos bukan sekadar cerita lama, melainkan kekuatan yang membentuk politik dan budaya hingga hari ini.

Anugerah Dermakata Award 2025 dari Kreator Era AI (KEAI), sebagaimana ditulis Denny JA dalam artikel Mengapa Sindhunata Memenangkan Dermakata Award 2025, untuk Non-Fiksi, menjadi pengakuan atas konsistensi Romo Sindhunata dalam menjadikan kata-kata sebagai dermanya bagi publik. 

Ia menulis bukan untuk sekadar estetika, melainkan sebagai bentuk pelayanan intelektual, sebagai upaya menghadirkan refleksi kritis di tengah masyarakat yang sering kali terjebak dalam rutinitas pragmatis.

Membaca Romo Sindhunata berarti membaca perjalanan seorang penulis dari era mesin ketik Brother hingga era AI. 

Mengacu pada perspektif produktivitas penulisan — dari lisan ke aksara — dari Walter J. Ong, dalam Kelisanan dan Keaksaraan(Gading Publishing 2013), Sindhunata contoh penting dari figur penulis yang menjembatani tradisi lisan Jawa dengan tradisi literasi modern dan menjadikan mitos sebagai teks yang hidup kembali dalam bahasa kontemporer. 

Demikian pula, dalam perspektif Jean Paul Sartre(1903-1980) tentang Psikologi Imajinasi(L’Imaginaire, 1940; Bentang, 2003), karya-karya Romo Sindhu bisa menunjukkan bagaimana imajinasi bukan sekadar pelarian, melainkan kekuatan kreatif yang mampu mengubah cara kita memahami dunia.

Bahkan melalui Sartre menunjukkan bagaimana kreativitas penulisan, seni, dan filsafat lahir dari kemampuan imajinasi untuk menghadirkan sesuatu yang tidak nyata, namun tetap memengaruhi cara kita berpikir dan berhubungan dengan dunia. 

Imajinasi, bagi Sartre, adalah dasar bagi kebebasan manusia: kita bisa membayangkan dunia lain, kemungkinan lain, dan dengan itu melampaui kenyataan yang ada.

Dermakata Award 2025 bukan hanya penghargaan atas karya-karya Romo Sindhunata, tetapi juga pengakuan bahwa kata-kata masih memiliki daya hidup di tengah era digital dan kecerdasan buatan. 

Kata-kata yang ditulisnya, baik dalam novel, disertasi, maupun kolom sepakbola, adalah air yang terus mengalir, menyegarkan, sekaligus menggelisahkan. 

Membaca Romo Sindhunata adalah membaca manusia yang setia pada kata, yang menjadikan kata sebagai dermanya bagi sejarah, bagi bangsa, dan bagi kemanusiaan.

#coversongs: “Words” dirilis oleh Bee Gees pada Januari 1968. Lagu ini bermakna tentang kekuatan kata-kata—bahwa ucapan bisa membuat seseorang bahagia atau sedih, dan dalam konteks romantis, kata-kata cinta menjadi pengikat hubungan.

Menjadi hit internasional, mencapai No. 1 di Jerman, Kanada, Swiss, dan Belanda, serta masuk Top 10 UK Singles Chart ketika dirilis.

Lagu ini lahir dari frustrasi dan pertengkaran internal di antara para anggota Bee Gees. Dari pengalaman itu, mereka menyadari betapa kuatnya kata-kata: bisa menyembuhkan, bisa melukai.

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.