![]() |
oleh ReO Fiksiwan
“Aku mengetahui dengan yakin bahwa tidak ada jalan untuk mencapai kebenaran selain dengan cahaya yang dicurahkan Allah ke dalam hati. Itulah iman yang hakiki, bukan semata-mata hasil rasio.” — Al Ghazali(1058-1111), Mantiq minal al-Dhalal(Pembebas dari Kesesatan,IRCiSoD 2007).
Krisis umat manusia yang paling vital dan fatal sesungguhnya terletak pada terminologi iman. Iman, yang dalam tradisi keagamaan dianggap sebagai fondasi eksistensi manusia, justru menjadi sumber keretakan ketika makna dan tafsirnya dipahami secara berbeda-beda.
Krisis iman bukan hanya menimpa mereka yang disebut tidak beriman—disbelief, menurut istilah Huston Smith(1919-2016), dalam Why Religion Matters: The Fate of the Human Spirit in an Age of Disbelief(2001), yang menyoroti krisis iman modern dan disebut sebagai “age of disbelief.”
Akan tetapi, lebih krusial lagi justru terjadi di kalangan mereka yang mengaku beriman. Smith menyatakan: “Ada di dalam diri kita—bahkan pada orang yang paling riang dan riang di antara kita—sebuah penyakit mendasar”: abad tanpa iman!
Lanjutnya, penyakit ini bagaikan api yang tak terpadamkan yang membuat sebagian besar dari kita tidak mampu mencapai kedamaian sejati dalam hidup ini. Keinginan ini tertanam di sumsum tulang dan lubuk jiwa kita.”
Demikian halnya, meski dalam telisik singkat dan dalam perbedaan serta keragaman tafsir — baik eksoteris maupun esoteris — melahirkan perilaku iman yang sering kali bertentangan dengan hakikat iman itu sendiri.
Toshihiko Izutsu(1914-1993) dalam God and Man in the Qur’an: Semantics of the Qur’anic Weltanschauung (1964) menegaskan bahwa iman dalam Al-Qur’an bukan sekadar penerimaan dogma, melainkan sebuah komitmen eksistensial yang melibatkan hati, pikiran, dan tindakan.
Izutsu, seorang sarjana linguistik, filsafat, dan studi Islam, mengajar di Keio University, McGill University, serta Imperial Iranian Academy of Philosophy, dikutip: “Keimanan (iman) terhadap Al-Qur’an bukan sekedar persetujuan intelektual, namun komitmen eksistensial total manusia terhadap Tuhan.”
Dengan analisis semantik, Izutsu menunjukkan bahwa iman adalah pusat pandangan dunia Qur’ani, sebuah sikap hidup yang menuntut keterlibatan penuh manusia dalam kebenaran ilahi.
Namun, dalam praktik keagamaan, iman sering direduksi menjadi sekadar pengakuan formal atau ritual, kehilangan dimensi kritis dan eksistensial yang seharusnya melekat.
Lain lagi, Sam Harris(58), dalam The End of Faith: Religion, Terror, and the Future of Reason(2004) menyoroti sisi gelap dari iman yang tidak kritis. Baginya, iman yang dilepaskan dari rasionalitas justru menjadi sumber kekerasan dan intoleransi.
Harris melihat bahwa krisis iman bukan hanya soal ketidakpercayaan, melainkan soal bagaimana iman yang ada sering kali menolak falsifikasi, menolak kritik, dan menolak keterbukaan terhadap kebenaran baru.
Ia mengritik dengan pendekatan sekularisme: “Masalahnya dengan agama, karena agama telah terlindungi dari kritik, adalah agama memungkinkan orang untuk mempercayai secara massal apa yang hanya bisa dipercayai oleh orang bodoh atau orang gila secara terpisah.”
Dalam perspektif epistemologi, iman yang menutup diri terhadap falsifikasi kehilangan status ilmiah dan moralnya, sebagaimana ditegaskan Karl Popper dalam prinsip falsifikasi sebagai syarat kebenaran ilmiah.
Sementara, Jürgen Moltmann(1926-2024) dalam The Crucified God(1972) menghadirkan dimensi lain dari krisis iman.
Ia menekankan bahwa iman Kristen harus berakar pada pengalaman penderitaan dan salib, bukan pada kemenangan atau kuasa.
Mengutip perspektif teolog Protesten ini, ia mengungkap: “Ketika Tuhan menjadi manusia dalam diri Yesus dari Nazaret, Dia tidak hanya masuk ke dalam keterbatasan manusia, tetapi melalui kematian-Nya di kayu salib juga masuk ke dalam situasi manusia yang terabaikan.”
Pandangan Moltmann menunjukkan bahwa iman sejati justru lahir dari solidaritas dengan yang menderita, dari keberanian menghadapi absurditas sejarah.
Di sini iman bukan sekadar keyakinan metafisik, melainkan keterlibatan eksistensial dalam penderitaan manusia (mondial).
Kristologi ini menunjukkan bahwa iman bukan sekadar pengakuan dogmatis, melainkan pengalaman Allah yang turut menderita bersama manusia.
Selanjutnya, Huston Smith menegaskan bahwa setiap agama memiliki terminologi iman yang berbeda, namun semuanya menghadapi krisis yang sama: bagaimana menjaga iman agar tetap hidup, kritis, dan relevan.
Melalui The World’s Religions: Our Great Wisdom Traditions(1958; revisi 1991) menekankan bahwa hakikat iman dalam agama-agama bukan sekadar kepercayaan intelektual, melainkan keterbukaan hati terhadap misteri dan komitmen eksistensial pada jalan spiritual.
Ia menegaskan: “Tanpa perhatian, rasa takjub dan suci manusia akan muncul sesekali, namun agar menjadi api yang stabil, hal itu harus dijaga.”
Semua agama besar—Hindu, Buddha, Islam, Kristen, Yahudi, Taoisme, dan Konfusianisme—menunjukkan bahwa iman adalah keterhubungan manusia dengan yang suci, bukan sekadar dogma.
Karena itu, iman tidak otomatis hadir; ia harus dipelihara dengan kesadaran dan perhatian. Iman pun berarti keterlibatan total manusia dalam tradisi spiritual, yang menyalakan “api keheranan” agar tetap hidup.
Iman eksoteris, yang tampak dalam ritual dan doktrin, sering kali berjarak dengan iman esoteris, yang berakar pada pengalaman batin dan pencarian makna.
Ketegangan antara keduanya melahirkan krisis iman yang nyata di tengah masyarakat beragama. Dengan demikian, epistemik iman menuntut refleksi kritis atas makna iman itu sendiri.
Iman tidak boleh direduksi menjadi sekadar dogma yang kebal kritik, tetapi harus dipahami sebagai sikap eksistensial yang terbuka terhadap kebenaran, bahkan ketika kebenaran itu pahit.
Krisis iman yang menimpa umat manusia adalah krisis epistemologis: bagaimana iman dipahami, ditafsirkan, dan dijalani.
Jika iman kehilangan keterbukaan terhadap falsifikasi, kehilangan keberanian menghadapi penderitaan, dan kehilangan komitmen eksistensial, maka ia berubah menjadi sekadar alat kuasa.
Sejarah menunjukkan bahwa tragedi para saintis seperti Galileo Galilei, yang dihukum karena kebenaran ilmiahnya, adalah cermin dari krisis iman yang menolak kebenaran.
Demikian pula, dalam konteks modern, krisis iman muncul ketika agama dijadikan legitimasi politik, bukan sebagai jalan menuju kebenaran.
Untuk itu, reinterpretasi epistemik iman harus mengembalikan iman pada hakikatnya: keberanian untuk mengatakan kebenaran meski pahit, keterbukaan terhadap kritik, dan komitmen eksistensial terhadap kemanusiaan.
Dengan rujukan Izutsu, Harris, Moltmann, dan Huston Smith, jelas bahwa krisis iman adalah krisis universal. Ia menimpa semua agama, semua tradisi, dan semua manusia.
Jalan keluar dari krisis ini bukanlah menolak iman, melainkan menafsirkan ulang iman sebagai sikap epistemologis yang terbuka, kritis, dan eksistensial.
Iman sejati bukanlah dogma yang membelenggu, melainkan keberanian untuk hidup dalam kebenaran, meski harus berhadapan dengan kuasa, penderitaan, dan absurditas sejarah.
#credit foto: Menunaikan perintah iman. Solat jama’ dhuhur-ashar di depan gereja Maria(Merien Kirche) Milan 2013; solat dhuhur di batu tempat Imam Bonjol Peto Syarief duduk solat maupun tafakur di kompleks makamnya, desa Lota-Kali, Pineleng Minahasa, Sulut. Terakhir, habis umroh 2017.
#coverlagu: Album Thank You Allah karya Maher Zain(44) dirilis pada 1 November 2009 oleh Awakening Records.
Album debut ini menjadi tonggak awal karier Maher Zain di dunia musik Islami modern. Dengan lirik penuh syukur dan pesan damai, Thank You Allah langsung mendapat sambutan luas di dunia Muslim, termasuk di Indonesia dan Malaysia.

